Kembali Jadi Menlu, Tantangan Apa yang Akan Dihadapi Retno Marsudi?

"Sebenarnya ini bukan tentang apa yang diinginkan Presiden Joko Widodo, melainkan apa yang telah diberikan oleh ibu Retno selama ini," ujar Agussalim Burhanuddin, dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Hasanuddin, melalui sambungan telepon dengan IDN Times pada Kamis (24/10) siang.

Prestasi dan pencapaian Retno ketika mewakili Indonesia di percaturan politik internasional lima tahun terakhir dianggap jadi pertimbangan utama Jokowi enggan melepas wanita 56 tahun tersebut. Salah satunya yakni diangkatnya Indonesia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.

Selain itu, pos kepala Kementerian Luar Negeri RI pun tak bisa diduduki oleh ke sembarang orang. "Menteri Luar Negeri adalah jabatan strategis yang membawa nama negara. Maka sudah tentu jabatan ini harus diberikan kepada kalangan profesional," lanjutnya.

Penunjukan kembali Retno pun menjadi sinyalemen bahwa arah kebijakan luar negeri Indonesia tak mengalami perubahan drastis, justru semakin dipertajam. Tiga tugas penting juga telah menunggu wanita kelahiran Semarang tersebut. Pertama adalah mengemban amanah dari negara, sebab ini adalah bagian integral dari NKRI.

Kedua, melanjutkan haluan politik luar negeri bebas-aktif --yang menjadi karakteristik Indonesia selama ini-- di forum-forum internasional. Serta yang ketiga, melanjutkan visi pembangunan poros maritim sebagai kebijakan spesifik yang sudah digadang-gadang Jokowi sejak masa pemerintahan periode pertama (2014-2019).

Lantas, apa saja yang menjadi tantangan yang akan dihadapi Menlu Retno ke depan?

"Tantangannya datang dari dalam dan luar negeri. Dari dalam, beberapa kejadian rupanya menjadi pekerjaan tambahan bagi Kemenlu. Seperti masalah Papua beberapa waktu lalu. Dampak dan tekanan dari publik internasional, salah satunya dari negara-negara rumpun Melanesia, akan semakin gencar," paparnya.

Adapun tantangan dari luar yakni cara menyikapi rivalitas politik-ekonomi antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Menurut Agussalim, Indonesia harus memposisikan diri sebagai aktor utama dalam lingkup ASEAN alias Asia Tenggara.

Akan tetapi dengan ciri bebas-aktif, Indonesia tetap dalam posisi netral ketika dihadapkan pada ketegangan yang melibatkan dua kutub kekuatan dunia saat ini. "Ini adalah pekerjaan besar. Namun bukan berarti Indonesia harus terseret ke dalam salah satu kubu tertentu," pungkasnya.