Happy Hypoxia, Bahaya yang Tidak Disadari Pasien COVID-19

Kondisi kekurangan oksigen yang hampir tanpa gejala

Makassar, IDN Times - COVID-19 yang disebabkan oleh virus corona hingga kini masih terus menjadi penelitian. Umumnya, gejala yang ditimbulkan adalah demam, batuk, sakit tenggorokan dan sesak napas. Namun ada sebuah kondisi baru yang berbahaya, disebut happy hypoxia.

Humas Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Makassar, dr Wachyudi Muchsin menjelaskan,  happy hypoxia merupakan kondisi di mana tubuh kekurangan oksigen namun tidak disadari. Kondisi itu banyak ditemukan pasien positif COVID-19, dan sudah mulai didiskusikan oleh dokter sejak Juni 2020.

"Orangnya merasa baik-baik saja, hampir tidak ada gejala. Biasanya baru ketahuan kalau melakukan aktivitas berat, napasnya jadi terengah-engah, lalu tiba-tiba hilang kesadaran, pingsan, dan meninggal," kata Wachyudi saat dihubungi IDN Times, Jumat (28/8/2020).

Baca Juga: Jumlah Spesimen yang Diperiksa di Sulsel Masih Jauh dari Standar WHO

1. Saturasi oksigen harus terus dipantau

Happy Hypoxia, Bahaya yang Tidak Disadari Pasien COVID-19Dok.IDN Times/Humas RSUD Klungkung

Happy hypoxia bisa terjadi pada pasien positif COVID-19 yang nyaris tanpa gejala. Selain itu juga umum terjadi pada pasien yang baru dinyatakan sembuh dari COVID-19. 

Wachyudi mengatakan pasien yang terkonfirmasi positif dan melakukan isolasi mandiri di rumah juga harus hati-hati. Saturasi oksigen harus terus dipantau memakai pulse oximetry yang dipasang di jari. Saturasi oksigen pada orang yang sehat itu antara 95-100. 

"Pada pasien COVID-19, saturasi oksigen bisa turun 90-93. Bahkan bisa turun lagi sampai 70. Kalau pun orangnya merasa baik-baik saja, tapi kerja otak, paru-paru, dan jantung sudah terganggu," kata Wachyudi.

2. Tidur tengkurap mengistirahatkan paru-paru yang sakit

Happy Hypoxia, Bahaya yang Tidak Disadari Pasien COVID-19Ilustrasi pasien COVID-19 (IDN Times/Sukma Shakti)

Sebagai informasi, Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) menyerang organ paru-paru dan memicu peradangan yang disebut pneumonia atau paru-paru basah. Saat mengalami pneumonia, kantong-kantong udara (alveoli) di salah satu atau kedua paru-paru bisa dipenuhi cairan atau nanah sehingga menyebabkan penderitanya sulit bernapas.

Saat sulit bernapas, pertukaran oksigen dan karbondioksida jadi terganggu dan membuat saturasi oksigen turun drastis. Pada pasien yang saturasi oksigennya lebih rendah dari 75 dibutuhkan ventilator untuk membantu mereka bernapas.

Melalui pulse oximetry tim dokter bisa memantau kadar oksigen dalam tubuh pasien. Bila terdeteksi lebih dini, maka bisa diberikan pertolongan untuk meningkatkan kadar oksigen tanpa alat khusus dan obat.  Untuk pasien dengan saturasi oksigen 92-93, mereka bisa belajar tidur tengkurap.

"Tidur tengkurap ini justru mengistirahatkan paru-paru yang sakit dan memakai paru-paru yang sehat untuk bernapas. Tengkurap minimal 12 - 16 jam nanti terjadi regenerasi perbaikan paru yang sakit, dan saturasi oksigennya mulai naik," kata Wachyudi.

3. IDI Makassar minta pemerintah tetap masifkan testing dan tracing

Happy Hypoxia, Bahaya yang Tidak Disadari Pasien COVID-19Ilustrasi Tes Usap/PCR Test (IDN Times/Hana Adi Perdana)

Dengan adanya gejala baru ini, IDI Kota Makassar pun meminta pemerintah harus terus masif lakukan tes swab atau PCR agar bisa dilakukan tracing yang positif baik OTG atau bergejala. Dengan ini, treatment bisa segera dilakukan dan bukan melonggarkan testing.

Menurut Wachyudi, jika tes swab masif dan hasil positif menurun maka barulah kasus COVID-19 bisa dikatakan menurun secara data statik yang layak dipertanggungjawabkan. Tapi jika testing kendor maka sama saja masyarakat dapat kesenangan semu dengan mengatakan berkurang.

"Simpel sebenarnya agar bisa menurunkan COVID-19 dengan peran aktif masyarakat secara sadar memakai masker, sebab 98 persen efektif menangkal virus. Jaga jarak diintenskan serta sering cuci tangan agar virus tidak bisa pindah karena mati akibat sabun," katanya.

4. Spesimen yang diperiksa menurun

Happy Hypoxia, Bahaya yang Tidak Disadari Pasien COVID-19Ilustrasi Tes Usap/PCR Test (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Sementara itu, jumlah pemeriksaan spesimen COVID-19 di Sulsel per pekan masih tergolong rendah. Bahkan belum sesuai dengan standar yang ditetapkan WHO yakni 1/1.000 penduduk per pekan. 

"Sulsel baru 0.33/1.000 (penduduk) per minggu, ini yang terus diusahakan. Kalau standar 1/1.000 per minggu belum terpenuhi," kata Ketua Tim Konsultan Gugus Tugas COVID-19 Sulsel, Ridwan Amiruddin, saat dikonfirmasi IDN Times, Kamis (27/8/2020).

Ridwan mengakui ada penurunan jumlah spesimen yang diperiksa. Namun hal ini tidak berarti bahwa testing dan tracing tidak lagi dilakukan. Dia mengatakan bahwa hingga kini tracing dan testing tetap dilakukan hanya saja lebih fokus pada kontak erat dibandingkan masyarakat umum sebagaimana arahan Kementerian Kesehatan.

"Kami meningkatkan kontak erat selama sepekan atau dua pekan terakhir dari seluruh kasus yang terkonfirmasi positif harus dilacak," kata Ridwan.

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya