Potret Guru Honorer di Pedalaman: Jalan Kaki 1 Jam Menembus Hutan
Rela menerima gaji kecil demi pendidikan anak-anak Tumba
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Gorontalo, IDN Times - Di ulang tahun ke-75 kemerdekaan Republik Indonesia, berbagai persoalan masih mewarnai dunia pendidikan. Di daerah terpencil, masih banyak dijumpai anak yang tak terlayani pendidikannya, kekurangan guru, hingga tingginya angka putus sekolah.
Kisah JatiaLahani, guru honorer di pelosok Provinsi Gorontalo bisa jadi contoh. Dia merupakan satu-satunya pengajar di SD Negeri 12 Tolangohula, yang terletak di Dusun Tumba, Desa Tamaila Utara, Kecamatan Tolangohula, Kabupaten Gorontalo.
Jatia telah mengabdi sejak tahun 2007. Sejak itu pula, dia menempuh perjalanan berat setiap hari naik-turun bukit dan keluar-masuk hutan untuk bisa mengajar anak-anak sekolah di kawasan penyangga Suaka Margasatwa (SM) Nantu.
"Saya sudah 13 tahun mengajar siswa di sekolah ini," ujar Jatia kepada IDN Times, belum lama ini. Oleh murid sekolah, dia akrab disapa dengan sebutan Ibu Tia.
Baca Juga: Ini Kisah Heroik Nur Rohim, Guru Honorer di Merauke
1. Mengajar sendiri setelah dua rekannya tak sanggup bertahan
Tak usah membayangkan muluk-muluk tentang Dusun Tumba. Dusun itu tak berbeda jauh dengan daerah pedalaman lainnya di Indonesia: tertinggal dari aspek infrastruktur dan fasilitas umum.
Dusun Tumba berada di wilayah pegunungan dengan kondisi jalan tanah berliku dan banyak jurang. Tidak ada jalan beton atau beraspal. Butuh waktu 1 jam dengan ojek bertarif Rp50 ribu dari pusat Desa Tamaila Utara untuk menjangkau dusun. Tapi karena medan berat, ojek motor tidak akan mau melintas saat hujan.
Tia sendiri berjalan kaki menempuh jarak sekitar 5 kilometer selama satu jam dari rumah menuju ke sekolah. Dusun berupa wilayah pertanian dan perkebunan, dengan jarak antar rumah warga yang saling berjauhan. Tetangga terdekat bisa berjarak 1 kilometer atau lebih.
Setiap hari, Tia melalui medan terjal dan menanjak. Saat hujan, dia harus siap-siap terpeleset karena jalan berlumpur dan becek.
"1 Jam itu kalau jalan lambat dari rumah. Apalagi keadaan begini kalau hujan-hujan," katanya.
Tia bercerita, dulu dia mengajar bersama dua orang guru honorer lain. Tapi karena gaji kecil dan sekolah yang cukup jauh, dua rekannya tak lagi sanggup lagi bertahan.
“Di tahun 2012 itu mereka tidak lagi datang mengajar,” ucap Tia.
Dulu, kata Tia, tidak ada bangunan sekolah untuk memfasilitasi sekolah jauh. Aktivitas belajar mengajar pun digelar di sebuah masjid dusun. Sekitar tahun 2011, pemerintah baru membuat bangunan sekolah untuk murid-murid sekolah jauh.
Walaupun saat ini sudah ada bangunan sekolah, tak jarang murid-murid membolos sekolah. Kata Tia, itu karena masyarakat di Tumba mayoritas berprofesi sebagai petani di wilayah dataran rendah. Sehingga pada saat-saat tertentu orangtua murid mengajak anaknya bekerja.
Baca Juga: Melihat Dusun Tumba, Benteng Terakhir Hutan Suaka Margasatwa Gorontalo