Karamah dan Penahbisan Wakil Allah: Cerita Pengislaman Gowa-Tallo

Ada peran penting Khatib Abdul Makmur atau Datuk ri Bandang

Makassar, IDN Times - Di awal dekade 1600-an, dari geladak kapal yang membawanya dari Kerajaan Kutai di Kalimantan, Khatib Abdul Makmur melihat dari jauh pesisir pelabuhan Makassar. Ia menatap tanah subur milik Kerajaan Gowa-Tallo itu dengan keyakinan takkan gagal untuk usaha kali keduanya menyebar Islam.

Pada tahun 1575, percobaan pertamanya gagal. Dalam naskah Risalah Kutai, diceritakan bahwa ulama asal Minang itu sudah pernah berusaha mengajarkan agama Islam di Gowa-Tallo. Namun, usahanya berujung buntu lantaran masyarakat setempat masih berpegang teguh pada kepercayaan lama dan sejumlah kebiasaan lama lain yang enggan ditinggalkan masyarakat.

"Abdul Makmur menemui beberapa hambatan di usaha pertamanya. Beberapa di antaranya adalah kegemaran masyarakat atas daging babi hutan kering, makanan berupa hati rusa mentah bercampur darah, serta meminum tuak," tulis mendiang sejarawan Christian Pelras dalam buku The Bugis (1984).

1. Upaya pertama Khatib Abdul Makmur menyebar Islam di Gowa-Tallo pada tahun 1575 berakhir dengan kegagalan

Karamah dan Penahbisan Wakil Allah: Cerita Pengislaman Gowa-TalloTropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures

Melihat sikap warga yang kurang bersahabat, Abdul Makmur pun berangkat menuju Kutai untuk bergabung bersama koleganya Tuan Tunggang Prangan dalam upaya mengislamkan salah satu kerajaan tertua Kalimantan tersebut. Namun, dorongan untuk kembali ke Gowa-Tallo seolah tak terbendung. Ia kembali melepas sauh menuju Sulawesi pada awal abad ke-17, dengan tugas penting diemban oleh Tuan Tunggang seorang.

Kali ini, Abdul Makmur datang tak sendirian. Ia bersama dua saudaranya yang menyusul jauh-jauh dari Minang yakni Khatib Sulaiman dan Khatib Jawad. Sejumlah riwayat menyebut bahwa ketiganya sudah membagi tugas. Khatib Sulaiman akan berada di Kerajaan Luwu, Khatib Jawad berbelok ke tenggara demi misi menumpas ilmu kebatinan dan sihir yang dipraktikkan masyarakat Bulukumba waktu itu. Namun ketiganya lebih dahulu mengunjungi tanah Luwu sebagai kerajaan tertua di Sulawesi.

Menilik ke belakang, sebenarnya usaha mengislamkan Gowa-Tallo sempat ditempuh oleh Sultan Babullah asal Ternate pada 1580. Namun penguasa saat itu, I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (memerintah 1565-1590) menolak dengan halus. Kendati demikian, Daeng Mammeta mengizinkan komunitas pedagang Melayu untuk mendirikan masjid di pemukiman mereka.

2. Sultan Ternate sebelumnya sudah membujuk penguasa Gowa-Tallo untuk memeluk Islam sekaligus taktik membendung pengaruh Portugis

Karamah dan Penahbisan Wakil Allah: Cerita Pengislaman Gowa-TalloTropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures

Di sisi lain, sukar menafikan perkembangan politik-ekonomi kawasan waktu itu. Portugis, sebagai salah satu kekuatan maritim dunia, sedang getol-getolnya berniaga rempah-rempah di jazirah Maluku. Ajakan memeluk agama Islam dari Sultan Babullah kepada Daeng Mammeta Tunijallo sendiri juga memiliki arti politis yakni demi membentuk aliansi perlawanan terhadap Portugis.

Ada juga sebuah kabar burung yang beredar di kalangan orang Eropa selama abad ke-17 perihal kebingungan Raja Gowa-Tallo, apakah harus memilih Kristen atau Islam. Karenanya, ia kemudian mengirim utusan ke Malaka untuk meminta pendeta dan ke Aceh untuk meminta ulama dalam waktu bersamaan. Pilihan dijatuhkan kepada siapa yang lebih dahulu menjejakkan kaki di pelabuhan Makassar.

Pelras sendiri turut menjelaskan bahwa Karaeng Katangka, Raja Gowa-Tallo pertama yang memeluk agama Islam, telah berkali-kali mengirim permintaan kepada pihak Keuskupan Malaka. Namun tak ada jawaban yang diterima (hal. 153). Kendati faktor politik-ekonomi jadi salah satu pendorong, keputusan Sultan Alauddin memeluk Islam juga didorong oleh motivasi religius yang sama besarnya.

3. Dalam hitungan bulan, tiga Datuk asal Minangkabau itu mengislamkan dua kerajaan berpengaruh yakni Luwu dan Gowa-Tallo

Karamah dan Penahbisan Wakil Allah: Cerita Pengislaman Gowa-TalloTropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures

Tak perlu waktu lama, ketiganya berhasil mengislamkan Datu' Luwu yakni La Patiware Daeng Parabu Petta Matinroe' ri Malangke (1587-1615) pada 15 Ramadan 1013 H atau 4 Februari 1605. La Patiware kemudian digelari Sultan Muhammad Wali Muzahir al-Din. Misi rampung di Luwu, Khatib Sulaiman tetap tinggal di Luwu hingga akhirnya dijuluki Datuk Pattimang. Sedangkan Khatib Abdul Makmur dan Khatib Jawad pulang ke Gowa-Tallo.

Melompat ke tanggal 22 September 1605, Khatib Abdul Makmur menuntun I Malingkaeng Daeng Mannyonri Karaeng Katangka yang waktu itu menjabat sebagai Raja Tallo dan Perdana Menteri (Tuma'bicarabutta) mengucap dua kalimat syadahat. Tak lama berselang ikut pula Raja Gowa sekaligus penguasa tertinggi (Sombayya) Gowa-Tallo yakni I Mangari Daeng Manrabbia I Tuminanga ri Gaukanna.

Keduanya pun mengadopsi gelar Islam. Sang Sombayya ditahbiskan sebagai Sultan Alauddin, sedangkan Tuma'bicarabutta menjadi Sultan Abdullah Awalul Islam. Perihal proses pengislaman keduanya, tak ada catatan tertulis rinci. Sumber yang dipakai para sejarawan, Lontara Patturioloanga ri Tugowayya hanya menyebut bahwa Karaeng Katangka diislamkan oleh seorang ulama asal Minangkabau.

Baca Juga: Masjid Tua Katangka, Saksi Sejarah Masuknya Islam di Sulsel

4. Saat mendarat di pelabuhan Makassar, Khatib Abdul Makmur atau Datuk ri Bandang langsung melakukan salat

Karamah dan Penahbisan Wakil Allah: Cerita Pengislaman Gowa-TalloTropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures

Namun, sebuah kepercayaan lokal menjabarkan proses perkenalan sang Raja Gowa dengan Islam melalui cara yang terdengar di luar nalar. Dan riwayat tersebut ditulis langsung oleh Benjamin Frederik Matthes, pengumpul naskah I La Galigo dan misionaris asal Belanda, dalam buku kumpulan catatan Eenige Makassaarsche en Boeginesche Legenden yang terbit pada tahun 1885.

"Pada 22 September (1605) subuh, bayangan sebuah kapal besar terlihat sedang menuju pesisir Tallo. Namun semakin dekat kapal itu ke pelabuhan, ukurannya semakin kecil. Dari kapal layar, kapal kargo, menjadi seukuran sekoci, kapal nelayan hingga akhirnya hanya sebesar peta dunia," tulis Matthes, berdasarkan cerita yang ia dengar.

Sesampainya di daratan, Khatib Abdul Makmur kemudian melaksanakan salat. Kontan saja apa yang ia lakukan menarik perhatian penduduk. Tak perlu waktu lama, laporan tentang orang asing yang "melakukan ritual tak biasa" di daerah pelabuhan sampai di telinga Raja Gowa, I Malingkaeng. Penasaran, ia kemudian meninggalkan istana untuk bertemu langsung si orang asing.

5. Menurut kepercayaan lokal, sang Sombayya ditemui oleh Nabi Muhammad SAW saat dalam perjalanan untuk menghampiri Khatib Abdul Makmur

Karamah dan Penahbisan Wakil Allah: Cerita Pengislaman Gowa-TalloTropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures

Dalam perjalanan menuju pelabuhan, lima orang menghampiri I Malingkaeng. Salah satunya bertanya ingin ke mana ia subuh-subuh begini. Saat mengatakan bahwa tujuannya adalah pelabuhan, orang tersebut kemudian menitip salam kepada Khatib Abdul Makmur sambil mengatakan bahwa ia adalah Nabi Muhammad SAW. I Malingkaeng kesulitan menghafal nama yang baru didengarnya itu.

Untuk membantunya mengingat, menurut kisah, Rasulullah menulis ucapan salam dalam bahasa Arab di jari telunjuk kanan I Malingkaeng dengan hanya usapan air ludahnya. Tak berapa lama, Rasulullah dam empat orang lainnya menghilang bersama cahaya yang disebut "lebih terang dari purnama". Singkat cerita, I Malingkaeng kemudian terlibat percakapan panjang perihal ajaran Islam dengan Khatib Abdul Makmur dan akhirnya menerima agama tersebut.

I Malingkaeng sempat lupa menyampaikan salam dari Nabi Muhammad SAW kepada Khatib Abdul Makmur. Namun sang khatib sendiri yang lebih dahulu sadar akan hal tersebut. "Saat Datuk ri Bandang (julukan Khatib Abdul Makmur) mengamati cahaya dari tangan raja, dia sadar bahwa (kedudukan) Raja jauh di atasnya karena dia sendiri tidak pernah menerima kemunculan langsung sang nabi," lanjut Matthes.

6. Cerita tentang pertemuan Sultan Alauddin dengan sang junjungan Nabi dianggap sebagai simbol kekuasaan Raja Gowa-Tallo yang tak luntur meski telah berpindah kepercayaan

Karamah dan Penahbisan Wakil Allah: Cerita Pengislaman Gowa-TalloTropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures

Sejarawan mendiang Prof. Dr. Mattulada dalam buku Islam di Sulawesi Selatan (EKNAS LIPI, 1976) menyebut bahwa riwayat tersebut mengisyaratkan bahwa I Malingkaeng telah dianugerahi karamah yang sangat bermanfaat untuk penghormatan. Terlebih ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Leonard Y. Andaya, di mana cerita seperti ini memperkuat posisi raja sebagai "bayangan Tuhan di muka bumi."

"Dengan menjadi bagian dari bangsawan beragama Islam, dia akan diakui sebagai orang yang memiliki hak istimewa yang diberikan Tuhan untuk menjadi lebih unggul daripada umat manusia lainnya dan menjadi bayangan Tuhan di muka bumi," tulis Andaya dalam artikel jurnal berjudul Kingship-Adat Rivalry and the Role of Islam in South Sulawesi (1984).

Selain itu, empat orang selain Nabi Muhammad dalam cerita itu disebut sebagai personifikasi empat khalifah pertama yakni Abu Bakar, Usman, Umar dan Ali. "Dengan demikian, kemunculan Nabi bukan hanya untuk menyampaikan berkat kepada sang raja, tetapi juga untuk menandai dia sebagai orang lain di garis perwakilan Tuhan di bumi, atau
khalifah. Jelas bahwa kisah ini bermaksud menempatkan penguasa yang saleh di atas apa yang disebut sebagai wali Allah," jelas Thomas Gibson dalam buku Islamic Narrative and Authority in Southeast Asia (2007).

Baca Juga: Saat Kerajaan Luwu Menerima Islam yang Dibawa Datuk Pattimang

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya