Rosmiati Sain: Budaya Patriarki Membuat Perempuan Tidak Maju!

#AkuPerempuan 19 tahun jadi pendamping hukum bagi perempuan

Makassar, IDN Times - Menjadi seorang aktivis adalah pilihan hidup Rosmiati Sain. Perempuan yang akrab disapa Ros ini merupakan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Makassar.

Saat bersua dengan IDN Times di The Rinra Makassar, pada Rabu (4/12), Ros membagikan banyak kisahnya mengabdikan hidup sebagai aktivis yang membela hak-hak perempuan. Seperti apa cerita keteguhan prinsip Ros? Yuk disimak.

1. Berangkat dari keprihatinan terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan

Rosmiati Sain: Budaya Patriarki Membuat Perempuan Tidak Maju!IDN Times/Asrhawi Muin

"Saya jadi advokat itu tahun 1998. Pada saat itu juga saya sudah mulai mendampingi klien dan yang pasti di tahun 2000 itu kami sudah aktif untuk melakukan pendampingan terhadap korban," kata Ros.

Ros memutuskan untuk menggeluti dunia aktivis perempuan sejak 19 tahun yang lalu. Profesinya sebagai advokat membuatnya kerap bertemu dengan perempuan-perempuan yang menjadi korban kekerasan ataupun perempuan yang bermasalah dengan hukum.

"Sebenarnya ini berangkat dari persoalan keprihatinan terhadap korban yang selama ini banyak terjadi di beberapa wilayah, terutama di Sulsel dan terkhusus lagi di Kota Makassar," kata Ros.

2. Mengajak masyarakat membela hak-hak perempuan

Rosmiati Sain: Budaya Patriarki Membuat Perempuan Tidak Maju!IDN Times/Asrhawi Muin

Ros menerangkan bahwa selama ini masih banyak kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan. Dia pun mengajak semua elemen masyarakat untuk peduli terhadap perempuan, khususnya kepada korban kekerasan agar mereka tidak merasa sendirian.

"Jadi, puncaknya kemarin itu kami melakukan kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan di Pantai Losari, itu lebih kepada mengajak semua publik untuk terlibat dalam berkampanye menyuarakan hak-hak perempuan.

Bagi Ros, mengajak masyarakat melakukan upaya pencegahan sedikit demi sedikit akan menghapuskan tindak kekerasan terhadap perempuan maupun anak perempuan.

"Kita perlu bergerak bersama untuk mengajak semua masyarakat bergerak di banyak titik supaya banyak yang terinformasi tentang hal ini," katanya.

3. Menemukan perempuan korban kekerasan kerap tidak mendapatkan hak atas pendampingan hukum

Rosmiati Sain: Budaya Patriarki Membuat Perempuan Tidak Maju!IDN Times/Asrhawi Muin

Sebagai aktivis perempuan dan pendamping hukum, Ros menemukan masih banyak korban yang belum mendapatkan hak untuk membela diri atas nama hukum. Padahal, kata Ros, hal ini sangat penting untuk memaksimalkan proses hukum terhadap pelaku agar pemulihan terhadap korban bisa dilakukan secara maksimal pula.

"Karena kalau pelakunya tidak dijerat, sulit melakukan pemulihan terhadap perempuan. Jadi, yang pasti kami selalu terlibat dalam upaya melakukan pencegahan termasuk penanganan dan pemulihan," tambahnya.

Menurutnya, dibutuhkan kehadiran seorang pendamping yang memiliki perspektif terhadap korban. Sebab selama in banyak advokat tetapi tidak memiliki perspektif korban. 

"Saya sendiri adalah aktivis perempuan yang sejak lama berkecimpung di LBH APIK Makassar dan yang pasti, perspektif itu dikepedepankan. Karena korban tidak sembarang mau bicara tentang masalahnya. Jadi, yang pasti harus dia percaya bahwa orang ini adalah tempatnya saya curhat," kata Ros.

Baca Juga: 5 Sosok Perempuan Terkemuka Asal Sulsel, Punya Segudang Prestasi Lho!

4. Menjadi aktivis perempuan harus siap mental

Rosmiati Sain: Budaya Patriarki Membuat Perempuan Tidak Maju!IDN Times/Asrhawi Muin

Menjalani profesi sebagai advokat sekaligus aktivis perempuan dan pendamping hukum secara bersamaan memang tidak mudah. Ros merasa ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Namun karena komitmen yang telah terpatri dalam hati, ia pun terus menjalani aktivitas ini. 

"Kalau misalnya kita tidak siap, pasti kita tidak akan maksimal. Menjadi seorang aktivis perempuan itu juga menjadi nilai plus untuk kita sebenarnya karena banyak perempuan yang tidak bisa menjadi aktivis karena gerakannya," imbuhnya.

Baginya, menjadi aktivis perempuan bukan hanya harus tampil menangani berbagai masalah atau kasus per kasus, tetapi juga memperjuangkan hak-hak perempuan yang mengalami diskriminasi. Namun sayang, kata Ros, yang menjadi masalah adalah perjuangan menghapus diskriminasi itu masih harus terbentur dengan budaya patriarki yang sudah mendarah daging.

"Tantangan besar kita sebagai aktivis perempuan adalah budaya patriarki yang betul-betul sudah mengakar di masyarakat kita dan itu perlahan harus kita kikis. Karena itu kan membuat perempuan tidak maju, kemudian selalu dinomorduakan. Kalau itu dibiarkan, perempuan tidak akan mengalami perkembangan," katanya.

5. Membangun komunikasi dengan keluarga jadi prioritas

Rosmiati Sain: Budaya Patriarki Membuat Perempuan Tidak Maju!IDN Times/Asrhawi Muin

Meski menjalani peran sebagai aktivis, namun di sisi lain Ros tetaplah seorang ibu. Dia merupakan ibu dari dua orang anak. Untuk mengatur waktu bersama keluarga, Ros selalu menekankan pentingnya komunikasi.

"Kita penting membangun komunikasi dengan anak. Mungkin saja kita di luar tapi komunikasi kan harus tetap jalan. Media komunikasi kan sudah dekat dengan kita," katanya.

Di sisi lain, ia juga memiliki suami yang berprofesi sama dengan dirinya yakni sebagai advokat dan aktivis. Dengan begitu, tak ada hambatan berarti bagi Ros untuk menjalani aktivitasnya.

"Keluarga juga mensupport jadi tidak ada halangan untuk bergerak. Ketika kita pulang malam, itu kita sudah membangun komunikasi termasuk dengan anak. Jadi, tidak ada lagi pertanyaan kenapa di luar terus. Kedua anak juga sudah paham dengan kerja-kerja orangtuanya," ucapnya.

Baca Juga: Ni Putu Dewi, Penjaga Marwah Persidangan di Sulawesi Selatan

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya