Riset WALHI: Millennial dan Gen Z Paham Ekosida adalah Pelanggaran HAM

Ekosida masih wacana baru dalam diskursus lingkungan hidup

Makassar, IDN Times - Generasi millennials dan Generasi Z (Gen Z) di Indonesia ternyata memiliki kepedulian terhadap lingkungan hidup. Mereka memahami bahwa kerusakan lingkungan merupakan bentuk kejahatan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).

Hal ini dipaparkan dalam rilis hasil riset bertajuk 'Persepsi Publik terhadap Kejahatan Ekosida dan Korporasi' di Bikin Bikin Creative Hub, Kota Makassar, Rabu (23/12/2020).

Dari data riset Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), diketahui 90,4 persen millennial dan Gen Z sangat setuju dan setuju kerusakan lingkungan hidup adalah kejahatan lingkungan, tidak setuju 4,8 persen, serta sangat tidak tahu dan tidak tahu sebanyak 4,8 persen.

Berdasarkan hasil riset tersebut, Kepala Desk Politik WALHI, Khalisah Khalid, yang menjadi narasumber dalam kegiatan itu menyebut anak muda dengan rentang usia millennial dan Gen Z sudah memiliki persepsi yang tinggi terhadap lingkungan hidup. 

"Riset ini dilakukan agar kita tahu sejauh mana milenial dan Gen z mengetahui kasus-kasus yang melibatkan negara dan korporasi. Kami yakin milenial dan Gen Z pemilik masa depan," kata Khalisah.

1. Survei untuk mengetahui persepsi anak muda terhadap kejahatan ekosida

Riset WALHI: Millennial dan Gen Z Paham Ekosida adalah Pelanggaran HAMPemaparan hasil riset WALHI soal persepsi publik terhadap kejahatan ekosida dan korporasi di Bikin Bikin Creative Hub Mall Nipah Makassar, Rabu (23/12/2020). IDN Times/Asrhawi Muin

Survei tersebut dilakukan untuk mengetahui persepsi publik terhadap kejahatan lingkungan hidup atau yang dikenal dengan istilah ekosida. Metode penelitian dilakukan secara kualitatif melalui focus group discussion (FGD) dengan melibatkan perwakilan masyarakat dan mempertimbangkan keberagaman segmen sosial.

Survei ditentukan sebanyak 1.000 responden dari 7 provinsi, yaitu Sulawesi Selatan (128), DKI Jakarta (120), Jawa Timur (490), Sumatera Selatan (114), Jambi (50), Kalimantan Tengah (36), dan Papua (62). 

Survei ini menyasar anak kelompok muda dengan responden yang berusia 16 - 25 tahun. Sebanyak 57,6 persen responden mengaku mengetahui informasi tentang lingkungan hidup dari media sosial, sekolah/kampus 37,6 persen, media massa 36,2 persen, organisasi lingkungan hidup 33,3 persen, dan tokoh agama 1,7 persen.

Baca Juga: KontraS: Pemerintah Lakukan Kejahatan Ekosida Lewat Asap Karhutla

2. Ekosida masih wacana baru sehingga perlu dikampanyekan

Riset WALHI: Millennial dan Gen Z Paham Ekosida adalah Pelanggaran HAMKepala Desk Politik WALHI, Khalisah Khalid. IDN Times/Asrhawi Muin

Menurut Khalisah, ekosida masih wacana baru sehingga butuh sosialisasi dan kampanye, utamanya kepada generasi muda. Sebab dia yakin generasi muda memiliki aspirasi yang, sayangnya, kerap diabaikan oleh negara.

"Kekuatan anak muda sudah diuji. Negara jangan mengabaikan anak muda, jangan hanya mengejar mereka saat pemilu atau pilkada saja," katanya.

Sejauh ini, WALHI terus memperluas pemahaman tentang kejahatan struktural dan sistematis melalui diskursus mengenai ekosida sebagai bentuk pelanggaran berat HAM dan masuk di dalam instrumen hukum dan HAM nasional.

Langkah lain yang saat ini ditempuh WALHI adalah dengan terus memperkuat interaksi kepada kelompok muda yang disadari justru memiliki peranan penting dalam upaya penyelamatan lingkungan hidup ke depan.

"Memperkenalkan ekosida kepada publik masuk ke isu kesehatan. Kalau kejahatan lingkungan agak susah. Misalnya kalau polusi udara dan kesehatan itu sesuatu yang menjadi isu buat publik," katanya.

Baca Juga: Wansus Direktur WALHI Sulsel: Tambang Pasir Laut Jadi Konflik Ruang

3. Tambang pasir laut Kodingareng salah satu bentuk ekosida di Sulsel

Riset WALHI: Millennial dan Gen Z Paham Ekosida adalah Pelanggaran HAMAktivitas masyarakat Pulau Kodingareng. IDN Times/Walhi Sulsel

WALHI menyebut salah satu bentuk ekosida di Sulawesi Selatan adalah tambang pasir laut di perairan Pulau Kodingareng, Makassar. Pasalnya, tambang itu dinilai telah merenggut mata pencaharian nelayan setempat yang mengakibatkan mereka merugi.

Direktur Eksekutif WALHI Sulsel, Muhammad Al Amien, mengatakan masuknya Sulsel dalam satu wilayah yang dijadikan objek penelitian cukup penting sebab praktik-praktik kejahatan ekodisa yang cenderung dilakukan korporasi itu sudah nampak. 

"Bahkan di masa pandemik pun, praktik kejahatan lingkungan yang diduga dilakukan oleh korporasi itu terjadi saat ini," kata Al Amien dalam kesempatan tersebut.

Menurutnya kejahatan ekosida tidak bisa ditafsirkan secara teoritis tapi harus dilihat bagaimana praktiknya di lapangan. Maka dari itu, dia pun ingin menyampaikan kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan bahwa kejahatan ekosida harus menjadi perhatian serius. 

"Investasi boleh saja dikembangkan tapi perlu diingat jangan sampai demi investasi masyarakat kita abaikan. Ini alarm agar kita lebih perhatian, ini bukan masalah yang main-main," katanya.

Baca Juga: WALHI Sulsel Sebut Tiga Faktor Penyebab Banjir di Makassar

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya