TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Saat  Sukarno Melawat ke Makassar dan Menolak Jadi Raja Indonesia

Lawatan senyap ke Makassar disambut bom pesawat tempur AS

Kolase Berbagai Sumber (Wikimedia Commons/Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Makassar, IDN Times - Sebelum berkunjung atas nama Chuo Sangi In (Dewan Rakyat) dan berpidato di hadapan rakyat (26 April - 2 Mei), Sukarno rupanya sempat melawat ke Makassar pada Maret 1945. Namun, kunjungan ini bersifat rahasia. Ia bersama Achmad Soebardjo terbang diam-diam ke Kota Daeng memenuhi undangan petinggi Rikugun, Angkatan Laut Jepang, yang menguasai Indonesia timur.

Saat itu, militer Jepang sedang terdesak di teater pasifik Perang Dunia II. Setelah digempur habis sejak bulan Desember 1944, Filipina akhirnya jatuh ke tangan Amerika Serikat di bulan Februari 1945. Terlebih pos strategis militer mereka yakni Pulau Saipan, sudah jatuh sejak Juli 1944. Artinya, Tokyo tak lagi mampu lagi melindungi Indonesia secara langsung.

Tanpa bantuan, praktis militer Jepang di Indonesia memalingkan muka pada penduduk lokal. Mereka mulai melunak, membuka pintu kerjasama dan memberi janji kemerdekaan pada September 1944.

"Mereka sadar bahwa bagaimana pun caranya, sekarang mereka sangat membutuhkan penduduk pribumi yang kooperatif. Sebab melawan musuh (Sekutu) dan penduduk yang menentang pendudukan dengan sekaligus itu sama saja dengan bunuh diri," ungkap Putra Sang Fajar kepada jurnalis Cindy Adams, dalam buku Soekarno: An Autobiography (CV Gunung Agung, 1966).

Baca Juga: Sukarno dan Pemikirannya Soal Modernisme Islam

1. Di Makassar, petinggi militer Jepang usulkan Indonesia menjadi negara kerajaan

Sukarno (berdiri) bersama dengan Mohammad Hatta (duduk di kiri) sedang berbicara di hadapan komandan perang Kekaisaran Jepang di Pulau Jawa, Letnan Jenderal Kumakichi Harada, antara tahun 1941 hingga 1945. (Wikimedia Commons/Nationaal Archief)

Pada Maret 1945, Sukarno dan Achmad Soebardjo yang kelak menjadi Menteri Luar Negeri pertama Indonesia, berangkat ke Makassar. Mereka didampingi Shigetada Nishijima, orang Jepang yang menaruh simpati pada perjuangan Indonesia. Tak ada tanggal pasti kapan mereka tiba dan pulang. Bung Karno bahkan tak mau menyebut hal tersebut di buku otobiografinya yang mashyur itu.

Agaknya, topik pembahasan dengan para petinggi Minseifu -pemerintahan militer- yang sensitif membuat Sukarno enggan menjelaskan lebih rinci lawatannya ke Makassar. Apakah itu? Ternyata, militer Jepang mendorong Indonesia nanti berbentuk sebagai kerajaan monarki. Ini disebut sebagai kehendak rakyat.

"Seperti yang Anda bisa lihat dalam kunjungan baru-baru ini, rakyat Bali condong ke arah (negara) kerajaan. Mereka bersikeras agar Sukarno menjadi raja nantinya," demikian pernyataan salah satu pejabat Minseifu seperti yang diingat oleh Sukarno.

2. Usulan Indonesia menjadi negara monarki dan menjadi rajanya ditolak mentah-mentah oleh Sukarno

Proklamator Republik Indonesia, Wakil Presiden Mohammad Hatta (kiri) dan Sukarno (kanan) dalam sebuah pertemuan di masa Revolusi Nasional antara tahun 1945 hingga 1949. (Dok. Perpustakaan Nasional)

Namun, usulan Jepang ditolak mentah-mentah oleh Bung Karno. Sejak lama ia mengidam-idamkan Indonesia sebagai republik, sebagai sebuah pemerintahan terpusat.

"Jauh ketika kemerdekaan hanya mimpi yang jauh dari kenyataan, saya sudah bersumpah bahwa kami takkan menjadi kerajaan. Saya menentang kemungkinan bentuk apapun, kecuali republik," jawab Sukarno.

Saat diwawancarai Cindy Adams, Bung Karno kemudian menjelaskan perbedaan visinya dengan sang Wakil Presiden dan orang terdekatnya di Chuo Sangi In: Mohammad Hatta. Ternyata, Hatta bermimpi Indonesia berbentuk federal yang terdiri dari beberapa negara bagian.

"Untuk masalah ini, Hatta selalu setuju denganku terutama saat pendudukan Jepang. Namun saat kemerdekaan mulai dekat, ia berubah pendirian," kenang Sukano.

Namun, Hatta malah mengecam Konferensi Malino Juli 1946 saat NICA-Belanda sedang merancang Republik Indonesia Serikat yang berbentuk federal. Bung Karno turut mengamini bahwa perbedaan pendapat ini berujung pada pecah kongsi Dwitunggal pada 1 Desember 1956, saat Hatta mundur sebagai Wakil Presiden.

3. Datang diam-diam ke Makassar, Sukarno menyaksikan pesawat tempur AS membombardir Makassar

Kondisi dermaga Kota Makassar yang rusak setelah dibombardir oleh pesawat tempur Sekutu pada tahun 1945. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Di Makassar, Sukarno meneguhkan Indonesia sebagai republik dan menolak usulan pemerintah militer Jepang agar negara baru ini menjadi kerajaan. Terlebih, Sang Proklamator turut menampik permintaan rakyat agar dirinya menjadi raja. Rupanya, ada mimpi republik yang harus tetap dijaga.

Lantas apa lagi yang dikenang Sukarno dalam kunjungan pertamanya ke Makassar? Ternyata, bom-bom pesawat tempur Sekutu tak henti "menemani" lawatannya selama lima hari. Serangkaian ledakan hebat di Makassar menghalangi tugasnya sebagai Ketua Chuo Sangi In yang ingin leluasa berbicara dengan penduduk.

"Kami dibom sebanyak 22 kali. Peringatan serangan udara berbunyi 15 menit sekali. Sepanjang lima hari itu, aku cuma bersembunyi di bunker bawah tanah yang penuh serangga dan nyamuk," ungkapnya.

Meski kedatangan Sukarno dirahasiakan oleh militer Jepang, entah kenapa kabar tersebut bocor ke pihak Sekutu.

4. Bung Karno menyebut Sekutu menggolongkannya sebagai penjahat perang

Para pekerja paksa (romusha) sedang menyelesaikan proyek pembangunan jalan di Burma (Myanmar) pada tahun 1944. (Wikimedia Commons/United States Library of Congress)

Sukarno sendiri memahami alasan pesawat Sekutu kemudian membombardir Makassar saat ia melawat ke kota tersebut.

"Tak diragukan lagi mereka memang memburu saya. Saya tak bisa menyalahkan itu. Mereka berpikir bahwa saya juga penjahat perang," ujar Sukarno.

Jelas ini berhubungan dengan romusha, sebutan untuk pekerja paksa yang mengalami penyiksaan keji sepanjang Perang Dunia II.

Sepanjang masa pendudukan, Sukarno memang direkrut dalam banyak organisasi rakyat bentukan Dai Nippon. Mulai dari Pusat Tenaga Rakyat (Putera), Chuo Sangi In (Badan Pertimbangan Pusat), Pembela Tanah Air (PETA) dan Heiho. Sukarno turut direkrut sebagai tokoh yang mengajak rakyat menjadi romusha. Kepada Cindy Adams, ia mengakui rasa bersalah atas perannya tersebut.

"Ribuan orang tak pernah kembali. Mereka meninggal di negeri orang. Mereka diperlakukan sebagai tawanan perang, saling dibelenggu satu sama lain untuk membangun jalan di Burma. Ya, saya tahu tentang mereka. Mereka dikirim dalam kotak-kotak pengap tanpa udara. Mereka jadi kurus kerempeng bak tengkorak hidup. Dan saya tak bisa berbuat apa-apa untuk membantu mereka," ujar Sukarno. 

Baca Juga: Ketika Sukarno Berkunjung 7 Hari di Makassar April 1945

Berita Terkini Lainnya