Hari Hutan Sedunia: Menilik Kondisi Terkini Hutan di Sulawesi Selatan

Mulai dari kurangnya Polhut hingga rencana reboisasi

Makassar, IDN Times - Tanggal 21 Maret merupakan hari istimewa bagi para pegiat lingkungan hidup. Induk organisasi internasional Perserikatan Bangsa (PBB) menetapkannya sebagai Hari Hutan Sedunia sejak tahun 2012. Pertama kali tercetus lewat konferensi perihal perubahan iklim di Nusa Dua Bali tahun 2007, seluruh delegasi kala itu sepakat bahwa pemeliharaan dan pemulihan kembali hutan adalah senjata ampuh melawan ancaman pemanasan global.

"Forests and Education" (Hutan dan Pendidikan) jadi tema untuk perayaan tahun ini. Tajuk tersebut memang berbanding lurus dengan meningkatnya kepedulian sekolah dan murid di berbagai belahan dunia akan arti krusial hutan bagi kelangsungan hidup berbagai spesies. Contoh paling menarik adalah saat ratusan pelajar di sejumlah negara--seperti Selandia Baru, Swedia dan Amerika Serikat-- turun ke jalan untuk memprotes penanganan perubahan iklim yang dianggap masih jalan di tempat.

Di Sulawesi Selatan sendiri, hutan masih menjadi tempat mencari nafkah sebagian warga. Kawasan hutan lindung di Maros dan Gunung Lompobattang juga menjadi daya pikat bagi turis. Namun, ancaman penebangan liar dan alih fungsi masih membayangi.

Berikut gambaran singkat kondisi hutan di Sulawesi Selatan seperti dirangkum dari berbagai sumber.

1. Rasa bimbang hutan lindung

Hari Hutan Sedunia: Menilik Kondisi Terkini Hutan di Sulawesi SelatanIlustrasi hutan (Pixabay/gunawanteguh )

Menurut Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan, hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

Karena fungsinya yang penting bagi ekosistem, segala aktivitas warga yang punya efek buruk dinyatakan terlarang. Namun, potensi konflik muncul. Sebanyak lebih 20 ribu hektare kawasan hutan lindung yang tersebar dari Bulukumba, Sinjai hingga Tana Toraja rupanya telah dialihfungsikan untuk pertanian dan perkebunan sejak lama.

Upaya penertiban kawasan tak berjalan mudah lantaran arti pentingnya bagi warga. Alhasil usul perubahan status dari Hutan Lindung menjadi Hutan Kemasyarakatan atau Areal Penggunaan Lainnya selalu digodok di sejumlah kabupaten setiap tahunnya.

Akan tetapi, banyak pula yang masih dalam fase polemik. Contohnya saat Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel menetapkan kawasan pegunungan kapur Rammang-Rammang Maros sebagai sebagai hutan lindung. Warga setempat khawatir jika penetapan tersebut berdampak pada pengembangan wisata lokal yang mereka lakukan secara swadaya. Belum lagi jika menilik fakta jika puluhan hektare lahan dimiliki warga secara sah.

Baca Juga: Konsep Revitalisasi Sungai Citarum Diadopsi ke Sulawesi Selatan

2. Kurangnya personel Polisi Kehutanan

Hari Hutan Sedunia: Menilik Kondisi Terkini Hutan di Sulawesi SelatanANTARA FOTO/Rahmad

Saat pembalakan liar dan alih fungsi hutan jadi momok, Dinas Kehutanan Sulsel justru kekurangan personel Polisi Kehutanan. Total anggota Polhut yang aktif saat ini adalah 98 orang. Dengan jumlah yang tak sampai 100, amat jauh dari kata cukup, mereka bertugas mengawasi 2,6 juta hektare lahan hutan.

Pihak Dishut sudah pernah mengatakan jika idealnya ada satu polhut yang mengawasi seribu hektare alias satu banding seribu. Artinya, dibutuhkan sedikitnya 2.100 orang untuk menjaga hutan Sulsel. Jumlah personel polhut pun kian berkurang jika ada yang masuk masa pensiun dan mangkat.

Pihak Dishut Sulsel sudah meminta perekrutan tambahan tenaga setiap tahunnya, namun lowongan pekerjaan untuk posisi tersebut tak kunjung dibuka. Dengan pertimbangan pentingnya personel dalam mengawasi hutan, tenaga honorer dan tenaga kontrak jadi solusi jangka pendek.

3. Antara ekonomi dan lingkungan

Hari Hutan Sedunia: Menilik Kondisi Terkini Hutan di Sulawesi Selatan

Organisasi Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Sulsel pada akhir tahun lalu menyebut, perlindungan hutan wajib menjadi fokus pemerintahan Gubernur Nurdin Abdullah. Meski menjadi sasaran utama, mereka meminta agar aktivitas ekonomi tidak berujung pada perusakan lingkungan secara masif. Contoh kasus kongkrit juga terjadi di Sulawesi Selatan.

Hutan tropis terpenting milik Sulsel berada di pegunungan Tolekaju, yang terbentang dari Kabupaten Luwu, Luwu Utara hingga Luwu Timur. Saat ini tercatat ada 13 perusahaan yang mendapat izin pertambangan di wilayah tersebut. Walhi Sulsel menyebut jika masyarakat lokal tak dilibatkan dalam pembahasan dampak lingkungan sebelum mengolah hasil bumi.

Baca Juga: WALHI: Mendahulukan Ekonomi daripada Lingkungan Hidup adalah Sesat

4. Rencana reboisasi demi mencegah bencana

Hari Hutan Sedunia: Menilik Kondisi Terkini Hutan di Sulawesi SelatanIDN Times/Aan Pranata

Sudah menjadi rahasia umum jika bentang Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Hutan Lindung berada dalam kondisi mengkhawatirkan. Peristiwa banjir besar, Januari silam jadi bukti jika kerusakan DAS serta alih fungsi hutan berdampak masif nan merusak pada kehidupan masyarakat Sulsel.

Tim Kajian Banjir Sulsel yang dibentuk Gubernur Nurdin Abdullah menemukan  bahwa kerusakan lingkungan di sekitar daerah aliran sungai (DAS) menjadi salah satu penyebab utama banjir besar menelan 68 korban jiwa tersebut. 

Ketua Tim Kajian Banjir Sulsel Syamsu Rijal mengatakan, banjir saat itu terjadi di tengah cuaca ekstrem dengan curah hujan tinggi. Selain itu terjadi kenaikan permukaan air laut pada masa pasang tertinggi.

“Penyebab utama banjir adalah alih fungsi lahan dan deforestasi khususnya di hulu dan tengah DAS yang kritis. Selain itu terjadi terjadi pendangkalan sungai, serta sistem drainase dan tampungan air yang tidak memadai,” kata Rijal melalui siaran pers yang diterima di Makassar, Rabu (20/3).

Sementara itu, Dinas Kehutanan Sulsel rencananya akan mereboisasi sekitar 19.600 hektare hutan yang tersebar di 19 kabupaten dan kota. Kendati sudah dilaksanakan tiap tahun, banjir dahsyat yang terjadi baru-baru ini kembali membuka mata publik perihal pentingnya pemeliharaan hutan.

"Reboisasi yang selama ini dilakukan berjalan baik dan lancar. Dtidak ada alasan masyarakat untuk menolak atau menghalangi, karena kalau tidak pasti akan berhadapan dengan hukum," ujar Kepala Dinas Kehutanan Provinsi SulselMuhammad Tamzil, pekan lalu.

Baca Juga: Ternyata Ini Penyebab Utama Banjir Besar di Sulsel, Januari Lalu

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya