TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

FJPI Dorong Dewan Pers Rumuskan Pedoman Pemberitaan Kekerasan Seksual

Media sulit menyembunyikan identitas korban pelecehan

Ilustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Makassar, IDN Times - Ketua Umum Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Uni Lubis mendorong Dewan Pers segera memfasilitasi perumusan pedoman pemberitaan kekerasan seksual.

Uni Lubis, Pemimpin Redaksi IDN Times, menyampaikan itu sebagai narasumber pada webinar "Kode Etik Penulisan Berita Kekerasan Seksual Pada Perempuan dan Anak", yang digelar FJPI bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Sabtu (27/8/2022).

 "Mendesak dewan Pers, agar memfasilitasi perumusan dan pedoman pemberitaan kekerasan seksual, karena memang kode etik jurnalistik yang 11 pasal itu belum bisa mengejar kebutuhan dari perkembangan media digital," kata Uni Lubis di sesi webinar via Zoom.

Baca Juga: Memahami Perbedaan Pelecehan Seksual dan Kekerasan Seksual

"Pelecehan itu baik fisik maupun verbal itu masuk dalam kategori kekerasan seksual, karena itu friendly reminder juga kepada kita jurnalis untuk membaca juga itu UU PPKS, untuk paham ada 19 jenis kekerasan seksual," Uni menerangkan.

1. Media seharusnya menyembunyikan identitas korban pelecehan seksual

Ketua FJPI Pusat, Uni Lubis saat webinar kode etik penulisan berita kekerasan seksual pada perempuan dan anak, Sabtu (27/8/2022).

Uni Lubis membahas pemberitaan kasus dugaan tindak pidana kekerasan seksual terhadap PC, istri eks Kepala Divisi Propam Polri Irjen Ferdy Sambo. Dalam kasus itu, PC seharusnya masuk kategori korban.

"Awal-awal kasus, kami sudah diskusi di redaksi dan forum pemimpin redaksi perempuan, harusnya ini (PC) di-treat sebagai korban pelecehan seksual, terlepas apakah kita percaya atau tidak," kata Uni.

Dalam kasus PC, kata Uni, jurnalis sulit merahasiakan identitas korban. Terlebih, identitasnya kerap disebut oleh para aparat hukum maupun pengacara.

"Jadi yang wajib menjalankan kode etik jurnalis itu adalah jurnalis, karena jurnalis yang terikat dan paham tentang kode etik. Ini contoh kasus terbaru dimana jurnalis dan media tidak mudah taat pada kode etik," ucapnya.

Jurnalis, Uni melanjutkan, wajib taat kepada kode etik dengan merahasiakan identitas korban kekerasan seksual, termasuk pelecehan. Pelecehan termasuk kekerasan seksual, menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

2. Yang perlu dieksploitasi pelaku, bukan korban

ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Aditya Pratama)

Menurut Uni, tujuan dari pemberitaan kejahatan seksual atau kejahatan asusila untuk menghindarkan orang lain untuk menjadi korban. Media sepatutnya tidak mengeksploitasi dan mengeksplorasi identitas dari korbannya.

"Jadi untuk apa (eksploitasi identitas korban). (Dalam) kode etik jurnalistik, tidak ada kewajiban jurnalis untuk melindungi pelaku, kecuali pelaku itu usia anak. Jadi justru pelaku yang perlu dieksploitasi lebih lagi," kata Uni Lubis

"Tapi yang namanya penghormatan terhadap HAM, termasuk kerugian yang dialami dalam hal ini oleh keluarga pelaku, redaksi perlu untuk membahas dan mendiskusikan lagi apakah ini case by case atau seperti apa," jelasnya lagi.

Baca Juga: UU TPKS Sah! Wujud Negara Lindungi Korban Kekerasan Seksual 

Berita Terkini Lainnya