Perlukah Kita Melawan Takdir?

Dalam teologi, ada 3 mazhab besar berbeda memandang takdir

Dalam hidup ini, sering kali kita diperhadapkan pada kuasa material yang membelenggu kehidupan kita. Kesempatan-kesempatan berkarier kita dihalangi oleh kuasa material itu, padahal kita sudah berusaha setengah mati untuk mencapai karier kita. Karena kuasa material yang menindas, akhirnya karier itu hancur berantakan. Pada sisi lain, manusia beragama didoktrin oleh wacana, bahwa ada takdir yang tak terelakkan yang menyetting kehidupan, tidak hanya manusia, tetapi alam semesta. Pertanyaannya adalah, apa relasi antara kuasa material dengan takdir? Apakah takdir itu mewujud dalam kuasa material, sehingga manusia tidak mempunyai hak untuk mengubahnya? Ataukah justru manusia mempunyai hak untuk mengubah takdir sehingga determinasi kuasa material yang semena-mena harus dilawan? Dengan begitu, apakah perlawanan terhadap kuasa material didefinisikan sebagai melawan takdir?

Dalam teologi, ada tiga mazhab besar yaitu; free will (kehendak bebas), jabariyah atau deterministik, dan jalan tengah (amru bainal amrain). Bagi mereka yang mempunyai cara pandang kehendak bebas berpikir bahwa Tuhan telah memberikan kekebasan kepada manusia untuk menentukan nasibnya sendiri. Batasan-batasan takdir bagi kelompok ini dianggap absurd. Absurditas itu karena manusia akan menerima balasan dari perbuatannya entah itu berupa pahala atau siksa. Sangat absurd bila manusia tidak memunyai pilihan bebas lalu harus diberi pahala atau siksa atas perbuatannya. Jika nasib manusia sudah ditentukan oleh Tuhan lalu mengapa harus diberi pahala atau siksa atas perbuatannya? Bukankah cara berpikir seperti itu berkonsekuensi pada gagasan bahwa perbuatan Tuhan telah dimanisfetasikan kepada manusia dan manusia sisa menjalani takdirnya? Lalu untuk apa manusia mempertanggungjawabkannya?

Nasib manusia sudah ditentukan

Pada ekstrem yang lain ada kaum jabariyah yang mengganggap bahwa nasib manusia sudah ditentukan Tuhan dan tidak ada yang namanya kehendak bebas, karena kehendak bebas hanya akan mempreteli kekuasaan Tuhan. Tuhan adalah Zat yang Maha Kuasa, tidak ada satu ciptaan-Nya sekalipun yang bisa mengubah atau menentang kekuasaan Tuhan. Jika Tuhan telah menentukan bahwa jenis nasibmu adalah miskin maka kamu akan jadi miskin. Jika nasibmu ditindas oleh kuasa material, maka hidupmu akan selalu ditindas oleh kuasa material. Garis tanganmu akan selalu dibawa bayang-bayang kuasa material yang menindas. Tapi jika nasibmu menjadi penguasa, maka jalan hidupmu atau garis tanganmu selalu menjadi penguasa.

Intinya, kaum kehendak bebas melihat bahwa karena manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka keberadaan mereka built in dengan kehendak bebas. Jika tidak demikian maka itu tidak logis. Sebaliknya kaum jabariyah memandang bahwa justru kehendak bebas adalah cara pandang yang absurd karena mempreteli kekuasaan Tuhan atas manusia dan alam semesta. Yang disebut Tuhan adalah Zat yang berkuasa mutlak. Tanpanya tidak bisa disebut Tuhan.

Pandangan amru bainal amrain

Dalam hal relasi kuasa dalam kehidupan manusia, pandangan free will digunakan oleh kaum rebellion atau pemberontak untuk membangkang, mendobrak dan meruntuhkan kekuasaan pemegang kuasa material. Persoalannya, sering kali para pemberontak ketika menjadi penguasa justru membuang cara berpikir free will dan menggantinya dengan cara berpikir jabariyah untuk menindas mereka yang berada dalam genggaman kekuasaannya. Sederhananya, ketika terpilih menjadi penguasa, mereka berkoar-koar bahwa kekuasaan ini saya dapatkan karena Tuhan sudah membuat garis tangan saya sebagai penguasa. “kamu yang tidak terpilih terima saja takdirmu sebagai orang yang dikuasai”, begitu sering kali kita dapatkan ujaran mereka yang terpilih, baik itu masih tersimpan di benaknya atau sengaja diujarkan secara dhahir di depan umum. Akan tetapi, ketika mereka dilengserkan dari kekuasaannya, mereka berteriak dengan lantang, ini tidak adil, ini adalah perbuatan zalim, kita harus melawan kezalimannya.

Dalam perkembangan sejarah manusia, ada kelompok di antara dua gagasan besar itu, yaitu yang dikenal dengan kelompok jalan tengah atau dikenal dengan nama amru bainal amrain. Kelompok ini berpandangan bahwa Tuhan telah menciptakan sebuah sistem yang sudah sangat teratur dan sempurna. Keteraturan dan kesempurnaannya di luar jangkauan kaum empiris. Sistem itu diciptakan dengan sangat detil yang hakiki yang disediakan untuk menfasilitasi kehidupan alam semesta. Lalu, manusia dengan semacam kehendak bebasnya menjalani kehidupannya baik itu dengan jalan buruk, seperti menindas, licik ataukah menjalaninya dengan jalan kebaikan, misalnya mengayomi mereka yang dipimpin, berkeadilan, jujur dan lain lain. Dengan meminjam teori gradasional tradisi filsafat transenden, Mullah Sadrah, kebebasan kehendak itu merupakan gradasi dari kekuasaan Tuhan. Dengan demikian menurut pandangan ini kehendak bebas itu dilakukan dalam sistem ilahi yang sangat sempurna. Bahkan kehendak bebas itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem alam semesta yang diciptakan Tuhan yang Maha kuasa secara sempurna.

Lalu dengan pandangan amru bainal amrain, apakah takdir masih perlu dilawan? Mari kita renungkan bersama atau kita cari jawabannya dengan AI (kecerdasan buatan).

Penulis: Khusnul yaqin

Baca Juga: OPINI: Rencanakan DO, Alih Fungsi Perguruan Tinggi

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya