[WANSUS] Ketua AMAN Sulsel: Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat 

Masyarakat adat adalah benteng identitas kultural Nusantara

Makassar, IDN Times - Berbagai kasus terus menimpa masyarakat adat akibat belum adanya peraturan perundang-undangan terkait pengakuan dan pemenuhan hak masyarakat adat. Di Sulawesi Selatan, masyarakat adat mengalami tekanan dalam konflik izin tambang dan hutan lindung di wilayah Adat Barambang Katute, penangkapan masyarakat adat Soppeng Turungan yang mengelola kebun sendiri, serta kriminalisasi terhadap 6 orang masyarakat adat Matteko yang melakukan kerja bakti.

AMAN menilai konflik dan kriminalisasi yang menimpa masyarakat adat menunjukkan adanya ancaman besar bagi masyarakat adat di wilayahanya sendiri. Untuk itu, AMAN mendesak pemerintah segara mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat.  

Pada Sabtu, 20 Maret 2021, IDN Times berkesempatan melakukan wawancara khusus dengan Ketua Badan Pengurus Harian (BHP AMAN Sulsel), Sardi Razak di Sekretariat AMAN Sulsel, Jalan Beringin 3 Nomor 14, Kota Makassar. Ia menceritakan perihal konfilk dan kriminalisasi yang menimpa masyarakat adat serta perlunya pengesahan RUU Masyarakat Adat.

Apa sih yang dimaksud masyarakat adat dan apa yang membedakannya dengan masyarakat pada umumnya?

[WANSUS] Ketua AMAN Sulsel: Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat Beberapa warga adat Kajang Ammatoa sedang beraktivitas di kawasan hutan adat Kajang Ammatoa, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

Sebenarrnya untuk membedakan itu ada empat hal yang bisa menjadi beda masyarakat (adat) dengan bukan masyarakat adat. Empat pembeda ini bisa kita lihat dari pertama; berkaitan dengan kalau masyarakat adat, dia sekelompok orang yang memiliki identitas budaya yang sama; sejarah yang sama, spiritualitas yang sama. Misalnya orang Kajang satu identitas, sejarahnya satu. Beda kalau masyarakat umum yang terdiri dari berbagai suku.

Kedua, masyarakat adat memiliki wilayah hidup yang didalamnya ada hutan, ada tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya. Kemudian masyarakat adat itu tidak melihat hanya urusan ekonomi di dalam, tapi di situ ada urusan spiritualitas, ada urusan terkait bagaimana keberlangsungan hidup juga. Jadi berbeda pandangan orang yang bukan masyarakat adat terkait dengan wilayah hidup.

Ketiga, masyarakat ini memiliki pengetahuan dan kearifan lokal. Punya pengetahuan yang diduga diwariskan oleh leluhurnya yang dikembangkan terus. Misalnya terkait dengan pengobatan tradisional yang mereka miliki. Orang sakit pun dipegang-pegang, dikasih daun-daun, sembuh. Ada pandemik, mereka melakukan ritual tolak bala dan lain-lain. Mereka yang punya pengetahuan itu mengundang leluhurnya hadir di situ menjaga wilayah itu. Itu lewat kearifan lokal yang di perkotaan tidak kita temukan.

Keempat, berkaitan dengan ada pranata sosial yang dimiliki oleh masyarakat adat. Pranata sosial ini terdiri dari lembaga adat dan hukum adat. Inilah yang kemudian mengatur cara hidup masyarakat adat yang tidak ada di perkotaan. Seperti sistem bernegara yang ada eksekutif, legislatif yang kemudian itu memang sistemnya. Saya ambil contoh Kajang, dari dulu Ammatoa terus. Kalau di kota tidak ada seperti itu. 

Itu yang bisa menjadi pegangan kita bersama melihat siapa sih sebenarnya masyarakat adat itu.

Memang situasi saat ini banyak sekali yang mengaku sebagai masyarakat adat. Mungkin kalau kita cek ini lebih kepada persoalan bagaimana menguasai sumber daya alam. Ada kepentingan penguasaan personal dan rujukan ini memang searah dengan konstitusi negara pasal 18 B ayat 2. Negara mengakui kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih ada yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip negara tersebut.

Berapa jumlah komunitas masyarakat adat di Sulsel?

[WANSUS] Ketua AMAN Sulsel: Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat IDN Times / Istimewa

AMAN Sulsel ini bekerja di beberapa kabupaten (di Sulsel) sama yang ada di Sulbar. Di Sulbar itu ada 64 anggota AMAN Sulsel. Untuk di Sulsel itu, kami saat ini bekerja salah satunya di Tana Toraja dan Toraja Utara itu ada 32 komunitas adat. Di Enrekang ada 22 komunitas adat. Sidrap ada 3, di Maros juga 4 komunitas adat. Di Gowa itu 11, di Sinjai ada 3, Takalar 1, Bulukumba 2, di Bone 3, di Wajo 1. Itulah saat ini di bawah koordinasi AMAN Sulsel. Yang di Luwu kalau tidak salah jumlahnya 89. Di Luwu Raya itu, ada sekitar 147. Hampir 250 masyarakat adat di Sulsel.

Itu yang anggota AMAN. Tapi kan masih banyak lagi yang lain. Yang tentunya yang terdaftar sebagai anggota AMAN kriteria sebagai masyarakat adat sudah ada. Karena di AMAN ada proses pendaftaran, ada proses verifikasi. Jadi mereka itu mengisi formulir. Ada berita acara kesediaan menjadi anggota organisasi untuk AMAN. Dari permohonan itu kemudian diverifikasi terkait dengan empat hal yang sebelumnya saya sebut terkait sejarah, wilayah adat, kearifan lokal, aturan adatnya.

Harus ada dokumennya, terpenuhi informasinya, ada proses verifikasi jangan sampai asal tulis. Itupun setelah verifikasi lapangan, diusulkan lagi ada dokumennya dan hasil verifikasi ke Jakarta. Jakarta yang menentukan diterima atau tidak. Pada saat pertemuan pengurus besar di Jakarta, pada saat rapat kerja nasional maupun pada saat pemeriksaan di AMAN. Jadi ada tiga jalur pengesahan sebagai anggota. AMAN Sulsel hanya mengusulkan. Jadi di sana yang mengesahkan keanggotaan AMAN dengan proses panjang. 

Mengapa RUU Masyarakat Adat perlu disahkan?

[WANSUS] Ketua AMAN Sulsel: Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat Media briefing Hari Kebangkitan Masyarakat Ada Nusantara ke-22 di Kafe Red Corner Makassar, Kamis (18/3/2021). IDN Times/Asrhawi Muin

Pertama, saat ini desakan pengesahan itu berangkat dari konstitusi negara. Karena memang mandat konstitusi UUD 1945, ada pengakuan negara secara deklaratif yang kemudian di ujungnya itu diatur dalam UU. Artinya, memang ada perintahnya UU. Tapi sejak kemerdekaan Indonesia, tidak pernah ada UU yang itu. Kedua, banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang semuanya bicara tentang masyarakat adat yang implementasinya kadang bertabrakan masing-masing antara satu undang-undang dengan undang-undang yang lain. Ditambah lagi pelaksana undang-undangnya dari kementerian sampai level bawah, ego sektoralnya akan keluar yang tentunya berdampak pada masyarakat adat.

Ketiga, ada situasi ancaman yang kuat yang dihadapi oleh masyarakat adat, baik secara internal maupun eksternal. Ini persoalan identitas.

Kalau negara tidak hadir di situ, bisa dibayangkan 10 tahun ke depan masyarakat adat akan kehilangan identitas. Sementara kita sama-sama memahami bahwa masyarakat adat inilah budaya bangsa kita. Kan kita selalu (membicarakan), jangan sampai hanya simbol-simbol yang muncul. Pidato kenegaraan, presiden pakai baju adat, dan lain sebagainya tapi sebenarnya sudah kering di dalam informasinya. Ditambah lagi laju modernisasi ini. 

Praktik-praktik masyarakat adat ini yang menjadi bentengnya sebenarnya terkait dengan nilai di situ. Kalau itu jebol, terus masuk itu urusan misalnya yang di luar etika itu tidak menjadi sesuatu yang penting lagi untuk dijaga. Budaya ketimuran istilah kita. Etika, bagaimana hubungan laki-laki dan perempuan, bagaimana orangtua dengan yang muda. Itu kan bersumber dari kearifan lokal. Pengetahuan umum masyarakat adat. 

