Simposium Makassar Biennale 2023: Mengupas Dampak Pembangunan Pesisir

Mayoritas menjadi sorotan karena menerabas narasi lingkungan

Makassar, IDN Times - Dengan tema abadi Maritim, pameran seni rupa Makassar Biennale (MB) bisa membahas topik tersebut dari segala sisi. Salah satunya adalah isu reklamasi yang mengemuka seiring slogan pembangunan berdengung dengan kencang.

Berlangsung di Aula Prof. Syukur Abdullah FISIP Universitas Hasanuddin (Unhas) pada Minggu lalu (10/9/2023), MB 2023 hari kedua melangsungkan simposium bertema Pembangunan Pesisir Kota-Kota di Indonesia. Wilayah yang dibahas yakni Makassar, Denpasar, Polewali Mandar hingga Palu.

Para panelisnya terdiri dari akademisi-peneliti dari Yale-NUS College Singapura yakni Ryan Tans, pegiat literasi Ridwan Alimuddin, penulis Neni Muhiddin serta dosen-peneliti Unhas Nurjannah Abdullah. Bertindak sebagai moderator adalah Arief Wicaksono, dosen Prodi Hubungan Internasional Universitas Bosowa.

1. Aksi Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) di Makassar

Simposium Makassar Biennale 2023: Mengupas Dampak Pembangunan PesisirFoto satelit proyek reklamasi Centre Point of Indonesia di pesisir Kota Makassar yang mendapat penentangan dari warga. (Google Earth)

Membuka sesi ini adalah Ryan Tans yang berbicara kajian gerakan anti-reklamasi di Denpasar dan Makassar. Ujung dari perkara tersebut adalah perbedaan cara pandang dari pihak yang berseberangan. Perusahaan dan pemerintah memandang reklamasi sebagai peluang, baik dari sisi ekonomi atau penambahan luas wilayah. Sedangkan masyarakat melihatnya sebagai ancaman untuk ruang hidup.

Ia menjelaskan bahwa gerakan di dua wilayah yang berseberangan lautan itu sama-sama berawal dari akar rumput, tidak terkoordinir, sebelum lambat laun kian membesar. Gerakannya juga melampaui batas-batas wilayah, tak cuma di Makassar dan Denpasar, tapi juga mendapat simpati secara nasional.

Gerakan ForBALI, yang melawan reklamasi Teluk Benoa, menyatukan masyarakat lokal dengan narasi multisektoral termasuk terancamnya kawasan suci milik umat Hindu. Sedangkan Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) membawa alasan keadilan, yang mampu menyatukan para nelayan di sekitar Makassar.

"Kita bisa lihat prosesnya antara kedua koalisi ini mirip. Jadi saya berharap kalau hasil penelitian ini bisa menjadi dasar perbandingan di antara gerakan anti reklamasi," jelas Tans.

"Dengan kerangka ini, kita bisa lihat perbedaan bahwa ForBALI bersifat multisektor sedang ASP di Makassar itu multilokasi. Karakter koalisinya agak berbeda, walaupun tahap perkembangannya sama," imbuhnya.

2. Proyek pembangunan tanggul laut di pesisir Sulawesi Barat juga mendapat tentangan keras dari warga setempat

Simposium Makassar Biennale 2023: Mengupas Dampak Pembangunan PesisirIlustrasi pesisir laut. ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah

Dari Makassar dan Denpasar, Ridwan Alimuddin mengajak para peserta simposium untuk melihat kondisi proyek tanggul laut di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Perintis gerakan Perahu Pustaka tersebut mengambil lokasi penelitian di Desa Pambusuang, Kecamatan Balanipa.

Ia menjelaskan bahwa awalnya warga terpecah menjadi kubu pro dan kontra. Para pendukung tanggul laut sendiri adalah mereka yang rumahnya tepat di tepi garis pantai, sehingga jumlah lahan rumahnya akan bertambah. Sedangkan kubu kontra menyebut bahwa perahu sandeq mereka akan rentan rusak lantaran susah dibawa ke daratan, serta mengancam habitat penyu.

"Perahu yang ada di sana ini sekarang hanya mencari celah-celah yang bisa dilalui, yang ada sedikit sedimentasi di situ. Jadi sebagian perahu tadi ada yang sudah dijual, disimpan di tempat lain sampai lapuk, ada juga yang masih bertahan," jelas Alimuddin.

Dengan kebijakan yang menabrak kajian lingkungan dan sosial, proyek tersebut mendapat penolakan keras dari warga. Alimuddin bahkan bercerita bahwa rombongan warga salah satu desa yang sudah naik pitam pernah menyambangi desa sambil membawa parang. Dari total 57 kilometer yang ditargetkan, pemerintah daerah setempat baru menanggul sekitar 27 kilometer.

"Kami (Perahu Pustaka, red.) juga ikut menolak. Dari aspek stakeholder saya terlibat karena saya punya perahu. Saya merasa dirugikan dengan tanggul tersebut. Dan terbukti perahu kami rusak dihantam ombak. Karena kami tidak punya kelompok nelayan yang harus langsung menariknya, jadi rusak ketika musim barat datang," jelasnya.

3. Masalah pembangunan tanggul di Kota Palu

Simposium Makassar Biennale 2023: Mengupas Dampak Pembangunan PesisirFoto udara kawasan Teluk Palu yang berada di lepas pantai Kota Palu, Sulawesi tengah. (IDN Times/Uni Lubis)

Sementara itu, Neni Muhiddin berfokus tentang tentang adaptasi di Teluk Palu. Ia bercerita bahwa kata "tasi" sendiri dalam bahasa Kaili berarti "laut", sehingga Neni memaknainya sebagai kecakapan atau kemampuan pesisir. Di sisi lain, catatan dari leluhur juga berbicara lanskap Palu juga berarti menyinggung tentang lembah.

"Dari memaknai teluk dan lembah itu, kita jadi punya pemaknaan baru tentang ruang. Orang Kaili itu punya pembagian ruang yang penandai pemukiman awal. Jauh sebelum di pesisir, mereka berada di wilayah dalam. Sedangkan Teluk Palu dianggap sebagai 'teras rumah'," jelasnya.

Berbicara tentang pesisir Palu, sudah pasti membahas tentang Gempa-Tsunami pada 2018. Bencana tersebut menjadi alasan kuat oleh pemerintah setempat untuk membangun tanggul. Proyek tersebut langsung ditentang karena berisiko meningkatkan pendangkalan.

Neni kemudian menyinggung gagasan mitigasi kultural sebagai cara yang ampuh ketimbang mitigasi struktural. Mitigasi kultural, dalam konteks Teluk Palu, adalah pepohonan mangrove yang sudah tumbuh selama seabad terakhir. Menurutnya ini harus lebih diutamakan ketimbang pembangunan tanggul yang rawan.

"Kami melawan proyek tanggul Zona Rawan Bencana (ZRB) karena dua hal. Pertama, mengingkari aspek historis vegetasi yang tumbuh di sepanjang Teluk Palu. Yang kedua, karena itu dibangun dari tanggul yang rawan," tutup Neni.

Baca Juga: HUT RI, Warga Pulau Lae-Lae Makassar Gaungkan Merdeka dari Reklamasi

4. Ambisi Pemkot Makassar pada pariwisata bahari

Simposium Makassar Biennale 2023: Mengupas Dampak Pembangunan PesisirWarga Pulau Barrang Caddi di Kota Makassar protes karena tiga bulan tanpa listrik. (Dok. Istimewa)

Terakhir adalah Nurjannah Abdullah, dosen Prodi Ilmu Hubungan Internasional Unhas yang berbicara tentang perubahan sosial di Pulau Barrang Caddi, lepas pantai Makassar. Upaya Pemkot Makassar untuk membangun profil sebagai destinasi wisata bahari terhalang oleh masalah infrastruktur yang kurang memadai seperti listrik dan air bersih.

Proyek reklamasi juga membawa dampak bagi nelayan yang terpaksa harus melaut lebih jauh lantaran kerusakan biota, atau malah merantau selama berbulan-bulan meninggalkan keluarga. Selain itu, ada juga nasib perempuan yang disebutnya luput dari perhatian pemerintah. Pulau Barang Caddi yang kecil dipenuhi oleh warung kecil-kecilan yang mereka kelola, sehingga disebut tidak menguntungkan secara ekonomi.

"Jangan sampai misalnya pemerintah melakukan perubahan pada aspek infrastruktur tetapi tidak memberikan sokongan terhadap bagaimana masyarakat beradaptasi secara sosial. Perempuan sebagai salah satu stakeholder ini harusnya juga ditempatkan pada posisi mereka ditanya apa yang mereka butuhkan," jelas Nurjannah.

"Yang saya maksud adalah bagaimana pemerintah menitikberatkan pada aspek sosial yaitu dengan memberikan capacity building, pemahaman terhadap peran yang seharusnya mereka lakukan. Bukan hanya terhadap apa yang harus kita makan hari ini dan besok, sehingga mereka harus mencari nafkah. Tetapi lebih ke empowering," imbuhnya.

Ia menegaskan bahwa pembangunan jangan cuma berfokus pada infrastruktur tapi ke kesiapan masyarakat secara sosial dan ekonomi agar tidak terdampak. Penyeimbangan pembangunan aspek keduanya harus menempatkan perempuan dalam konteks pemberdayaannya, sebagai salah satu perspektif dalam perumusan kebijakan.

Baca Juga: Siapa Pun Gubernur Sulsel, Warga Lae-Lae Tetap Tolak Reklamasi

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya