LBH Makassar: Bayi Meninggal Dinyatakan Positif COVID-19 Tanpa Bukti

LBH menerima dua aduan masyarakat soal penanganan COVID-19

Makassar, IDN Times - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Makassar menerima dua pengaduan dari masyarakat mengenai penanganan COVID-19. Laporan terkait dugaan kejanggalan sistem rumah sakit dalam menangani pasien dengan protokol COVID-19.

Kepala Divisi Hak Sipil dan Keberagaman LBH Makassar, Abdul Azis Dumpa mengatakan, dua kasus diadukan langsung pihak keluarga pasien di posko pengaduan hukum korban layanan kesehatan dan jenazah COVID-19 di Sulsel. LBH Makassar membuka pengaduan secara gratis kepada masyarakat.

"Kasus pertama, kejadian 20 april 2020. Kasus kedua, 16 Mei 2020 sampai dengan 26 Mei 2020 (korban) meninggal dunia," kata Azis kepada IDN Times, Rabu (17/6).

Baca Juga: Dirugikan Kebijakan Terkait COVID-19? Lapor ke Posko LBH Makassar

1. Kasus pertama korban kecelakaan meninggal tapi dimakamkan dengan protokol COVID-19

LBH Makassar: Bayi Meninggal Dinyatakan Positif COVID-19 Tanpa BuktiIlustrasi pasien COVID-19 (ANTARA FOTO/REUTERS/Lucy Nicholson)

Azis menyebut dua laporan datang dari pasien di dua rumah sakit berbeda di Makassar. Kasus pertama merupakan pasien korban kecelakaan. Korban mengalami benturan di kepala dan pendarahan di telinga kanan.

Menurut keterangan pihak keluarga, korban dibawa ke rumah sakit dengan harapan mendapat perawatan maksimal. Tapi korban yang dalam kondisi kritis di ruang ICU rumah sakit diduga tidak mendapat penanganan hingga dia dinyatakan meninggal.

"Penanganan jenazah korban dilakukan dengan prosedur penanganan COVID-19. Hal tersebut membuat kaget keluarga korban yang pada akhirnya mereka meminta penjelasan dari dokter yang menangani korban, namun tidak mendapatkan penjelasan dan malah menghindari keluarga korban," ucap Azis.

2. Bayi berusia tiga bulan divonis positif tanpa bukti hasil tes swab

LBH Makassar: Bayi Meninggal Dinyatakan Positif COVID-19 Tanpa BuktiIlustrasi swab test. (Dok.Kementerian BUMN)

Kasus kedua, kata Azis, menyangkus seorang pasien bayi berusia tiga bulan. Korban meninggal di rumah sakit dengan diagnosa radang selaput otak menurut hasil rontgen. Sebelum meninggal, korban menjalani tes swab dan hasilnya disebut positif. Tapi pihak rumah sakit tidak menunjukkan bukti hasil pemeriksaan laboratorium.

"Korban dirujuk ke rumah sakit Rujukan penanganan COVID-19. Di rumah sakit rujukan, korban mendapatkan pelayanan rapid test dan menunjukkan hasil negatif sehingga korban dirujuk kembali ke Rumah Sakit awal tempat pertama kali korban dibawa oleh keluarga," ujat Azis.

Karena alat kesehatan tidak memadai di rumah sakit awal, korban kembali dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas ruang PICU. Kondisi korban terus menurun dan akhirnya meninggal dunia. Di rumah sakit rujukan ini, korban juga mendapatkan pelayanan tes swab dan menunjukkan hasil yang negatif.

"Sampai saat keluarga korban mengajukan permohonan bantuan hukum, mereka belum mendapatkan hasil swab test dari rumah sakit rujukan pertama yang menyatakan korban positif COVID-19," Azis menerangkan.

3. Pemerintah dianggap gagal penuhi hak kesehatan bagi warga negara

LBH Makassar: Bayi Meninggal Dinyatakan Positif COVID-19 Tanpa BuktiKunjungan Gugus Tugas pusat ke posko Gugus Tugas COVID-19 Sulsel di Makassar, Minggu (7/6). Humas Pemprov Sulsel

Laporan ini, menurut LBH, menunjukkan bahwa pemerintah pusat dan daerah telah gagal memberikan pemenuhan HAM menyangkut pemenuhan hak atas kesehatan terhadap warga negara. Masyarakat dibuat geram karena tidak adanya informasi transparan dan akuntabel dari rumah sakit mengenai status COVID-19 pada pasien.

Dampaknya, kata Azis, bisa menimbulkan konflik antar keluarga pasien, pihak rumah sakit, dan gugus tugas COVID-19 yang bertanggung jawab dalam proses penanganan jenazah.

Azis menyebutkan sejumlah aturan soal pemenuhan hak atas kesehatan. Di antaranya, Pasal 25 (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM); Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945; Pasal 12 UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Kovenan EKOSOB); UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; dan UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.

"Semua aturan hukum di atas mengatur tanggung jawab pemerintah untuk menjamin pengakuan, pemenuhan, dan perlindungan hak atas kesehatan setiap orang di wilayah negara RI termasuk di Provinsi Sulawesi Selatan yang mencakup jaminan ketersediaan fasilitas layanan barang dan jasa serta informasi kesehatan," ucap Azis.

Azis menyebut kegagalan pemerintah akan berdampak hukum. Setiap orang punya hak menggungat pemerintah selaku pemangku kewajiban, baik lewat mekanisme hukum secara nasional maupun internasional.

Baca Juga: Pengunjung Mal di Makassar: Di Luar Jaga Jarak, di Dalam Tidak Lagi

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya