Ketika Pangeran Diponegoro Embuskan Napas Terakhir di Makassar

Pemimpin Perang Jawa mangkat pada 8 Januari, 165 tahun lalu

Makassar, IDN Times - Tepat pada tanggal 8 Januari 1855, Pangeran Diponegoro mengembuskan nafas terakhir pada usia 69 tahun. Diponegoro mangkat didampingi anak, cucu dan didampingi RA Ratu Ratna Ningsih, salah satu dari tujuh istri sah yang setia menemani masa pembuangannya.

Setelah ditangkap Jenderal Hendrik Merkus de Kock dengan siasat licik pada 25 tahun sebelumnya, sekaligus mengakhiri Perang Jawa (1825-1830) yang melelahkan, pemilik nama asli Bendoro Raden Mas Ontowiryo dibuang ke Makassar.

Di kota pelabuhan terbesar yang terletak di timur Nusantara tersebut, sosok "Ratu Adil" pengobar perlawanan massal rakyat Pulau Jawa terhadap pemerintahan kolonial Belanda, menghabiskan hari-harinya dengan mendekam di Fort Rotterdam, sebuah benteng yang terletak tepat di pesisir Makassar.

1. Sempat tinggal di Manado, Pangeran Diponegoro kemudian dipindahkan secara diam-diam ke Makassar

Ketika Pangeran Diponegoro Embuskan Napas Terakhir di MakassarWikimedia Commons/Geheugen van Nederland

Sempat menghabiskan beberapa tahun di Manado, antara Juni 1830 hingga Juli 1833, Pangeran Diponegoro mengaku tidak begitu bahagia. Menurut buku Sejarah Ringkas Pangeran Diponegoro (Wardiman Djojonegoro, 2019), salah satu penyebabnya adalah suhu dingin yang mencapai rata-rata 22 derajat celcius.

Pemilihan Makassar sebagai tempat pembuangan selanjutnya lantaran reputasi Fort Rotterdam sebagai benteng paling kokoh di seantero Sulawesi. Pada 11 Juli 1833, kapal Circe melepas sauh menuju Makassar, membawa Diponegoro tanpa diketahui oleh pejabat Belanda di Manado (hal. 151).

Begitu tiba, Diponegoro langsung ditempatkan di sel tertutup dengan penjagaan ketat. Ia tak diizinkan bepergian keluar bekas benteng milik Gowa-Tallo tersebut. Para penjenguk pun harus bersurat kepada Gubernur terlebih dahulu.

2. Diponegoro ditempatkan dalam sel berpengawasan ketat dan tak diizinkan keluar

Ketika Pangeran Diponegoro Embuskan Napas Terakhir di MakassarCollectie Tropenmuseum

Pada tahun 1837, putra bungsu Raja Willem II yakni Pangeran Hendrik, mengunjungi Makassar di usia masih 16 tahun. Rasa penasaran membuatnya merasa harus bertatap muka langsung dengan sosok yang membuat kas Hindia-Belanda defisit akibat perang berkepanjangan.

Tak dinyana, Pangeran Hendrik muda justru luluh melihat kondisi Diponegoro. Dengan nada prihatin, ia menyurati sang ayahanda.

"Hari pertama (di Makassar) akan melihat Benteng di sini, saya bertemu dengan tawanan kita yang tampak tak bahagia, Diponegoro, yang jatuh ke tangan kita sebenarnya secara khianat. Dia segera mendekati saya, dengan menarik tangan saya dan menarik saya masuk ke kamarnya, yang berada di lantai pertama. Dia mengatakan kepada Gubernur di sini, Tuan Bousquet (Reinier de Fillietaz Bousquet, menjabat 1834-1841), bahwa dia sangat senang (ketika) seseorang mengunjunginya di tempat tinggalnya yang menyedihkan itu. Walaupun demikian, dia cukup girang; dia tertawa, tetapi konon kegirangannya itu terpaksa atau tidak wajar. Begitu pun dia sangat sungkan : semula, ia bahkan tidak mau bicara Melayu. Sosoknya menyenangkan dan tampak bahwa dirinya masih penuh semangat membara."

Sang pangeran, dalam kapasitasnya sebagai orang dalam istana, memperingatkan Raja Willem II bahwa perlakuan terhadap Diponegoro di pembuangan berpotensi kembali mengobar perlawanan.

Baca Juga: 6 Potret Makam Pangeran Diponegoro, Menengok Sejarah Perjuangan Bangsa

3. Ia berpesan kepada Gubernur Sulawesi agar menjamin kehidupan istri dan anak-anaknya

Ketika Pangeran Diponegoro Embuskan Napas Terakhir di MakassarWikimedia Commons/Leiden University Library

Di saat sang pangeran mendekam dalam Benteng, anak-anak dan pengikutnya berbaur dengan masyarakat lokal. Status darah biru Kesultanan Yogyakarta membuat buah hati Diponegoro tak sulit mendapat pasangan dari kalangan bangsawan. Mereka dipersunting atau menikah dengan anggota kerajaan Bone, Soppeng dan Gowa. Namun kondisi keuangan mereka terbilang melarat.

Meski akhirnya merasa kerasan, ia tetap saja merasa gundah. Sejarawan Peter Carey, dalam buku Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 (2015), menulis bahwa sang pangeran mulai memikirkan nasib keluarga. Meninggalnya anak kedua Diponegoro, yakni Raden Mas Sarkumo pada 1849 di usia 14 tahun, menjadi katalis.

Pangeran Diponegoro pun berpesan kepada Gubernur Pieter Vreede Bik, agar kelak keturunan dan sanak keluarganya bisa menikmati hidup sebagai orang merdeka. Ia meminta disiapkan lahan untuk pusara bagi diri, istri dan sanak keluarganya. Ia turut meminta dibuatkan rumah yang bisa ditinggali istri dan anak-anaknya, berikut pembantu dan sebuah masjid kecil. "Sekalipun ia tidak diizinkan meninggalkan benteng, sebuah kediaman layak tetap perlu disediakan bagi istri dan kerluarganya yang masih hidup di Makassar," tulis Peter.

4. Makam Pangeran Diponegoro saat ini berada di Jalan Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Makassar

Ketika Pangeran Diponegoro Embuskan Napas Terakhir di MakassarIDN Times/Achmad Hidayat Alsair

Belanda menuruti permintaan Diponegoro. Tanah seluas 1,5 hektare kemudian menjadi tempat tinggal keturunannya. Daerah tersebut pun dikenal sebagai Kampung Melayu, yang turut dihuni oleh orang-orang Tionghoa dan Belanda. Namun kini luasnya  menyusut menjadi hanya 550 meter persegi.

Pangeran Diponegoro mengembuskan napas terakhir pada 8 Januari 1855 pagi, akibat kondisi kesehatan yang kian menurun akibat usia lanjut. Ia dimakamkan bersebelahan dengan pusara sang putra tercinta. Tak berapa lama kemudian, anggota keluarga yang masih hidup menyatakan ingin tetap tinggal di Kampung Melayu, atau dekat pusara sang pangeran.

Setelah sang istri yakni RA Ratu Ratna Ningsih mangkat pada 1885, pusara Pangeran Diponegoro direlokasi ke lahan yang kini menjadi Kompleks Makam Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro, Jalan Diponegoro, Kelurahan Melayu. 

Baca Juga: Makam Pangeran Diponegoro, Saksi Bisu Perjuangan di Tanah Daeng

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya