Fierenziana: Orang Indonesia Kurang Memahami Otoritas atas Tubuh 

#AkuPerempuan Paham patriarki justru balik mengurung lelaki

Makassar, IDN Times - Seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi, muncul pula sisi negatif. Media sosial dan internet kini menjadi salah satu tempat di mana sejumlah kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan terjadi.

Fenomena tersebut seolah menjadi gambaran tentang bagaimana masyarakat di dunia nyata masih cenderung abai dalam menjunjung hak-hak perempuan. Trennya bahkan terus menanjak. Data terbaru Komnas Perempuan menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan dan pelecehan seksual pada 2018 meningkat 14% dibanding tahun 2017.

Dalam membahas masalah tersebut serta faktor-faktor lain di sekitar lingkup kekerasan gender, IDN Times berkesempatan mewawancarai Fierenziana Gertruida Junus, salah salah akademisi sekaligus pemerhati gender yang saat ini menjabat sebagai Kepala Perpustakaan Universitas Hasanuddin, pada Jumat (13/12) silam. Berikut petikan wawancara tersebut.

1. Apa yang dimaksud dengan kekerasan dan diskriminasi berbasis gender di media sosial?

Fierenziana: Orang Indonesia Kurang Memahami Otoritas atas Tubuh IDN Times/ Helmi Shemi

Kalau kita mau berbicara tentang gender, yang lebih banyak dibicarakan adalah kekerasan terhadap perempuan. Padahal tidak selalu seperti itu. Membuat seseorang dihakimi, merasa tersakiti, tidak nyaman karena gender yang dikonstruksi masyarakat, itu yang dimaksud dengan kekerasan gender. Kebetulan, perempuan yang paling rentan, terutama di media sosial.

Bentuk-bentuk kekerasan gender dalam media sosial adalah cyber hacking, impersonation, stalking/surveillance, cyber harassment, cyber recruitment, malicious distribution, morphing, revenge porn dan sexting.

Beberapa kasus seperti yang terjadi pada FH dan RS -seorang pentolan ormas- (awal 2017). Ini agak sulit karena masih pro-kontra. Tapi menurut saya, ada orang yang tidak suka dengan RS, tapi yang kemudian diserang adalah FH. Sebenarnya urusan mereka adalah urusan pribadi dan sangat personal, tapi kenapa kemudian dibuka di umum?

Secara moral, itu urusan mereka. Tapi yang paling sering disalahkan adalah perempuan. Ariel dituduh melakukan perbuatan asusila padahal saat itu situasinya sangat pribadi.

Jika mau adil, sebenci-bencinya jangan menyeret orang di sekitarnya. Tapi saya kira ini bukan hal yang baru. Perempuan selalu menjadi senjata untuk melakukan kekerasan kadang-kadang.

Coba cek kata makian lokal atau di luar negeri, yang menyebut bagian tubuh perempuan. Semuanya tentang perempuan. Karena ada image di masyarakat kalau perempuan adalah sebuah kehormatan yang dimiliki oleh laki-laki. Kalau kehormatan tersebut direnggut oleh orang lain, berarti si laki-laki tak mampu (melindungi).

Salah satu contohnya pada Konflik Ambon (2000-an) di mana waktu itu santer beredar kabar jatuh korban perempuan hamil yang dianiaya oleh masing-masing pihak yang bertikai. Muncullah kemarahan yang luar biasa karena laki-laki merasa harus melindungi perempuan, jika mereka tidak sanggup melindungi mereka terlihat tidak mampu. Oleh karena itu mereka harus melawan.

2. Kenapa masyarakat terkesan masih abai dengan masalah ini?

Fierenziana: Orang Indonesia Kurang Memahami Otoritas atas Tubuh ilustrasi kekerasan perempuan (IDN Times/Lia Hutasoit)

Ini terjadi di mana saja, tidak cuma di media sosial. Karena kesadaran masih kurang. Pembicaraan tentang gender sudah ada sejak lama. Tapi masih sangat sering kita bertemu dengan orang-orang yang masih tidak tahu bahwa mereka mengalami kekerasan, dan mereka tidak sepantasnya menerima perlakuan tersebut, atau mereka malah menjadi pelaku kekerasan itu, tanpa menyadarinya.

Ini terjadi karena sedikitnya pengetahuan tentang gender. Orang-orang mengaku sudah tahu banyak tentang gender. Tapi di saat yang sama, mereka juga melakukan kekerasan gender. Anak-anak perempuan kerap tidak menyadari bahwa mereka mengalami kekerasan gender. Begitu juga para LGBT yang dipersekusi karena orientasi seksualnya.

Tapi terkadang orang merasa berhak mengatur tubuh orang lain, dan itu yang tidak disadari. Orang Indonesia acap kali tidak menyadari otoritas besar atas tubuhnya. Contohnya perempuan dan laki-laki yang seolah diwajibkan mengenakan model pakaian tertentu.

Ada yang mengatakan bahwa wanita diperkosa karena pakaian dan gerakannya. Kemarin, ada pameran di Jakarta yang menampilkan pakaian-pakaian terakhir yang dikenakan oleh korban pemerkosaan. Ternyata ada seragam SD. Apa yang dilakukan seorang anak SD sehingga dia "pantas" diperkosa? Harusnya yang disalahkan adalah pikiran jahat dari pelakunya.

Di Indonesia paling sering terjadi ada orang yang menjadi korban pemerkosaan, malah menjadi korban kedua kali. Di kepolisian mereka ditanya pakaian yang dikenakan, alasan keluar malam, atau gaya berjalan. Pakaian tidak memiliki peran apa-apa dalam penyebab utama pemerkosaan.

3. Apakah pemerintah sudah mulai peduli dengan masalah ini?

Fierenziana: Orang Indonesia Kurang Memahami Otoritas atas Tubuh Ketua DPR RI Puan Maharani, Pertemuan dengan Pimpinan Media, 28 November 2019, Gedung DPR RI (IDN Times/Uni Lubis)

Pemerintah sudah mulai peduli dengan kasus ini namun saya kira masih belum maksimal. Salah satunya dengan adanya Komnas Perempuan. Tapi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, tetap ada beberapa pasal yang tak menguntungkan perempuan.

Masih ada beberapa hal yang perlu diperhatikan baik-baik, didefinisikan dengan benar, ada batasan yang jelas. Yang ada batasannya malah membuat perempuan kesulitan. Teman-teman pegiat gender sudah mengusahakan itu, namun kita masih terjebak dalam masyarakat yang belum memahami hal tersebut.

Sudah ada ratifikasi konvensi hak-hak perempuan namun tidak maksimal dilaksanakannya. Beberapa orang yang ditunjuk sebagai pemangku kebijakan malah belum paham benar masalah ini. Sementara orang yang tahu betul memilih berada di luar pemerintahan.

4. Apa ini berasal dari paham patriarki yang sudah mendarah daging di masyarakat?

Fierenziana: Orang Indonesia Kurang Memahami Otoritas atas Tubuh (ilustrasi) IDN Times / Sukma Shakti

Memang patriarki sudah mengakar kuat. Mulai dari hal-hal kecil seperti urusan mengangkat beban berat atau pekerjaan yang membutuhkan kekuatan. Laki-laki menganggap itu adalah kewajiban mereka, padahal ada laki-laki yang lebih lemah secara fisik dibandingkan perempuan.

Perempuan sering dianggap sebagai pihak yang harus didominasi, cenderung tidak punya kuasa. Oleh karena itu sering menjadi korban pelecehan oleh laki-laki yang menganggap dirinya lebih berkuasa.

Laki-laki sering menganggap gestur atau perilaku melecehkan terhadap wanita sebagai main-main. Terkadang malah dianggap lelucon ketika menyerang perempuan atau satu orientasi seksual tertentu. Kekerasan seperti itu karena ada pemahaman bahwa yang berkuasa adalah laki-laki.