Kalau itu sudah tergerus dan tidak ada bentengnya lagi, bisa dibayangkan bagaimana kehidupan ke depan. Sumbernya ini masyarakat adat yang bentengi. Negara ini harus mengambil peran. Negara harus hadir di situ untuk melindungi nilai-nilai yang ada di masyarakat adat, termasuk hak-haknya. Masyarakat ini bagian dari bangsa ini karena memang di berbagai peraturan internasional juga itu sudah tertuang. Misalnya di deklarasi PBB, ada satu deklarasi khusus masyarakat adat yaitu UNDRIP (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People). Ada deklarasi pengakuan tentang perlindungan hak-hak masyarakat adat. Ini disahkan tahun 2007. Indonesia termasuk salah satu negara yang menandatangani deklarasi PBB itu.

Banyak sebenarnya alasan kenapa pengesahan RUU itu penting. Tapi paling tidak dengan adanya UU ini bisa menjadi payung hukum bagi para pihak pemerintah, swasta dan lain-lain untuk menjalankan kehidupan masyarakat adat.

Apa dampaknya jika RUU Masyarakat Adat tidak disahkan?

[WANSUS] Ketua AMAN Sulsel: Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat Ilustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Pertama, akan ada ketidakpastian hukum. Kedua, situasi itu akan semakin membesar, apalagi dengan adanya Omnibus Law UU Cipta Kerja. Itu kan mengundang investasi. Ketika bicara tanah, misalnya ada perusahan yang lewat Omnibus Law akan masuk ke wilayah masyarakat adat. Sementara masyarakat adat secara de facto mengklaim wilayah itu. Tentunya ada konfilk di situ.

Dengan adanya UU ini yang berimplikasi pada pengakuan masyarakat adat, ini akan jelas siapa sih sebenarnya pemilik lahan itu.

Ini akan memberikan kepastian hukum dibanding perusahan ini datang ketemu pemerintah. Ketemu di masyarakat, 'ada saya punya ini (pengakuan atas hak lahan)'. Dengan adanya pengakuan itu, ini akan lebih jelas siapa pemiliknya. Jadi dunia yang remang-remang itu menjadi jelas. 

Bayangkan kalau misalnya ada tanah semua (pihak) mengklaim punyanya. Kan tidak jelas. Dengan adanya pengakuan itu akan menjadi jelas yang kemudian berdampak pada praktik yang bersih. Kalau remang-remang kan aneh-aneh. Banyak yang aneh-aneh terjadi, ada korupsi dan lain-lain. Jadi sebenarnya kan itu yang harus kita perangi secara bersama-sama. Jadi ini akan memberikan kepastian hukum.

Apakah ini berarti masyarakat adat selama ini belum mendapatkan pengakuan hukum dari negara?

[WANSUS] Ketua AMAN Sulsel: Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat Ilustrasi Hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Praktiknya sejak Indonesia ada, pengakuan itu di berapa tempat sudah ada. Tapi pengakuan melalui produk hukum daerah kabupaten. Ini pun karena komitmen dari political kabupaten. Yang kita harapkan negara ini menjadi payung. Jadi beberapa kabupaten keluar dari sengkarut sektoral itu. Karena mungkin lewat hubungan yang baik dan diskusi terus sehingga dianggap penting. Dengan kewenangannya, mereka melahirkan produk hukum berupa perda dan lain-lain.

Tapi sebenarnya itu akan lebih cepat ketika undang-undang ini ada.

Dengan adanya undang-undang itu menjadi mandatory secara nasional. Kan kalau sifatnya undang-undang semua. Yang sekarang kan hanya perda. 

Investor kerap masuk di wilayah masyarakat adat. Sejauh ini berapa banyak masyarakat adat di Sulsel yang berkonfilk dengan perusahaan?

[WANSUS] Ketua AMAN Sulsel: Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat Masyarakat adat Pamona, Desa Pancakarsa, Kecamatan Mangkutana, Luwu Timur, didampingi WALHI Sulsel dalam ekpos dugaan penyerobotan lahan. IDN Times/Sahrul Ramadan

Banyak sekali. Cuma kan kalau bicara konflik, ada yang sifatnya laten, ada sifatnya berhadapan langsung atau manifest. Yang laten ini setiap saat meledak, tinggal tunggu pemicunya saja. Dan itu kejadian yang berulang-ulang. Jadi di Sulsel ini, kalau kita lihat tipologi konflik terkait dengan pengelolaan wilayah, ada konflik yang bersumber dari ekspansi perusahaan. Sawit misalnya yang perkebunan skala besar, tambang dan lain-lain.

