Tito Karnavian Ungkap Alasan Otonomi Daerah Dibutuhkan di Indonesia
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makassar, IDN Times - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengungkap alasan mengapa sistem pemerintahan otonomi daerah sangat dibutuhkan di Indonesia. Terlepas dari dinamikanya, pembagian kewenangan antara pusat dengan daerah sangat cocok diterapkan di negara dengan wilayah sangat luas.
Otonomi daerah berlaku di Indonesia sejak dimulainya era Reformasi pada tahun 1999. Hingga tahun 2023, kewenangan pemerintahan terbagi menjadi 38 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Menurut Tito, pembagian kewenangan memungkinkan setiap daerah tumbuh sesuai karakteristik dan potensinya.
"Indonesia memiliki kekhasan daerah masing-masing. Setiap kabupaten, kota, dan provinsi memiliki kekhasan masing-masing, tidak bisa mendapat perlakuan yang sama. Sehingga kepala daerah diberikan kewenangan berkreasi sesuai kekhasan daerah masing-masing," kata Tito dalam sambutannya pada upacara Peringatan Hari Otonomi Daerah ke-27, di Anjungan Pantai Losari, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (29/4/2023).
Baca Juga: Hari Otda, Mendagri Beri Penghargaan ke Pemkot Makassar
1. Daerah punya kewenangan lebih luas
Tito mengungkapkan, upacara Peringatan Hari Otda untuk memperingati perubahan sistem pemerintahan yang sentralistik pada masa Orde Baru ke sistem desentralistik. Jika dulu kepala daerah ditunjuk dan kewenangan pemerintahan sebagian besar ada di tingakt pusat, kini sebagian sudah diberikan kepada pemerintah daerah.
Dia menjelaskan, ada tiga urusan pemerintahan yang berlaku di Indonesia. Yang pertama kewenangan absoulut di tangan pemerintah pusat, meliputi pertahanan, keamanan, fiskal dan moneter, agama, yustisi, dan politik luar negeri. Yang kedua pemerintahan umum menyangkut keberagaman, yang jadi urusan pemerintah pusat dibantu daerah.
"Ini berhubungan dengan karakteristik Indonesia sebagai negara plural, (terdapat) lebih dari seribu bahasa, ratusan suku, dan (banyak) agama," kata Tito.
Yang ketiga adalah urusan konkuren atau kewenangan yang didelegasikan ke daerah. Ada 32 urusan yang jadi wewenang daerah, terdiri dari delapan urusan wajib dan 24 urusan pilihan.
"Yang wajib di antaranya pendidikan, kesehatan, infrastruktur. Inilah yang disebut otonomi daerah, di mana daerah memiliki kewenangan lebih luas dibandingkan sebelumnya," Tito menerangkan.
2. Terlepas dari dinamika, otonomi daerah disebut memberikan hasil baik
Tito mengatakan, dengan otonomi daerah, pemerintah pusat mengalihkan sebagian kewenangan sehingga pemerintah daerah punya kewenangan lebih luas. Pemerintah daerah bisa berkreasi dan bermanuver dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerahnya masing-masing.
Dalam praktiknya, kata Tito, terjadi dinamika soal otonomi daerah. Contohnya terjadi tarik-menarik kewenangan antara pemerintah daerah dengan pusat, atau sesama pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu kewenangan yang lebih luas cenderung akan menyimpang jika tidak digunakan dengan tepat.
"Apa pun dinamikanya, (otda) memberikan hasil baik. Terjadi pemekaran daerah otonomi baru, terjadi perubahan percepatan pembangunan, indeks pembangunan manusia (IPM) juga meningkat. Kita melihat daerah-daerah yang tadinya terpencil jadi maju dengan adanya otonomi daerah," kata Tito.
"Yang perlu dicari adalah format, sebesar apa dan kewenangan apa yang ada di tangan pusat, tingkat satu, tingkat dua, sampai desa. Format ini yang terus kita cari," dia menambahkan.
3. Semua orang bisa jadi kepala daerah, tapi biaya politik tinggi
Tito juga menyinggung pilkada sebagai bagian dari otonomi daerah. Dengan otda, semua orang punya kesempatan jadi kepala daerah, dibandingkan yang sebelumnya ditunjuk. Dia mencontohkan Presiden Joko Widodo sebagai salah satu produk otonomi daerah, yang kepemimpinannya muncul lewat pemilihan kepala daerah di tingkat wali kota dan gubernur.
"Timbul mutiara-mutiara yang sebelumnya terpendam. Kepala daerah yang mungkin tidak bisa muncul melalui proses birokrasi, bisa mnucul dari pilkada," ucap Tito.
Di sisi lain, dinamika pilkada adalah biaya politik yang sangat tinggi untuk jadi kepala daerah. Biaya kampanye, tim sukses, dan lainnya tidak sepadan jika dibandingkan dengan pendapatan atau gaji kepala daerah. Menurut Tito, hal itu yang biasanya mendorong penyimpangan.
"Ini salah satu akar masalah, di mana yang baik bisa jadi menyimpang. Ini perlu dicarikan solusi bersama ke depannya," kata Tito.
Baca Juga: Seni Budaya Warnai Peringatan Hari Otda di Makassar