Mengenal Passapu dan Patonro, Penutup Kepala Khas Toraja dan Makassar
Punya makna istimewa bagi masyarakat Toraja dan Makassar
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makassar, IDN Times - Memang susah melepas citra orang Sulawesi Selatan (Sulsel) dari passapu dan patonro, sebuah penutup kepala (destar) berupa lilitan kain. Lukisan Sultan Hasanuddin, Pahlawan Nasional sekaligus Raja Gowa ke-26, yang beredar di publik sejak dekade 1950-an pun sudah mengenakannya. Ada juga Pong Tiku, pemimpin perlawanan rakyat Toraja melawan tentara kolonial Belanda pada awal abad ke-20.
Jika mengingat lebih jauh, Presiden Joko Widodo juga mengenakannya dalam kunjungan ke Kabupaten Tana Toraja pada Desember 2018. Begitu pula dengan Susilo Bambang Yudhoyono yang juga berkunjung ke destinasi wisata andalan Sulsel itu medio Februari 2014. Termasuk para pejabat pemerintah pusat lainnya.
Lantas seperti apa sih asal-usul sekaligus makna dua penutup kepala khas Sulsel ini? Berikut IDN Times coba merangkumnya dari beberapa sumber.
1. Passapu dan patonro ternyata dipengaruhi tradisi dari Sumatra
Ternyata, passapu (atau patonro untuk versi Makassar) bukan budaya asli Sulsel. Dalam artikel "Passapu Sa'dan Toraja" yang disusun Karta Jayadi - Dian Cahyadi (Prosiding Seminar Nasional LP2M UNM, 2019), ada pengaruh besar Sumatra dalam penggunaan destar tradisional tersebut.
Menurut banyak catatan, tradisi mengenakan penutup kepala sudah ada sejak Sriwijaya masih eksis, atau mulai abad ke-7. Selepas menakukkan Semenanjung Malaya pada era 1020-an, para pejabat kerajaan yang berpusat di Palembang itu turut mengenalkan pemakaian ikat kepala sebagai pelengkap busana kaum pria.
Usai agama Islam masuk ke Malaya pada abad ke-15, kain penutup kepala yang mereka sebut "tanjak" tersebut dikenakan para Sultan dari Kerajaan Melaka hingga Pahang. Aktivitas perdagangan turut membawanya ke sejumlah daerah lain di Nusantara. Sebutannya masing-masing pun berbeda satu sama lain, termasuk Sulawesi. Meski demikian, banyak yang menyebut asal-usul pengaruh Sumtara pada passapu/patonro lebih tua dari perkiraan banyak sejarawan.
Baca Juga: Mengenal Prosesi Pernikahan di Masyarakat Adat Bugis
Baca Juga: Jalloq, Amukan Spontan Pemulih Harga Diri Orang Bugis-Makassar