Ada juga konflik terkait dengan kebijakan negara menetapkan hutan adat menjadi hutan negara.

Ada juga konflik lahan terkait dengan rencana pembangunan infrastruktur seperti DAM dan lain-lain. Yang banyak terjadi itu berkaitan dengan pengelolaan hutan, penetapan kawasan hutan negara. Kalau yang berkaitan dengan perkebunan skala besar, kalau kita ambil contoh di Kajang dengan PT London Sumatra yang tahun 2003 itu menelan korban. Sekitar 11 orang ditangkap, 2 orang meninggal. Sampai sekarang masih (konflik). Belum lagi di tempat lain misalnya soal infrastruktur Paselloreng di Wajo. Pokoknya banyak yang lain.

Yang manifest itu seperti yang terjadi di Kajang. Ada orang meninggal. Seperti juga di PT Inco Sorowako yang sekarang PT Vale. Yang Seko juga, di Matteko juga dengan penangkapan Gowa, di Sinjai penangkapan juga. Yang di Kajang tahun 2003. Sebenarnya banyak lagi, cuma kan tidak selesai akar persoalannya. Wilayahnya masih tetap wilayah perkebunan skala besar, tambang, hutan negara dan lain-lain. Tinggal butuh pemicu dikompori sedikit naik lagi.

Artinya, UU ini akan menertibkan. Omnibus Law akan susah bicara kepastian hak ketika belum ada pengakuan di masyarakat adat. Akan susah bicara investasi di wilayah-wilayah adat kalau masyarakat adat belum diakui. Posisi masyarakat adat akan lemah di situ. 

Korban yang berkonflik itu termasuk kriminalisasi. Kenapa masyarakat adat rentan dikriminalisasi?

[WANSUS] Ketua AMAN Sulsel: Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat Ilustrasi hukum (IDN Times/Sukma Shakti)

Dia rentan karena negara tidak mengakui. Negara tidak hadir dalam bentuk pengakuan dan perlindungan hak. Seharusnya kan negara melindungi, memenuhi dan menghargai terkait dengan hak. Sebenarnya dengan situasi yang dihadapi itu, tidak ada sama sekali yang terjadi bentuk perlindungannya seperti apa, bentuk pemenuhannya, dan penghargannya seperti apa.

Akhirnya, mereka jadi kelompok yang rentan mendapatkan kriminalisasi. Ambil contoh misalnya yang kasus Matteko. Di kampung mereka, hampir 3/4 masuk dalam kawasan hutan negara. Jadi ada jalan di sana melintas, kemudian ada jaringan listrik. Beberapa tahun lalu, masyarakat adat berinisiatif bergotong royong karena badai yang membuat pinus-pinus tumbang menjatuhi listrik. Akhirnya bergotong royong.

Celakanya, mereka membersihkan itu dan dikriminalisasi, ditangkap. Ada 6 orang, vonisnya 6 bulan penjara. Tuntutan jaksa 2 tahun lebih. Bayangkan, mereka mau berinisiatif gotong royong, akhirnya mereka kena pidana. Karena di kampung ini memang sebagian besar hutan negara. Sementara kampung ini sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. 

Artinya negara tidak hadir di situ. Justru negara menjadi penghambat dan penindasnya.

Mereka duluan ada. Indonesia merdeka 1945, UU kehutanan tahun 1999. Terus menetapkan kawasan hutan negara di situ. Artinya negara hadir justru menghilangkan hak mereka. Seharusnya negara hadir sesuai tujuan pembentukannya yakni melindungi segenap bangsa Indonesia. Masyarakat adat bagian dari warga bangsa.

Bagaimana kontribusi pemerintah untuk menjaga masyarakat adat?

[WANSUS] Ketua AMAN Sulsel: Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat ANTARA FOTO/Basri Marzuki

Dalam konteks ini kalau kita lihat kontribusinya berbeda-beda masing-masing kebijakan di daerah. Ada yang kuat, tentunya di Enrekang dan Toraja itu termasuk kabupaten yang kuat. Semua kabupaten, masyarakat ada bisa secara bersama-sama bergerak bersama untuk pengakuan, perlindungan masyarakat adat. Nasionalnya ini yang belum. Regulasinya belum tersedia. 

Jadi hanya kadang pakai kedekatan-kedekatan saja. Mengajak pemerintah kabupaten. ayo kami bantu. Sampai urusan perda kami harus bikin perda. Kita mandatory, bikin draft perda dan lain-lain. Mengajak pemerintah dalam berbagai pertemuan. Ini karena memang paradigma ini tidak kuat. Kemudian tidak ditopang dengan regulasi. Berimplikasi pada anggaran.

Bayangkan ketika ada undang-undangnya, maka perintah undang-undang harus (dijalankan).

Saya membayangkan ketika undang-undang desa ada di Indonesia. Semua bergerak, satu nusantara bergerak. Itu karena ada undang-undang. Itu juga kita bayangkan ketika ada undang-undang masyarakat adat bisa segera disahkan, semua bergerak. Justru kami akan kelabakan. Bisa jadi AMAN hanya mengawal proses itu. 

Menurut Anda, apakah masyarakat adat itu rentan atau pernah menjadi korban stigma antimodernitas?

[WANSUS] Ketua AMAN Sulsel: Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat Pemerintah, TNI, Polri serta masyarakat dan tokoh masyarakat adat lainnya saat melakukan pertemuan beberapa waktu lalu (IDN Times/ Ervan Masbanjar)

Sebenarnya masyarakat adat itu tidak juga antikemajuan. Karena misalnya ambil contoh di Kajang. Ammatoa di sana kalau warganya mau mengakses televisi silakan, tidak dibatasi. Tapi jangan di kawasan adat karena memang ada aturan adatnya. Sistemnya itu proteksi supaya yang tidak berdampak bahkan negatif itu bisa ditapis dan pastinya dinamika kan ada.

Perubahan pasti terjadi. Siapa yang bisa lawan? Hanya saja perubahan itu harus yang positif. Tidak antimodernitas. Banyak kita minta fasilitas telepon dan lainnya bisa tembus ke masyarakat adat. Di tempat-tempat lain kan tidak ada larangan pakai handphone asalkan sinyal bisa masuk. Masing-masing masyarakat adat kan beda-beda aturannya. Ada yang boleh ada yang tidak boleh, di sini boleh di situ tidak boleh.

Tapi mereka tidak antimodernitas. Mereka tetap pakai baju. Dulu kan tidak ada kain.

Artinya kan dia mengadaptasi juga. Cuma dengan kearifan itu diproteksi juga. Tidak semuanya diambil. Ada proses adaptasi yang baik. Contohnya soal etika. bagaimana masyarakat adat mengatur soal hubungan antara laki-laki dan perempuan, karena perubahan ini kan tidak ada tapisnya. 

Bagaimana peran anak muda dalam melestarikan masyarakat adat mereka?

[WANSUS] Ketua AMAN Sulsel: Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat IDN Times/Rudal Afgani

Inilah yang sebenarnya kita mau kuatkan terus, karena kita sangat memahami bahwa ada situasi perubahan yang terjadi. Kemudian pada titik itu nanti anak mudanya yang berperan. Misalnya terjadi penggantian lembaga adat. Tentunya orangtua ini kan tidak bisa selamanya. Jadi harus regenerasi. Itu disiapkan memang menjadi pemimpin di komunitasnya.

Anak muda ini mengalami situasi di mana modernisasi pelan-pelan mulai mengikis kearifan lokal. Apalagi di wilayah-wilayah semi terbuka yang mulai masuk akses informasi. Ini yang kemudian kita konsolidasi kembali. Istilahnya kami 'Gerakan Pulang Kampung'. Itu bisa dicontoh, misalnya ada anak-anak muda dari kampung, kuliah di Makassar. Kemudian dengan bekal pengetahuannya tidak mau pulang kampung. Dia lebih cari kehidupan di kota, itu pun yang penting pakai baju dinas.

Ini yang coba kita kuatkan karena di masyarakat adat ada sumber daya alam yang sayangnya tidak dikelola dengan baik, akhirnya tidak berkembang.

Makanya secara organisasi, AMAN mendorong pengakuan tanah adat yang kemudian hutan adat ini dikelola dengan pengetahuan dan kearifan lokal. Merekalah yang berkontribusi.

Untuk mengelola sumber daya alam itu dibutuhkan orang dengan kemampuan baik, pembelajaran di kampus, misalnya pertanian. Di kampung ada lahan tapi supaya tidak kebablasan, ada kearifan lokal. Ini yang dikolaborasi. Posisi ini menginternalisasi ulang, dilatih soal apa itu masyarakat adat dan sebagainya. Coba diidentifikasi dirinya yang tadinya sudah jauh.

Saya kadang bertanya bagaimana masyarakat adat di kampung masih ada ritual ini saya bilang hanya ritual dia tahu, sejarahnya sudah lupa karena faktor itu tadi. Ritualnya sudah jarang dilakukan. Nanti pakai baju adat kalau ada acara. Padahal kan sebenarnya banyak yang lain. Di kampung itu baru mau tanam padi sudah ada prosesnya. Mulai dari orang lahir sampai mati ada ritual daur hidup.

Apakah sulit mengajak anak-anak muda yang sudah terlanjur mengenal modernisasi untuk kembali ke masyarakat adat?

[WANSUS] Ketua AMAN Sulsel: Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat Ilustrasi Bermain Musik (Bass) (IDN Times/Shemi)

Kalau susah ya namanya kan pekerjaan. Tapi kalau niatnya baik, saya berpikir prinsip orang itu kalau dia diceritakan pasti mendengar itu. Batu pun kalau ditetesi air bisa bocor. Paling tidak kan kita tetap sampaikan saja. Itu menjadi tantangan tersendiri. Kadang saya hari ini diskusi, bulan depan bertemu. Saya cek sejauh mana pengetahuan mereka. Kalau tidak maju-maju berarti saya introspeksi diri mungkin strategi penyampaian saya yang salah.

Kadang saya mengatakan ke teman-teman, kira-kira di metode penyampaian saya ada yang salah atau tidak. Karena orang mendengar itu antusiasme mendengar juga tergantung yang pembicaranya. Jangan sampai kita semangat tapi orang malah tidur. Makanya kami juga belajar dengan proses itu. Ini kan sesuatu yang berkarat mau dibersihkan. 

Rata-rata anak muda berada di zona nyaman.

Tiba-tiba mau dikembalikan padahal sudah terlalu jauh dimoderniasi, dia menganggapnya sesuatu yang ketinggalan zaman. Harus dipersandingkan bahwa yang dimaksud ketinggalan zaman ada kelebihan dari yang modern ini. Ini juga menjadi suatu pekerjaan untuk meyakinkan mereka bahwa yang mereka anggap ketinggaln ada lebihnya.

Apa saja ciri khas kekayaan adat, termasuk soal hutan, tradisi, spiritualitas, khususnya masyarakat adat di Sulsel?

[WANSUS] Ketua AMAN Sulsel: Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat ANTARA FOTO/Basri Marzuki

Yang paling kuat itu di semuanya, dari banyak yang berbeda satu yang paling sama yaitu semangat gotong royong. Itu yang kuat sekali di masyarakat. Semua apa-apa gotong royong. Sangat susah kita ketika berbicara komunal menemukan nilai di situ. Memang semangat keikhlasan gotong royong itu yang menjadi modalitas sosial masyarakat adat. Itu kemudian menjadi kekuatan bersama untuk memproteksi wilayah dan lain-lain. 

Selain masing-masing punya simbol-simbol dan aturan sendiri-sendiri, dari keramahtamahan itu. Bisa dicek kalau ke manapun masyarakat adat, akan ada hubungan sosial yang tinggi. Itu kan bersumber dari nilai-nilai seperti sipakalebbi, sipakainga, sipakatau. Banyak, tapi budaya itu meskipun di tempat lain berbeda penyebutannya, hampir sama prinsipnya yaitu saling menghargai, saling mengingatkan.

Kadang apa yang dicerita oleh si pemangku adat itu bukan sesuatu yang baru tapi dari proses sejarah panjang yang kemudian tertuang dalam aturan adat, lontara, bahkan sering menggali yang jauh dari masyarakat adat.

Kebanyakan orang mengangap masyarakat adat itu identik dengan ritual.

Karena memang konsep pendidikan yang ada di negara ini ketika berbicara masyarakat adat ya seperti itu, sesuatu yang terasing, primitif, aneh, unik. Itu yang muncul, kemudian itu yang masuk di alam bawah sadarnya orang-orang perkotaan. Stigmanya kan kencang sekali. 

