[WANSUS] Seniman Mural Makassar Ngakak Bahas Kebebasan Berekspresi

Makassar, IDN Times - Sudah menginjak dua pekan pasca "404: Not Found" serta beberapa mural lainnya yang menghebohkan masyarakat. Presiden Joko Widodo sendiri sudah meminta Polri untuk "kalem" menyikapi hal ini. Upaya membawa si seniman ke meja hijau pun diurungkan.
Bukannya reda, street art beraroma kritik ini seolah merengkuh momentum untuk tumbuh subur di banyak kota Indonesia. Salah satu yang mencolok adalah Lomba Mural Dibungkam yang digelar Gejayan Memanggil pada Rabu pekan lalu (25/8/2021). Mereka menyebut penghapusan konten bernuansa kritik adalah bentuk pemberangusan. Pemerintah disebut kelewat responsif, destruktif dan anti-kritik.
Selain sebagai bentuk perlawanan mereka, pihak Gejayan Memanggil menyebut seniman akan mendapat nilai lebih jika karyanya dihapus oleh aparat tak lama setelah jadi.
Masih ada banyak lagi yang dihapus aparat. Seperti mural mirip Presiden Joko Widodo di Bandung dan "Tuhan Aku Lapar" di Depok. Cara unik coba ditempuh Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming, yang mengaku bakal memfasilitasi para pegiat mural untuk berkarya di beberapa titik dalam kota.
Lantas bagaimana dengan Makassar? Seniman dan ilustrator Muhammad Akram Sulaiman berharap ini jadi momentum. Sebagai anggota Extinction Rebellion, kelompok kesenian yang fokus pada isu perubahan iklim, ia sering terlibat dalam pembuatan mural. Lewat gambar, Akram (sapaan akrabnya) bersama rekan-rekan hendak membangun kesadaran atas efek kerusakan lingkungan.
Kepada IDN Times hari Rabu lalu (25/8/2021), pria yang juga anggota Badan Pekerja KontraS Sulawesi tersebut berbicara banyak tentang seni jalanan. Mulai dari isu dalam karya, pendapatnya atas polemik yang mencuat akhir-akhir ini, serta perkembangan street art dalam lingkup Kota Makassar. Berikut ini hasil wawancaranya.
Sejak kapan Akram mulai terjun dan menekuni dunia street art?
Sudah lama, ya. Saya menggambar sejak kecil, lanjut SMA juga. Cuma sebagai media kritik itu baru pas awal-awal jadi mahasiswa. Sudah lama, sejak SD. Cuma masuk kuliah jadi media kritik sama kawan-kawan. Bentuknya itu poster, wheat paste (gambar di atas kertas yang ditempel menggunakan perekat dari tepung kanji, red.). Terakhir ngemural itu bulan lalu di Jalan Boulevard bareng kawan-kawan komunitas Extinction Rebellion.
Cuma beda karena gak viral. (tertawa) Cuma terkenal di kawan-kawan saja. Mungkin karena isunya tidak seksi, ya. Dibanding mural yang dikerjakan teman-teman di Tangerang dan Jogja.