Cerita eks Pasien COVID-19 Menghadapi Diskriminasi Meski Sudah Sembuh
Stigma negatif juga dirasakan oleh keluarga eks pasien
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Gorontalo, IDN Times - Diskriminasi dialami eks pasien positif COVID-19 setelah sembuh dari masa perawatan. Pengalaman itu diceritakan oleh Moh. Rifaldi Madina, warga Kecamatan Kota Timur, Kota Gorontalo, yang diidentifikasi sebagai pasien 02 di Provinsi Gorontalo.
Rifaldi sempat menjalani perawatan selama 12 hari di Rumah Sakit Aloei Saboe, Gorontalo, dan dinyatakan sembuh pada 24 April lalu. Dia pun sudah dapat kembali ke rumah. Tapi sembuh dari virus corona bukan berarti penderitaannya selesai, sebab dia mengaku kerap merasa dikucilkan di lingkungannya.
Rifaldi dinyatakan terkonfirmasi positif COVID-19 pada pada 15 April lalu bersama ibunya, yang diidentifikasi sebagai pasien 03. Rifaldi dikategorikan dalam klaster Jamaah Tabligh Syuro Alami yang pernah mengikuti pertemuan Ijtima Gowa, Sulawesi Selatan.
“Saya dengan ibu di sana (RS Aloei Saboe) kita tidak merasakan ketakutan seperti bayangan kebanyakan orang. cuma yang bikin takut pasien itu selepas mereka sembuh, sanksi sosial ini sebenarnya yang paling berat,” curhat Rifaldi kepada IDN Times saat di kunjungi di kediamannya, senin (18/5).
Rifaldi mengaku terbebani dengan perlakuan sebagian orang di sekitar tempat tinggalnya. Apalagi, ada anggapan yang beredar bahwa pasien sembuh masih membawa sisa-sisa virus corona yang dapat menjangkiti orang lain.
“Padahal sesuai dengan hasil PCR atau swab yang nyata, bahkan sudah dua kali pemeriksaan negatif, maka dipastikan sudah tidak ada lagi virus corona dalam tubuh. Tetapi orang mengatakan masih menganggap ada virus corona di dalam tubuh mereka,” katanya.
Baca Juga: Diskriminasi Perawat saat Pandemik COVID-19, Dipukul Hingga Diusir
1. Stigma negatif juga dialami oleh keluarga pasien
Diskriminasi, kata Rifaldi, tak hanya dialami dia saja. Keluarga dan kerabat dekatnya pun menerima stigma negatif dari sebagian masyarakat, meski tidak pernah bersinggungan langsung dengan dia.
Rifaldi bercerita, suatu ketika keponakannya yang tinggal terpisah di Kelurahan Botu berencana membeli es batu di warung. Namun pemiliknya enggan melayani, bahkan langsung menutup warung.
“Padahal selama isolasi dan perawatan tidak pernah ketemu sampai sekarang. Jadi saya punya keluarga kena. Bahkan teman yang datang menjenguk saya dirumah juga terkena dampak,” katanya.
Rifaldi sendiri merasakan langsung soal stigma itu. Misalnya ketika berpapasan dengan orang, mereka menghindar dan menutup hidung. Padahal dia sudah dinyatakan sembuh. Rifaldi yang punya usaha rumah makan hingga kini belum kembali menjalankan usahanya.
“Sampai sekarang orang masih menganggap saya membawa virus,” ujar Rifaldi.
Baca Juga: Loloskan 7 Jemaah Tablig Bangladesh, Bupati Gorontalo Utara Minta Maaf