Hanya karena yang lain mayoritas kemudian mendiskriminasi yang minoritas. Siapa yang asing, siapa yang primitif. Mereka menjalankan sesuai dengan aturan adatnya. Kita ini di perkotaan mengadopsi yang dari luar-luar. Bangga dengan pakaian merek tertentu seementara di satu sisi tidak bangga dengan identitas. Bahkan anak muda pun kalau masuk di kampus banyak yang malu mengaku sebagai masyarakat adat. Itulah tantangannya.

Sejauh ini, bagaimana AMAN berperan melestarikan masyarakat adat?

[WANSUS] Ketua AMAN Sulsel: Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat Ketua BPH AMAN Sulsel, Sardi Razak. IDN Times/Asrhawi Muin

Kalau perannya sebenarnya AMAN dalam konteks organisasi kan bekerja di tiga arah, melayani, membela, melindungi untuk tujuannya mendorong masyarakat adat berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya. Berdaulat secara politik bagian dari kerja-kerja memastikan kedaulatan. Makanya di sini bekerja perda, undang-undang di sini ranahnya.

Mandiri secara ekonomi itu bagian dari bagaimana mengelola wilayah. Tidak tergantung masyarakat adat dengan luar karena punya kekayaan.

Bermartabat secara budaya, di sinilah kerja-kerja yang bermuara pada bagaimana kebanggan pada cerita identitas. Kalau bicara kegiatan, banyak sekali. Ada dokumentasi, bikin film dan lain-lain. 

Untuk semua itu, AMAN ini kan hanya organisasi yang dibentuk masyarakat adat. Yang seharusya bekerja adalah negara. Makanya AMAN mendorong negara. Jadi saat ini AMAN hanya lebih menyiapkan infrastruktur dasarnya. Kuatkan masyarakat adat, dokumentasikan kearifan lokal, bikin peta wilayah adat, dorong perdanya. Ketika ini semua sudah ada, harusnya negara sudah masuk.

Bagaimana AMAN memberikan bantuan untuk masyarakat adat yang dikriminalisasi?

[WANSUS] Ketua AMAN Sulsel: Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat Ilustrasi Penjara (IDN Times/Mardya Shakti)

AMAN kan selain punya jaringan, mitra strategis seperti LBH, AMAN juga punya organisasi sayap, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), itu seratusan lebih. Ketika terjadi kasus kriminalisasi yang sifatnya struktural, ada pengacara-pengacara AMAN yang kebanyakan juga dari masyarakat adat yang dilatih, disekolahkan hukum, kemudian sampai menjadi pengacara, itu akan melakukan pembelaan, tidak dibayar.

Jika ada kasus kriminalisasi, apakah dia datang melapor atau kita ke sana dapat kabar itu harus didampingi yang penting kasusnya jelas.

Misalnya kasus di Matteko, wilayahnya lagi perbaiki jaringan listrik tiba-tiba dikriminalisasi. Mereka anggota AMAN, ya wajib dibela. Warga yang dikriminalisasi juga sudah bebas. Paling tidak kan kita berupaya. Selama ini kasus yang ditangani rata-rata dijatuhi vonis. Tuntutannya ada yang 2 tahun, kita berhasil tahan menjadi beberapa bulan.

Apa yang menjadi penekanan untuk pemerintah supaya segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat?

[WANSUS] Ketua AMAN Sulsel: Urgensi Pengesahan RUU Masyarakat Adat Ilustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk tidak segera mensahkan RUU Masyarakat Adat.

Karena ini sudah diproses sejak 2013. Selalu gagal, terakhir pemerintah yang menjadi faktor penghambat gagalnya disahkan. Pemerintah tidak mau yang pada saat itu dipimpin Tjahjo Kumolo tidak segera merespon baik usulan DPR untuk segera pengesahan RUU Masyarakat Adat.

Tapi kemudian di 2021 ini masuk lagi. Mudah-mudahan di tahun 2021 bisa segera disahkan supaya menjadi basis legal bagi semua pihak yang berhubungan dengan masyarakat adat. Bahkan masyarakat adat itu sendiri bisa lebih baik kehidupannya. Tentunya ini akan berkontribusi positif bagi pembangunan bangsa di Indonesia dengan adanya kepastian hukum, kejelasan status.

Macam-macam dampak positif yang ditimbulkan dengan pengesahan RUU Masyarakat Adat dengan penetapan masyarakat adat sebagai subjek hukum. 

Baca Juga: AMAN Sulsel Desak Pengesahan RUU Masyarakat Adat

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya