6 Alasan Tak Perlu Membawa-bawa Jabatan dalam Obrolan Sehari-hari

- Jabatan seharusnya tidak dibawa-bawa dalam percakapan sehari-hari
- Menonjolkan jabatan bisa membuat orang terkesan pamer dan gila hormat
- Jabatan hanya berlaku di internal kantor dan tidak penting bagi lawan bicara
Jabatan tidak diberikan pada sembarang orang. Ada persyaratan tertentu yang mesti dipenuhi oleh calon pejabat. Selama penilaiannya objektif, keberhasilanmu menduduki suatu jabatan menunjukkan kompetensi yang gak main-main.
Kamu dipandang pantas dan mampu menjalankan tugas di posisi yang lebih tinggi. Misalnya, dirimu seorang kepala kantor, direktur, atau manajer. Selain kemampuan kerja yang unggul, sebagai pejabat tentu dirimu juga lebih dihormati terutama oleh bawahan.
Tingkat kesejahteraanmu pun lebih baik daripada orang-orang yang gak memegang jabatan strategis. Namun, tidak semestinya soal pangkat ini dibawa dalam percakapan sehari-hari antara dirimu dengan siapa pun. Seperti dengan saudara, tetangga, atau teman yang beda pekerjaan. Ikuti penjelasan berikut.
1. Terkesan pamer dan gila hormat

Kalau bukan pamer, apa lagi yang melatarbelakangi ucapanmu yang selalu menonjolkan jabatan? Apa pun konteks percakapannya, ujung-ujungnya posisimu di kantor ikut disebut. Seperti saat kamu makan di luar bersama keluarga besar.
Tahu-tahu saja dirimu berkata sudah pernah makan di sana ketika pertemuan khusus para manajer. Atau, saat orang-orang membicarakan dampak kelelahan pada kesehatan. Kamu mengatakan sebagai direktur di suatu perusahaan juga selalu capek. Gak pernah tidak lelah. Orang tahu keinginanmu menonjolkan hal tersebut.
2. Jabatan hanya berlaku di internal kantor

Setinggi apa pun jabatanmu di kantor, sejatinya itu gak berarti apa-apa di lingkungan yang lebih luas. Tetanggamu misalnya, gak peduli kamu kepala divisi atau staf biasa. Mereka hanya melihatmu sebagai bagian dari warga.
Kamu sama seperti mereka. Baik dirimu berpangkat atau tidak tetap memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga lainnya. Jabatan yang cuma diberikan sehubungan dengan keperluan kerja gak sepatutnya terus dibicarakan di lingkungan yang berbeda.
3. Jabatanmu gak penting bagi lawan bicara

Setinggi-tingginya jabatanmu di kantor, kiprahmu terbatas. Hanya karena kamu menduduki posisi penting dalam pekerjaan, bukan artinya peranmu juga penting bagi orang-orang di luar kantor. Kamu seorang direktur, misalnya. Lawan bicaramu yang bekerja di sektor lain tetap mesti mencari uang sendiri.
Jabatanmu tidak lantas membuat kamu berpengaruh besar terhadap hidup semua orang. Pedagang yang pagi-pagi biasa kulakan di pasar tetap berangkat ke sana sekalipun punya tetangga direktur sepertimu. Walaupun jabatan tersebut merupakan pencapaian besar bagimu dan sangat memengaruhi kehidupan keluargamu, orang lain tak cukup peduli.
4. Jabatanmu sudah otomatis disebut dalam kegiatan yang relevan

Sebagai pejabat tentu kamu telah menghadiri begitu banyak acara. Dirimu juga kerap mendapatan undangan atau dokumen yang mesti ditandatangani. Di sana jabatanmu senantiasa disebut mendahului namamu atau setelahnya. Apakah kesempatan sebanyak itu masih terasa kurang?
Sampai dirimu gak ada capeknya menyebutkan jabatan sendiri dalam percakapan dengan siapa saja. Barangkali kamu terlalu haus akan validasi dari orang lain. Dirimu tidak menginginkan seorang pun melupakan kedudukanmu yang tinggi dalam pekerjaan.
5. Bukan hanya pejabat yang sibuk

Sering kali orang yang gemar menyebut-nyebut jabatannya juga membahas kesibukannya. Makin tinggi jabatan makin padat hari-harinya. Tentu ini sudah suatu keniscayaan. Namun, apakah orang yang gak memiliki jabatan berarti tidak sibuk?
Tentu tak demikian. Apalagi di zaman sekarang saat harga kebutuhan makin tinggi, keinginan kian banyak, serta persaingan tambah ketat. Semua orang terutama yang sudah bekerja pasti sibuk. Apa pun pekerjaannya, tiap orang memiliki agenda kerja dan target harian.
Saat kamu masih nyenyak tidur, misalnya. Banyak pedagang yang sudah pergi ke pasar pada dini hari untuk kulakan dan membuka warungnya sendiri. Ada pula pekerja warung makan yang mulai memasak jam 00.00 untuk berjualan di pagi hari.
6. Memicu post power syndrome setelah tak menjabat

Kamu tidak akan selamanya menjabat. Memang selama dirimu masih sehat dan mempunyai kinerja yang baik, jabatanmu bisa terus naik. Namun, tetap akan ada titik ketika kamu harus melepas semuanya. Bisa karena pensiun atau saat atasan merasa gak cocok denganmu.
Dirimu tidak lagi diberi jabatan apa pun. Tak ada pesawat yang gak pernah mendarat, kecuali terjadi kecelakaan di udara. Menjaga diri tetap rendah hati dengan tidak sedikit-sedikit mengungkit jabatan sendiri mencegahmu mengalami post power syndrome.
Jabatan paling bergengsi sekalipun diberikan semata-mata untuk dijalankan dengan sebaik mungkin. Bukan buat disombongkan dengan kamu menceritakannya ke setiap orang. Mereka bukannya iri. Malah kamu yang tampak norak dengan terus menyebutkan posisimu di kantor.