Mengenal Songkabala, Ritual Tolak Bala Milik Masyarakat Bugis-Makassar
Dahulu, ritual ini wajib dilakukan para pelaut Makassar
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makassar, IDN Times - Upacara tolak bala dalam khazanah budaya lokal memang menjadi bagian yang tak terpisahkan. Keadaan alam sebagai tempat tinggal dan mencari nafkah juga melengkapi makrokosmos kepercayaan turun-temurun mereka yang masih berpegang teguh pada tradisi dan kepercayaan lama. Bencana alam dan wabah dianggap bertalian dengan kehendak sang dewata.
Sutikno, salah satu pengajar Universitas Muslim Nusantara AW Medan, dalam jurnal berjudul "Function and meaning of Tolak Bala (Ward off Misfortune) Ritual in Malay Serdang Indonesia" (The International Journal of Social Sciences and Humanities Invention, Vol. 4, Issue 8, Agustus 2017) menyebut bahwa tolak bala juga sarat dengan hal gaib.
Dalam setiap upacara tolak bala ada sesembahan, sebagai perantara harapan dan doa antara manusia dengan sang pencipta. Sesembahan juga disebut sebagai "sarana negosiasi spiritual" dengan entitas roh agar tak mengganggu. "Dengan memberi makan simbol untuk roh, para arwah diharapkan jinak dan mau membantu kehidupan manusia," tulis Sutikno.
1. Ritual Songkabala sudah dikenal oleh masyarakat Bugis-Makassar secara turun temurun
Kebudayaan lokal di Indonesia memang akrab dengan upacara tolak bala, mulai dari Sumatera hingga Nusa Tenggara Timur. Masih lekat dalam ingatan saat Wali Kota Solo, FX. Hadi Rudyatmo. melakukan ritual cukur gundul (memangkas habis rambut di kepala) pada 25 Maret 2020 silam sebagai salah satu ritual tolak bala. Ini dilakukannya sebagai harapan agar virus corona tak meluas di wilayah pemerintahannya.
Di masyarakat Bugis-Makassar sendiri, dikenal upacara tolak bala bernama Songkabala. Secara etimologi, Songkabala berarti menolak bala atau bencana. Upacara tersebut erat kaitannya dengan ritual dari kepercayaan monoteistik kuno yang dipeluk masyarakarat Bugis-Makassar kuno, di mana Dewata Seuwae bertindak sebagai pencipta dan pemelihara seisi alam semesta.
Songkabala biasanya dilaksanakan pada sore hari menjelang waktu salat magrib. Ini selaras dengan kepercayaan tradisional bahwa pergantian waktu dari sore menuju malam, alias terbenamnya matahari, identik sebagai penanda para roh dan jin untuk berkeliaran di tengah-tengah manusia.
Baca Juga: Mengenang Perjanjian Bongaya yang Diteken VOC dan Gowa 352 Tahun Silam
Baca Juga: Karamah dan Penahbisan Wakil Allah: Cerita Pengislaman Gowa-Tallo