TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengenal Wahidin Sudirohusodo, Dokter Rakyat Penggagas Budi Utomo

#MenjagaIndonesia Nama Wahidin terkenal di Makassar

Wikimedia Commons

Makassar, IDN Times - Dalam pemberitaan perihal wabah virus Corona beberapa waktu belakangan, terselip nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Wahidin Sudirohusodo. Rumah sakit di Kota Makassar itu memang menjadi salah satu dari delapan rumah sakit rujukan pasien COVID-19 di Sulawesi Selatan yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan.

Didirikan pada tahun 2006, rumah sakit ini sudah pernah menangani kasus-kasus wabah lain seperti SARS, MERS dan Flu Burung.

Di sisi lain, RS tersebut berasal dari nama seorang dokter sekaligus tokoh pergerakan nasional Indonesia yang membidani lahirnya organisasi Budi Utomo pada 1908. Berikut ini IDN Times menyajikan sekelumit kisah hidup Wahidin Sudirohusodo seperti dirangkum dari berbagai sumber.

1. Wahidin Sudirohusodo lahir di Sleman, Yogyakarta, pada 7 Januari 1852

Rijksmuseum (Wikimedia Commons)

Wahidin Sudirohusodo lahir dari keluarga ningrat di Desa Mlati, Kota Sleman, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada 7 Januari 1852. Menurut biografi yang disusun Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1992, ayah Wahidin adalah seorang ronggo (bagian dari struktur pemerintahan Hindia-Belanda, sekarang kira-kira setingkat dengan Camat) yang berasal dari daerah Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah.

Selepas lulus dari Sekolah Jawa di Yogya, Wahidin remaja kemudian diasuh oleh Frits Kohle, seorang petinggi perkebunan milik pemerintah Hindia-Belanda di Tasikmadu, Sragen, Surakarta. Ia adalah ipar ayah Wahidin sebab salah satu saudara perempuannya menjadi istri Frits Kohle.

Selama menjadi anak angkat Kohle, Wahidin mendapat sokongan dana untuk melanjutkan pendidikannya. Namun di saat bersamaan, ia mulai sadar betapa jomplangnya nasib antara rakyat biasa dan kaum priyayi ditambah penduduk Eropa plus keturunannya.

Baca Juga: Ketika Pangeran Diponegoro Embuskan Napas Terakhir di Makassar

2. Melanjutkan studi di Sekolah Dokter Djawa Batavia, cikal bakal STOVIA

KITLV/Tan Tjie Lan (Wikimedia Commons)

Selepas menamati Europeesche Lagere School Yogyakarta, Wahidin melanjutkan studinya ke Sekolah Dokter Djawa di Batavia. Sekolah Dokter Djawa sendiri adalah cikal-bakal sekolah pendidikan dokter bumiputera STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) yang kini menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Lulusan Sekolah Dokter Djawa sendiri diwajibkan mengabdi ke masyarakat sebagai mantri cacar, sebuah wabah penyakit yang berkali-kali melanda Pulau Jawa di masa Hindia-Belanda, selama sepuluh tahun dengan gaji mencukupi. Hal sama juga dialami oleh Wahidin.

Sejumlah riwayat menjelaskan sepak terjangnya saat mengabdi. Dalam buku Kebangkitan Nasional Menyuburkan Wawasan Kebangsaan (Persatuan Wartawan Indonesia, 1990), Wahidin menerima pasien yang tak memiliki biaya sepeser pun. Ia percaya bahwa tugas sebagai dokter atau tabib adalah sebuah pengabdian tertinggi ke masyarakat.

Baca Juga: Mengenal Eduard Ernst Pelamonia, Figur Militer-Medis Asal Makassar

3. Berkeliling Pulau Jawa untuk menyadarkan pentingnya pendidikan bagi masyarakat

Repro. Buku "Inti Pengetahuan Warga Negara" (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1954)

Di sela-sela prakteknya, Wahidin melihat kesempatan lebih besar. Dalam buku 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia (Penerbit Narasi, 2005), Wahidin berkeliling Pulau Jawa untuk untuk memberi ceramah perihal cara meningkatkan taraf hidup masyarakat dari 1906-1907. Ia pun turut menjadi inisiator sebuah beasiswa untuk anak-anak bumiputera yang hendak menempuh pendidikan tinggi.

Sejumlah bangsawan menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk membantu niat Wahidin, termasuk Raden Ajeng Kartini dan Pangeran Notodirodjo dari Kesultanan Ngayogyakarta. Ia pun mendirikan lembaga donor bernama Studiefonds (Dana Belajar).

Di sela-sela kesibukannya berkeliling sembari membuka praktik, Dokter Wahidin masih menyempatkan waktu untuk menulis. Ia menulis artikel-artikel kesehatan lewat majalah Guru Desa. Tak sampai di situ, pemikirannya atas pergerakan dan kesadaran identitas turut tertuang dalam majalah Retno Dhumila yang didirikannya pada 1905.

Baca Juga: Arief Rate: Memperjuangkan, Lalu Dikhianati Republik Sendiri

Memperingati HUT ke-75 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, IDN Times meluncurkan kampanye #MenjagaIndonesia. Kampanye ini didasarkan atas pengalamanan unik dan bersejarah bahwa sebagai bangsa, kita merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI dalam situasi pandemik COVID-19, di saat mana kita bersama-sama harus membentengi diri dari serangan virus berbahaya. Di saat yang sama, banyak hal yang perlu kita jaga sebagai warga bangsa, agar tujuan proklamasi kemerdekaan RI, bisa dicapai.

Berita Terkini Lainnya