TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Unhas Gelar Seminar dan Penghargaan Khusus bagi Prof Sangkot Marzuki

Prof Sangkot ilmuwan biologi molekuler yang diakui dunia

IDN Times/Abdurrahman

Makassar, IDN Times - Mantan Direktur Lembaga Eijkman Indonesia (1992-2014), Prof Sangkot Marzuki yang juga ilmuwan dan peneliti Biologi Molekuler yang diakui dunia, menjadi tamu istimewa di kampus Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar. 

Sekolah Pascasarjana Unhas yang bekerja sama dengan Dewan Professor dan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), menggelar seminar dan penghargaan khusus untuk Prof Sangkot Marzuki, dengan  tema ‘Science Knows No Boundaries’; Perjalanan Panjang Melintasi Batas-batas Bangsa, Lembaga, dan Ilmu Pengetahuan, di Aula Prof Dr Fachrudin, Pascasarjana Unhas, Rabu (26/6).

Dalam seminar tersebut, sejumlah guru besar dari beberapa kampus ternama di dunia, menyampaikan testimoni, baik secara langsung maupun lewat rekaman video. Beberapa guru besar yang mengungkapkan langsung apresiasinya, yaitu Prof Dr Patcharee Lertrit, Guru Besar Universitas Mahidol Thailand, Prof Herawati Supolo, Direktur Lembaga Eijkman, Rektor Unhas Prof Dwia Aries Tina Pulubuhu, dan Prof Jamaluddin Jompa, Dekan Sekolah Pascasarjana Unhas. Sedangkan testimoni video yakni: Prof Kevin Baird, Kepala Lembaga Eijkman Oxford, Prof Hans Pols, Guru Besar Universitas Sidney, dan Prof Bruce Alberts, mantan utusan ilmuwan Presiden Barrack Obama untuk Indonesia. 

“Menjadi kehormatan bagi Unhas, dikunjungi ilmuwan dunia. Ilmuwan yang tidak kenal Prof Sangkot bisa kualat. Jasa-jasa Prof Sangkot juga bagi Unhas sangat besar, seperti sinergi multi disiplin dan pengembangan sains, kerjasama Fakultas Kedokteran Unhas dengan lembaga Eijkman, Novartis, dan Laboratorium NECHRI,” ujar Prof Dwia.

Selain itu, dalam acara ini juga sastrawan Makassar Aslan Abidin ikut mempersembahkan puisinya berjudul Walennae dan puisi Sanusi Pane, berjudul Mencari untuk Sangkot. Puisi ini menjadi spesial karena Sangkot juga menggemari karya sastra dan merupakan cucu-keponakan sastrawan angkatan Pujangga Baru Sanusi Pane dan Armiyn Pane. 

Baca Juga: Keren! 128 Mahasiswa Unhas KKN ke Luar Negeri

1. Prof Sangkot rela tinggalkan Universitas Monash untuk menghidupkan kembali Lembaga Eijkman

IDN Times/Abdurrahman

Demi nasionalisme pada bangsanya, Sangkot yang lahir di Medan 75 tahun lalu ini, rela meninggalkan kampus tempatnya mengabdi sebagai guru besar di Universitas Monash, kampus ternama di Melbourne, Australia, untuk memenuhi panggilan Menristek saat itu Prof BJ Habibie, yang meminta Sangkot kembali ke Indonesia untuk memajukan ilmu pengetahuan dan lembaga penelitian di Indonesia. Habibie menemukan nama Sangkot dalam jurnal internasional The Lancet tahun 1989, yang meneliti tentang Mutasi DNA Mitokondria yang mempengaruhi penuaan dan penyakit degeneratif. 

Pada tahun 1992, Sangkot akhirnya mau kembali ke Indonesia dengan syarat, ingin menghidupkan kembali lembaga penelitian biologi molekuler Eijkman yang didirikan ilmuwan peraih Nobel Christiaan Eijkman pada tahun 1888 dan ditutup pada 1965. Sangkot juga meminta syarat pada Habibie untuk menempati gedung lama Lembaga Eijkman yang direstorasi seperti bentuknya semula, dilengkapi peralatan moderen yang tidak kalah dengan negara lain, dan merekrut ilmuwan-ilmuwan  hebat. 

“Kita mau bikin lembaga penelitian biologi molekuler berstandar Internasional yang tidak saja excellent, tapi juga punya sejarah, bahwa di tempat ini ditemukan vitamin dan penyebab penyakit beri-beri, Eijkman meraih Nobel dari tempat ini,” ujar Sangkot. 

2. Saat krisis moneter 1998, Sangkot pernah dibujuk untuk pimpin lembaga penelitian di Singapura

IDN Times/Abdurrahman

Saat badai krisis moneter tahun 1998 yang menerjang Indonesia, Lembaga Eijkman yang dipimpin Sangkot ikut terkena imbasnya. Sangkot kesulitan membayar gaji para peneliti yang bekerja di Eijkman. Beberapa relasi Sangkot sesama ilmuwan di Singapura berusaha membujuk Sangkot untuk pindah ke Singapura untuk memimpin lembaga penelitian di Singapura. 

“Saat itu ada banyak kesempatan ditawarkan, ada Singapura, ada Australia, saya bisa ke sana membawa orang. Tapi tidak mungkin saya sebagai kapten meninggalkan kapal yang mau karam, karena tidak ada dana lagi, jadi kita coba mengecilkan jumlah peneliti kita, kita carikan siapa yang bisa mendapatkan beasiswa Post Graduate yang dibiayai personal, bukan dari pemerintah,” tutur mantan Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia periode tahun 2008-2018 ini. 

Baca Juga: Ditutup, 41.846 Orang Daftar SBMPTN di Unhas

Berita Terkini Lainnya