TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengenal Sultan Himayatuddin, Sang Pemimpin Gerilya Rakyat Buton

#MenjagaIndonesia Namanya terpatri dalam memori Rakyat Buton

Dok. Istimewa (Sketsa oleh La Ode Muhammad Ishaq - Bengkel Seni Kreatif Baubau)

Makassar, IDN Times - Presiden Joko "Jokowi" Widodo menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada enam tokoh pada 8 November lalu. Salah satunya berasal dari Sulawesi, yakni Sultan Himayatuddin dari Kesultanan Buton.

Masih asing dengan nama beliau? Dia salah satu figur perjuangan rakyat Sulawesi Tenggara dalam menentang pemerintahan kolonial Belanda.

Lahir dengan nama La Karambau, Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi memimpin Kesultanan Buton sebanyak dua kali tak berturut-turut 1752–1755 (ke-20) dan 1760–1763 (ke-23).

Mungkin kamu bertanya-tanya, seberapa penting Kesultanan yang terletak di Pulau Buton bagi Kompeni di abad ke-18?

Baca Juga: Daftar Tokoh yang Diberi Gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Jokowi

1. VOC menggandeng Kesultanan Buton sebagai mitra strategis pada abad ke-16

The National Museums of World Culture/Walter Kaudern

Ini tidak lepas dari "rivalitas" perdagangan rempah-rempah di belahan timur Nusantara saat itu. Beberapa kesultanan maritim tersebut, antara lain: Gowa-Tallo, Bone, Buton, dan Ternate. VOC membina hubungan diplomatik-ekonomi dengan Buton (serta Bone) dengan anggapan bahwa persekutuan ini akan saling menguntungkan.

Pihak Kompeni menganggap Buton serta Bone adalah dua kekuatan yang sanggup menandingi pengaruh Ternate dan Gowa-Tallo. Buton sendiri harus adu kekuatan dengan Ternate yang terletak di seberang lautan. Sementara itu, VOC punya kepentingan menguasai Ternate yang menjadi sumber rempah-rempah serta Pelabuhan Makassar, bandar strategis yang berada dalam wilayah Gowa-Tallo.

Persekutuan VOC dan Buton mendapat legitimiasi melalui empat kontrak yang diteken oleh kedua belah pihak sejak masa pemerintahan Sultan La Elangi (1578-1615). Namun, kerjasama mereka selalu mengalami naik-turun lantaran sikap sultan yang naik tahta.

Baca Juga: Perang Makassar: Jatuhnya Sang Ayam Jantan dari Timur (1)

2. Konflik antara Buton dan VOC pecah ketika Sultan Himayatuddin memerintah

Dok. Istimewa (Jalaluddin Rumi Prasad)

Eratnya persekutuan Buton - Bone - VOC ini tergambar jelas dalam Perang Makassar (1660-1669). Gowa-Tallo ditaklukkan Belanda, yang mendapat bantuan dari Bone dan Buton. Setelah Sultan Hasanuddin meneken Perjanjian Bongaya, orang-orang Makassar yang menjadi tawanan perang ditempatkan di sebuah pulau kecil tepat di depan kota Baubau. Pulau tersebut kini disebut Pulau Makassar.

Gelagat perlawanan kembali mencuat begitu Sultan Himayatuddin naik tahta. Menurut A.M. Zahari dalam "Sejarah dan Adat FIY Butuni" (1977), percik konflik disulut ketika Buton menolak ganti rugi atas kapal dagang Rust de Kerk yang karam di lepas pantai Baubau.

Namun, Dewan Sara' (setingkat parlemen) takut jika VOC akan datang menyerang Buton. Alhasil Sultan Himayatuddin dicopot dan digantikan oleh Sultan Hamim, tepat sebelum pasukan VOC dibawah komando Onderkoopman Johan Benelius tiba di Buton pada tahun 1753 membawa dua kapal perang ke Baubau.

Baca Juga: Arief Rate: Memperjuangkan, Lalu Dikhianati Republik Sendiri

Memperingati HUT ke-75 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, IDN Times meluncurkan kampanye #MenjagaIndonesia. Kampanye ini didasarkan atas pengalamanan unik dan bersejarah bahwa sebagai bangsa, kita merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI dalam situasi pandemik COVID-19, di saat mana kita bersama-sama harus membentengi diri dari serangan virus berbahaya. Di saat yang sama, banyak hal yang perlu kita jaga sebagai warga bangsa, agar tujuan proklamasi kemerdekaan RI, bisa dicapai.

Berita Terkini Lainnya