LBH Makassar: Marak Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di 2018

Berbagai persoalan masih menghambat pengungkapan kasus

Makassar, IDN Times - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mencatat maraknya kaus kekerasan terhadap perempuan dan anak selama tahun 2018. Dalam kurun waktu tersebut, LBH Makassar menerima pengaduan delapan kasus kekerasan terhadap anak dan 12 kasus kekerasan terhadap perempuan.

Koordinator Divisi Perempuan dan Anak LBH Makassar, Ratna Kahali, mengatakan bahwa LBH juga mendampingi setidaknya tujuh kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, baik dewasa maupun anak. Di samping itu, mereka mencatat empat kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan pihak suami.

“Tahun ini seperti menjadi waktu untuk terus menyalakan tanda bahaya akan maraknya kekerasan seksual, baik terhadap perempuan dewasa maupun anak perempuan,” kata Ratna pada rilis Catatan Akhir Tahun LBH Makassar 2018, di Makassar, Senin (31/12).

1. Korban cenderung takut melapor

LBH Makassar: Marak Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di 2018mashable.com

Ratna mengatakan, masih ditemukan persoalan korban yang takut melapor dalam kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dia mencontohkan kasus kekerasan seksual yang menimpa petugas kebersihan di salah satu kampus di Makassar. Korban yang pekerja outsourching berjumlah lebih dari satu, namun masih sangat takut untuk mengungkap secara tuntas kasusnya.

Menurut Ratna, ketakutan korban umumnya dikarenakan sejumlah faktor. Pada kasus di atas, korban takut kehilangan pekerjaan, selain adanya rasa malu maupun intimidasi pihak kampus. Hal ini menunjukkan kokohnya relasi timpang dalam masyarakat. “Dengan demikian akses keadilan terhadap pekerja perempuan di lingkungan kerja harus diperjuangkan,” kata Ratna.

Baca Juga: KPAI: Korban Kekerasan Seksual Anak Didominasi Laki-Laki 

2. Pembuktian tidak mudah

LBH Makassar: Marak Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di 2018unsplash.com/Mihai Surdu

Dari beberapa kasus kekerasan seksual yang didampingi, LBH mengakui proses pembuktiannya tidak mudah. Hal ini diakibatkan masih rendahnya kesadaran hukum masyarakat dalam membantu pengungkapan kasus. Di samping itu, pihak kepolisian juga belum memiliki perspektif yang memadai, terutama dalam memenuhi hak-hak korban.

Ratna mengatakan, ada kecenderungan korban diposisikan sebagai orang yang patut disalahkan karena kurang berhati-hati. Kadang juga kasus diposisikan atas dasar suka sama suka. “Masyarakat masih menganggap kejahatan seksual yang dialami oleh perempuan dan anak karena diberi peluang oleh korban, sehingga peristiwa itu terjadi,” Ratna mengatakan.

3. Butuh penanganan ekstra

LBH Makassar: Marak Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di 2018unsplash.com/Vidhyaa Chandramohan

Ratna menilai kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, terutama kekerasan seksual, butuh penanganan ekstra. Sebelum dilaporkan ke kepolisian, korban butuh pendampingan menyangkut trauma psikisnya.

Pada beberapa kasus, peristiwa kejahatannya telah lampau namun masih menyisakan trauma berat bagi korban dan keluarganya. Korban mengalami stigma buruk di lingkungan, bahkan di keluarga sendiri. Belum lagi intimidasi dan ancaman kekerasan yang didapat dari pelaku maupun keluarga pelaku.

“Bahkan bila kasus telah diselesaikan dalam proses persidangan, korban biasanya masih membutuhkan konseling untuk menghilangkan trauma untuk kembali berinteraksi dengan lingkungan sosial tanpa ada stigma,” Ratna melanjutkan.

Baca Juga: Adukan Kekerasan Seksual, Pegawai BPJS Ketenagakerjaan Malah Dipecat

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya