OPINI: Rencanakan DO, Alih Fungsi Perguruan Tinggi

Ada dua penyebab perguruan tinggi akan beralih fungsi

Perkembangan AI (artificial intelligence) menyadarkan kepada kita bahwa ilmu yang berbasis teori dan eksperimen dapat dengan mudah diakses oleh siapa saja dan dari mana saja.

Dulu, ilmu-ilmu di universitas atau jenis perguruan tinggi yang lain seperti ilmu silat yang tersimpan di tempat-tempat rahasia yang dimiliki oleh guru silat. Karena kondisinya seperti itu, ilmu hanya terpusat pada guru atau pengampu mata kuliah. Oleh karenanya, pendidikan yang dijalankan berbasis pada dosen bukan pada komunitas akademik.

Dari kondisi itulah para calon siswa atau mahasiswa dari suatu perguruan tinggi mendaftarkan diri untuk masuk di suatu perguruan tinggi. Calon siswa atau mahasiswa mendaftarkan diri ke suatu perguruan tinggi, agar bisa mengakses ilmu yang diinginkan, karena ilmu itu tidak ada di pasar atau toko-toko kelontong selayaknya kita membeli barang kebutuhan sehari-hari. Di samping itu, mahasiswa mendaftarkan diri ke suatu perguruan tinggi untuk mendapatkan ijazah atau bahasa pelatihannya untuk mendapatkan sertifikat. Sertifikat itu sebagai pengakuan bahwa mereka telah berkompoten dalam suatu bidang yang ditekuni sesuai dengan stratanya masing-masing.

Saat sekarang ini, ada dua hal yang bisa menjadi penyebab perguruan tinggi akan mengalami alih fungsi. Pertama, ilmu yang dicari oleh mahasiswa hampir semuanya tersedia di dunia maya. Ilmu itu mulai dari yang terstruktur dengan rapi sampai yang amburadul. Ilmu yang tersedia itu dari yang berbayar sampai yang gratis. Dengan keahlian tertentu, hal-hal yang berbayar bisa menjadi gratis. Kedua, dunia kerja sudah mulai bergerak ke arah yang tidak memerlukan sertifikat atau ijazah, tetapi lebih pada kompetensi dan keterampilan. Para pelamar tidak lagi diminta ijazah atau sertifikatnya tetapi dites kompetensi dan keterampilannya dalam melakukan pekerjaan yang diinginkan oleh pemilik pekerjaan.

Fenomena di atas didukung oleh kenyataan bahwa banyak lulusan perguruan tinggi bekerja tidak pada bidangnya. Hal ini mengindikasikan ada semacam kesepakatan umum, bahwa ijazah diletakkan sebagai justifikator bahwa pelamar kerja pernah berkomunalitas atau berinteraksi dengan komunitas di perguruan tinggi. Dengan pengertian yang sederhana, perguruan tinggi ditempatkan hanya sebagai tempat ngumpul.

Bila kecenderungan bahwa universitas atau perguruan tinggi itu hanya diperuntukkan sebagai tempat ngumpul menjadi semakin kuat, maka sudah mulai sekarang stakeholder atau "pemilik" perguruan tinggi harus berpikir untuk menata tempat ngumpul itu dengan lebih profesional. Perguruan tinggi akan dipandang seperti kafe yg ber-WiFi kencang. Kafe mana yang menyediakan layanan WiFi yang canggih, akan dikerumuni pelanggan.

Kecenderungan alih fungsi itu diperkuat dengan dihadirkannya lembaga-lembaga di luar perguruan tinggi yang menyediakan semacam kursus untuk uji kompetensi dan keterampilan. Lembaga-lembaga ini bila diamati dengan cermat adalah bentuk protes terhadap perguruan tinggi yang asal-asalan dalam "memproduksi" lulusan.

Kalau kita mau jujur dengan kenyataan yang ada, kita akan menemukan bahwa banyak sekali yang menyelenggarakan pendidikan tinggi di atas kertas. Dokumen rencana pembelajaran semester (RPS) misalnya, hanya disusun sebagai dokumen untuk akreditasi, dan pelaksanaan dari dokumen itu sangat minim.

Seorang lulusan perguruan tinggi di bidang tertentu masih harus mengikuti uji kompetensi di bidang tertentu jika ingin bekerja dalam bidang yang diujikompentensikan. Kenyataan ini adalah bukti ketidakpercayaan pengguna lulusan perguruan tinggi terhadap pelaksanaan RPS sebagai dokumen utama dalam pembelajaran di perguruan tinggi. Realita ini menunjukkan kecenderungan bahwa perguruan tinggi akan diposisikan seperti kafe: tempat ngumpul.

Saran alih fungsi

OPINI: Rencanakan DO, Alih Fungsi Perguruan TinggiBupati Gowa, Sulawesi Selatan Adnan Purichta Ichsan mengikuti wisuda Program Doktor Bidang Ilmu Hukum di Universitas Hasanuddin Makassar (Unhas) di Baruga AP Pettarani Unhas, Rabu (15/12/2021). (Dok. Pemkab Gowa)

Dari uraian di atas kita sudah harus menyiapkan strategi alih fungsi perguruan tinggi agar perguruan tinggi tidak bubar. Agar tidak bubar, mulai saat sekarang ini perguruan tinggi harus mengubah paradigmanya, dari memandang perguruan tinggi sebagai tempat pendidikan yang rigid secara administratif, menjadi tempat yang nyaman untuk bertukar ilmu dan cara perpikir.

Selayaknya kafe, yang menyediakan menu makanan yang maknyus dan WiFi yang komparatif dan kompetitif dengan pelayan-pelayan kafe yang sigap dan cepat tanggap, perguruan tinggi juga harus menyediakan menu ilmu dan cara berpikir yang handal dan mudah diakses di dalam lingkungan universitas, serta intelektual dan ilmuwan yang handal.

Ke depan, bentuk ilmu itu ada dua; ilmu husuli (hasil perolehan melalui eksperimenrasi empiris) dan ilmu potensial yang masih ada di alam semesta, sebut saja alam metafisik. Ilmu jenis pertama adalah ilmu yang dihasilkan oleh para pelayan perguruan tinggi dalam hal ini disebut dosen yang meneliti dari berbagai penelitiannya yang tersimpan di blockchain perguruan tinggi. Ilmu kedua adalah ilmu yang masih tersimpan di "blockchain universe" yang hanya biasa diakses oleh mereka yang sudah terlatih cara berpikirnya yang dikembangkan di universitas dan dimaterialisasi dengan eksperimentasi empiris. Untuk kepentingan ini, tidak bisa tidak universitas harus memiliki peralatan laboratorium yang sangat memadai untuk eksperimentasi empiris.

Untuk mewujudkan konsep di atas, harus ada perubahan terhadap apa yang disebut guru besar (GB) di Universitas. GB di Universitas tidak dipandang sebagai orang yang tercatat keilmuannya secara dokumen seperti saat sekarang ini. GB adalah pemegang kunci blockchain keilmuan dan penemu cara berpikir, pengembangnya dan yang menjadi pimpinan dalam mewujudkannya secara empiris. GB harus membentuk komunitasnya sendiri sedemikian, sehingga mereka memiliki komunitas yang berbentuk piramida. Dalam piramida komunitas itu ada GB di puncaknya dan ilmuan tingkat 1,2,3 dst di bawah GB dan ada mahasiswa di bagian paling bawah piramida.

Bayangan dari konsep komunalitas di atas seperti yang sudah dilakukan oleh Imam Jakfar Shodiq (702-765 M), cucu Muhammad SAW. Sebagai seorang pemimpin dan intelektual paripurna, Imam Jakfar didatangi mahasiswa untuk belajar cara berpikir dan mengakses ilmu dalam berbagai bidang. Tercatat ada 4000an ilmuwan yang dilahirkan oleh Imam Jakfar yang nantinya melahirkan lebih banyak lagi ilmuwan yang karyanya masih bisa kita nikmati sampai hari ini.

Universitas yang dibangun oleh Jakfar Shodiq tidak rigid secara administratif, akan tetapi dapat menghasilkan ilmuwan-ilmuwan handal. Tempat pembelajaran Jakfar Shodiq dapat dihadiri oleh siapa saja dan dari golongan apa saja. Tidak ada batas waktu pembelajaran. Mahasiswa yang sudah mendapatkan cara berpikir dan ilmu bisa langsung DO (drop out) dan mengembangkan cara berpikir dan ilmunya di kampung halamannya atau tempat lain. Alih-alih DO adalah tabuh, di universitas model Imam Jakfar, DO adalah direncanakan.

Di universitas model di atas, pembelajaran adalah sepanjang masa. Mahasiswa dapat merencanakan DO kapan saja setelah dia mengekspektasi dirinya sudah mendapatkan cara berpikir dan ilmu yang bisa dia kembangkan di luar kampus. Mahasiswa yang menjadi calon kader intelektual atau GB, bisa menjalani pembelajaran di kampus lebih lama sedemikian sehingga komunitas kampus dan masyarakat tertarik mengakses cara berpikir dan ilmu kepada mereka.

Tiga hal yang paling penting dalam universitas berbasis komunalitas di atas. Pertama, universitas harus sadar dan menerapkan internet of things (IOT) secara maksimal. Agar tidak rigid tetapi tetap rapi, administrasi harus ful IOT. Aktivitas berpikir dan keilmuan dapat dengan mudah berinteraksi dengan IOT. Dosen dalam konsep di atas sama sekali tidak bersentuhan dengan administrasi. Mereka hanya berkutat di aktivitas cara berpikir dan keilmuan. Kedua, laboratorium harus diadakan secara optimal sesuai dari hasil diskursus ilmiah di kampus. Ketiga, GB diakui bukan secara administrasi tetapi dia tumbuh secara alami di kampus dengan cara berpikir dan keilmuan yang dibutuhkan dalam pengembangan dua model keilmuan yang sudah dijabarkan di atas.

Jika universitas mulai dari sekarang dibenahi berbasis saran di atas, dapat dipastikan universitas itu tidak akan bubar. Wa Allahu A'lam bi Al Shawab.

Khusnul Yaqin
(Dosen Pasca Sarjana Ilmu Perikanan Universitas Hasanuddin)

Baca Juga: Unhas Bekali Mahasiswa Analisis Kebijakan Berbasis Data lewat SLF

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya