TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kiprah Tiga Datuk Minang Penyebar Islam di Sulawesi Selatan

Bagian tak terpisahkan dari sejarah Islam di Tanah Daeng

Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures

Makassar, IDN Times - Sejarah Islam di Sulawesi Selatan tak lepas dari peran tiga ulama asal Minangkabau, Sumatera Barat, yang datang keTanah Daeng. Ketiganya kemudian tinggal di Sulsel hingga akhir hayat mereka.

Di penghujung abad ke-17, kapal yang membawa Datuk ri Bandang (Abdul Makmur, Khatib Tunggal), Datuk ri Tiro (Abdul Jawad, Khatb Bungsu) dan Datuk ri Pattimang (Sulaiman, Khatib Sulung), merapat ke bandar Somba Opu milik Kerajaan Gowa-Tallo.

Namun sejumlah catatan menyebut bahwa Islam sudah ada di Sulsel waktu itu, meski penyebarannya belum pesat. Tiga abad sebelum mereka, sudah ada Sayyid Jamaluddin al-Akbar al-Husaini, seorang ulama asal Malabar di India, yang berdiam di Kerajaan Wajo sejak tahun 1320.

Menurut peneliti dari Balai Litbang Agama Makassar, ketiga datuk ini datang menyebarkan agama Islam atas permintaan Raja Tanete. Sebelumnya, kepala pemerintahan Kerajaan Barru tersebut mengirim utusan ke tanah Minang terlebih dahulu, menyampaikan maksud dan tujuan undangan. Di sisi lain, sebuah catatan turut menulis jika mereka diutus oleh Sultan Aceh dan Sultan Johor.

1. Datuk Tellue berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, dan tinggal di Sulawesi Selatan hingga akhir hayat

Wikimedia.org/Collectie Tropenmuseum

Setelah tiba di Makassar, mereka rupanya tak langsung melakukan aktivitas syiar Islam. Pengamatan dan pembacaan kondisi masyarakat dan politik kerajaan di Sulsel waktu itu jadi hal utama. Beberapa keterangan diperoleh, antara lain Datuk Luwu adalah raja paling dihormati sebab posisi Kerajaan Luwu sebagai kerajaan tertua dan disebut sebagai asal leluhur para raja-raja di Sulawesi Selatan. Sementara yang paling kuat adalah Raja Gowa dan Raja Tallo.

Berbekal informasi tersebut, mereka kemudian berangkat ke Luwu untuk menemui sang Datuk Luwu yang berkuasa waktu itu, La Patiware Daeng Parabu dengan gelar Petta Matinroe' ri Malangke (1587-1615). Menurut naskah Lontara Wajo, sang petinggi Luwu kemudian memeluk agama Islam pada 15 Ramadan 1013 H atau tahun 1603.

Tak lama kemudian, menyusul para petinggi dari Kerajaan Gowa-Tallo, salah satunya Raja Tallo, yakni I Malingkaan Daeng Mayonri (1539-1623), sang raja keenam. Ia kemudian digelari Sultan Abdullah Awalul Islam oleh ketiga Datu', sekaligus menjadikan Islam sebagai agama resmi sejak 1605.

Baca Juga: Masjid Tua Katangka, Saksi Sejarah Masuknya Islam di Sulsel

2. Masjid Katangka di Gowa jadi saksi bisu penyebaran agama Islam oleh ketiga Datuk

IDN Times/Abdurrahman

Setelah para petinggi dari dua kerajaan berpengaruh di Sulsel memeluk agama Islam, para datuk itu kemudian berpencar, membagi tempat dakwah menurut kondisi sosial dan kemampuan mereka. Hal tersebut dikemukakan dalam buku Sistem Nilai Islam dalam Budaya Bugis-Makassar yang ditulis oleh Abdullah Hamid, salah satu peneliti dan sejarawan yang fokus terhadap dinamika masyarakat lokal Sulsel.

Datuk ri Bandang yang ahli ilmu hukum dan syariat Islam bertugas di wilayah Gowa-Tallo. Waktu itu, masyarakatnya masih kerap melakukan judi, minum ballo' (minuman keras tradisional) dan sabung ayam.

Datuk Pattimang yang ahli tauhid atau konsep keesaan bertugas di Luwu lantaran masyarakatnya masih memegang sistem kepercayaan lama yakni menyembah Dewata Seuwae. Datuk Pattimang disebut mengajarkan hal-hal sederhana seperti sifat-sifat Tuhan.

Datuk ri Tiro yang menguasai ilmu tasawuf atau sufisme bertugas di Bulukumba, bagian selatan. Waktu itu, masyarakatnya masih percaya terhadap hal-hal berbau kebatinan dan sihir. Sebuah riwayat menyebut jika Datuk ri Tiro mengakhiri masa kekeringan di wilayah tersebut dengan memunculkan mata air usai menancap tongkatnya ke tanah.

Baca Juga: Nelayan Makassar dan Awal Masuknya Islam di Australia

Berita Terkini Lainnya