Baca Juga: Rosmiati Sain: Budaya Patriarki Membuat Perempuan Tidak Maju!

5. Ada tanggapan tentang bagaimana media dalam menggambarkan citra perempuan?

Fierenziana: Orang Indonesia Kurang Memahami Otoritas atas Tubuh Ilustrasi Perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Media sebenarnya ujung tombak penegakan isu gender sekaligus yang selalu harus mempropagandakan kesetaraan gender. Media harus menjelaskan kepada orang-orang bahwa perempuan tak seharusnya digambarkan sesuai paham patriarki.

Misalnya kecantikan perempuan sudah dikonstruksi sedemikian rupa, seperti bahwa cantik itu harus mancung, warna kulit yang lebih terang, dan lain-lain. Itu sering terjadi di iklan-iklan yang kerap menjadi tolok ukur bagaimana idealnya seorang perempuan. Untungnya sekarang sudah agak berbeda. Urusan domestik rumah tangga kini tak hanya semata-mata milik perempuan

Yang menarik, ada fakta bahwa laki-laki tidak mau mengerjakan pekerjaan domestik, namun ketika pekerjaan itu berubah menjadi pekerjaan publik, banyak laki-laki yang mengerjakannya. Contoh saja juru masak yang mayoritas dari laki-laki. Saya pernah bertanya kepada salah satu pedagang mie goreng di kantin salah satu perguruan tinggi. Ternyata dia hanya memasak ketika berdagang, karena memasak di rumah adalah tugas istri.

Tidak semua orang berpandangan seperti itu tentu saja, tetapi umumnya masyarakat beranggapan seperti itu.

6. Tahun lalu, ada wacana bahwa pendidikan berbasis gender akan masuk ke sekolah-sekolah. Namun masyarakat malah terpecah berdasarkan sikapnya masing-masing

Fierenziana: Orang Indonesia Kurang Memahami Otoritas atas Tubuh Foto hanya ilustrasi. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Banyak yang beranggapan bahwa pendidikan gender adalah pendidikan ala barat yang dipaksakan masuk ke dalam kebudayaan kita. Padahal di dalamnya ada nilai-nilai kemanusiaan.

Sekarang pembicaraan tentang gender bukan melulu tentang perempuan tetapi semua pihak yang mengalami perlakuan diskriminatif. Penolakan terhadap pendidikan gender yang masuk di sekolah mungkin terjadi karena ada pihak-pihak tertentu yang merasa dirugikan jika anak-anak mendapatkan pendidikan gender.

Pemahaman tentang hak perempuan akan menjadi masalah bagi perusahaan-perusahaan tertentu. Terutama mereka yang selama ini memberi upah lebih rendah kepada pekerja perempuan daripada pekerja laki-laki. Pemahaman akan hak perempuan juga dapat membuat perempuan pekerja menuntut untuk diberikan cuti khusus, misalnya cuti ketika menstruasi.

Saya pikir pro dan kontra ini timbul karena adanya kepentingan. Ini masih menjadi debat, namun yang jelas pembicaraan tentang gender bukan tentang budaya barat dan timur, melainkan ada hak perempuan yang harus diperjuangkan.

Selain itu, ada budaya patriarki kuat yang belum mau menerima itu. Ini masih menjadi asumsi saya pribadi, dan harus dikaji lebih jauh. Namun fakta-fakta di lapangan sudah seperti demikian.

7. Muncul pertanyaan baru. Kami melihat lini pekerjaan tertentu amat mengandalkan perempuan, malah terkesan sebagai eksploitasi?

Fierenziana: Orang Indonesia Kurang Memahami Otoritas atas Tubuh Ilustrasi kekerasan seksual. IDN Times/Sukma Shakti

Saya setuju, sering kali perempuan ditempatkan pada pekerjaan yang mengandalkan kecantikannya. Kadang-kadang pekerjaan seperti Sales Promotion Girl dilakukan oleh perempuan. Pekerjaan itu sering rentan dengan pelecehan seksual, namun biasanya tetap dilakukan karena upah yang dijanjikan cukup menggiurkan.

Soal pantas tidak pantas, itu adalah pilihan. Sepanjang mereka mengerti mereka bekerja atas kehendak sendiri. Ada perempuan-perempuan yang melakukannya karena tuntutan hidup, ada juga yang memang senang melakukannya, bahkan ada yang memahami kelebihannya itu dan dia memanfaatkannya. Tidak ada masalah, karena mereka sadar dengan pilihan yang diambil.

8. Bagaimana dengan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan pelecehan seksual di seluruh Indonesia yang angkanya melonjak pada tahun lalu?

Fierenziana: Orang Indonesia Kurang Memahami Otoritas atas Tubuh Dok. IDN Times

Angka tersebut dicatat oleh Komnas Perempuan berdasarkan jumlah aduan pada Komnas perempuan. Masih banyak yang tidak tercatat. Pendidikan kita sudah kadung menyebut seks sebagai masalah tabu. Ada berapa banyak korban perkosaan dan pelecehan seksual yang memilih diam?

Jumlahnya sangat banyak, dan bisa terjadi berulang-ulang menimpa korban yang sama. Ada yang berani bicara, ada yang diam. Karena begini, ada juga pandangan bahwa menghadapi polisi dan pengadilan membuang energi dan materi. Habis-habisan.

Saya kira yang paling penting, perempuan harus punya pendidikannya, perempuan harus berani. Tapi yang harus diperbaiki juga adalah institusi penegak hukum. Sekarang ini Kepolisian sudah membuka meja khusus Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) untuk kekerasan terhadap perempuan dan rumah tangga, ini sebuah langkah yang baik..

Selain institusi hukum, perempuan kita bahkan tidak diajarkan untuk berdaya ketika menghadapi masalah ini. Masih banyak hal yang harus diperbaiki. Selain itu, sangat sedikit orang-orang dalam institusi agama yang paham dengan masalah tersebut.

Salah satu alasan, perempuan untuk memilih bertahan dalam rumah tangga (ketika sang suami memilih poligami meski tak mau dimadu, atau dalam rumah tangga yang sudah tak kondusif karena acap kali mengalami penyiksaan –red) adalah ketiadaan akses ekonomi. Saya sering mengatakan kepada mahasiswi saya, bahwa kalian boleh berumah tangga jika itu menjadi pilihan. Namun bukan berarti berhenti menjadi mandiri secara ekonomi. Sangat sulit jika para perempuan ini ditimpa sesuatu hal. Bukan cuma karena selingkuh, ya. Tapi bagaimana jika suami meninggal?

Kerap juga ditemui kasus di mana perempuan dengan jabatan dan gaji tinggi diminta berhenti oleh suami yang posisi serta penghasilannya jauh lebih sedikit. Di Indonesia ini, pikiran bahwa laki-laki harus lebih daripada perempuan sudah mengakar kuat. Padahal pikiran tersebut hanya memenjarakan diri tidak hanya perempuan tetapi juga laki-laki.

9. Apa harapan untuk pihak-pihak yang berkutat dalam upaya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan?

Fierenziana: Orang Indonesia Kurang Memahami Otoritas atas Tubuh IDN Times/Candra Irawan

Jangan lelah Ini sebenarnya pekerjaan yang melelahkan. Karena kita sepertinya berjalan di tempat lantaran terlihat tidak ada progres. Tapi itu tadi, jangan lelah. Kerjakan meski dampaknya kecil.

Tidak usah sampai harus membuat terobosan yang luar biasa, cukup lakukan apa yang bisa dilakukan saat ini. Karena kita kan tidak tahu apa yang terjadi di depan?

Baca artikel menarik lainnya di IDN Times App, unduh di sini

Baca Juga: Ni Putu Dewi, Penjaga Marwah Persidangan di Sulawesi Selatan

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya