Pandemik, Masyarakat Lokal di Sulsel Diperalat Rusak Hutan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makassar, IDN Times - Jurnalis Advokasi Lingkungan (JURnaL) Celebes merilis hasil pemantauan kondisi kerusakan hutan di sejumlah daerah di Sulawesi Selatan. Sepanjang masa pandemik COVID-19, mereka mengklaim bahwa kejahatan dalam konteks kehutanan cenderung meningkat.
"Di beberapa kabupaten, ditemukan indikasi kejahatan illegal logging dilakukan dengan melibatkan atau bekerja sama dengan masyarakat lokal di sekitar kawasan hutan," kata Direktur JURnaL Celebes Mustam Arif dalam konfrensi pers di Makassar, Sabtu (30/1/2021).
Baca Juga: Wakil Ketua DPRD Takalar dari Golkar Tersangka Dugaan Perusakan Hutan
1. Masyarakat lokal terbatas aktivitasnya di kota, sehingga memilih terlibat dalam perusakan hutan
Pemantauan, kata Mustam, melibatkan sejumlah warga lokal di 8 daerah di Sulsel. Dua di antaranya di Kabupaten Takalar dan di Kabupaten Luwu Timur, di mana 70 persen perambahan hutan terjadi.
Pandemik COVID-19 dianggap sebagai pemicu sehingga warga lokal, mau tidak mau terlibat dalam upaya perusakan kawasan hutan. Masyarakat lokal sekitar hutan yang pendapatannya berkurang akibat dibatasi aktivitasnya di kota, terpaksa memilih mencari pekerjaan lain yang menghasilkan uang.
"Dalam masa pandemi, pengusaha kayu, pedagang kayu maupun masyarakat, yang terdesak kebutuhan, bersimbiosis melakukan pembalakan liar," ujarnya.
2. Masyarakat lokal lebih rentan dijerat hukum karena perusakan hutan ketimbang pengusaha
Mustam mengungkapkan, pengusaha atau pengepul kayu, memanfaatkan orang-orang lokal untuk menebang pohon. Batang kayu yang ditebang kemudian dikumpulkan di tempat tertentu. Setelah itu kayu diangkut menggunakan truk dan dibawa ke tempat pengumpulan yang ada di luar area hutan.
"Atau langsung ke industri pengolahan kayu, atau tempat penggergajian. Jadi, bebisnis atau penjual kayu betul-betul memanfaatkan kesempatan di masa pandemik ini," ujarnya.
Menurut Mustam, aktivitas berkepanjangan itu akan berdampak ke persoalan hukum. Masyarakat yang dimanfaatkan justru lebih rentan dijerat pidana.
"Ada indikasi masyarakat lokal yang terlibat punya risiko hukum dibanding pengusaha atau pembeli kayu yang memanfaatkan jasa masyarakat lokal," ungkapnya.
3. JURnaL Celebes ungkap pola perdagangan yang dilakukan dengan masyarakat rentan
JURnaL Celebes, lanjut Mustam, memantau aktivitas perusakan hutan sejak beberapa bulan terakhir. Sepanjang pemantauan pada Oktober 2020 hingga Januari 2021, ditemukan pola seragam yakni para pelaku kejahatan hutan dalam bisnis melibatkan masyarakat lokal.
"Dugaan kami, pelaku kejahatan dari pihak pembeli atau pengusaha kayu ilegal menggunakan pola ‘rantai putus’ untuk menghilangkan jejak," katanya.
Pola rantai putus ini kerap digunakan agar pemodal bisa terhindar dari jerat hukum. Mau tidak mau, masyarakat lokal lah yang kemudian menjadi korban. Pemantauan masih berlanjut untuk mengetahui pasti bagaimana pembagian upah yang didapatkan masyarakat.
Baca Juga: Hutan Kita, Harga Diri Kita