TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Masuknya Islam di Tanah Daeng: Ada Budaya yang Harus Tetap Dijaga

Strategi sinkretisme dipilih oleh Datuk Tellue

Warga melintas di area Masjid Tua Katangka, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Selasa (5/5/2020). ANTARA FOTO/Arnas Padda

Makassar, IDN Times - Ada hal menarik dalam proses pengislaman Kerajaan Luwu, kerajaan tertua di Sulawesi Selatan. Khatib Sulung atau Datuk ri Pattimang rupanya tak mengajarkan tauhid dengan konsep Islam yang ketat. Ia melakukan penyesuaian dengan ajaran monoteis menyembah Dewata SeuwaE yang konon dibawa oleh para Tomanurung (leluhur pertama orang Sulawesi), serta sudah menjadi kepercayaan turun temurun penduduk Luwu waktu itu.

Sistem kepercayaan kuno tersebut dikenal sebagai Tolotang. Tolotang sendiri berasal dari nama komunitas yang tinggal di sebelah selatan pasar Sidenreng kuno. Dalam buku Local Religion: To Wani To Lotang, Patuntung dan Aluk to Dolo di Sulawesi Selatan (2018), Andi Nirwana merinci bahwa komunitas Tolotang ini berasal dari panggilan Raja Sidenreng kepada mereka (hal. 8).

"Oliie renga to lotang pasae." (Panggilkan mereka yang berada di selatan pasar itu.)

1. Saat Islam masuk di Sulawesi Selatan, masyarakat masih memeluk kepercayaan tua yang disebut sebagai Tolotang

(Ilustrasi) Dok. Djarum Foundation

Kepercayaan kuno Tolotang pada dasarnya adalah sebuah agama monoteis alias hanya mengenal satu Tuhan. Namanya adalah Dewata SeuwaE, yang berarti Tuhan Yang Maha Esa. Gelarnya adalah PatotoE, atau memiliki makna Yang Menentukan Takdir.

Penamaan Dewata SeuwaE lebih dikaitkan kepada sifat-sifat ketuhanan, yakni tak berbentuk dan berjasad seperti makhluk biasa. Adapun SeuwaE menyatakan sifat esa, tunggal atau tak terbilang. Sifat-sifat lain Sang Penguasa Tertinggi dalam kepercayaan kuno tersebut antara lain Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Adil, Maha Pemberi dan seterusnya.

Dalam buku Agama dan Pembentukan Struktur Sosial: Pertautan Agama, Budaya, dan TradisI Sosial (Wahyuni, 2018), Tolotang mengenal lima dasar iman dalam kepercayaan ini yakni :

  • Percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa (Dewata SeuwaE)
  • Percaya adanya hari kiamat (Asolangeng lino)
  • Percaya adanya hari kemudian (Lino paimeng)
  • Percaya adanya yang menerima wahyu dari Dewata SeuwaE
  • Percaya kepada kitab-kitab suci (Lontara)

2. Datuk ri Pattimang melihat banyak kesamaan dari kepercayaan Bugis kuno dalam memandang Tuhan dengan konsep Islam

IDN Times/Achmad Hidayat Alsair

Alkisah pada tahun 1605, Datuk ri Pattimang bersama dua saudaranya saat itu (Datuk ri Tiro dan Datuk ri Bandang) melakukan observasi tentang budaya lokal penduduk Luwu. Setelah mendarat di pelabuhan Makassar, mereka langsung menuju utara tempat sebuah kerajaan kuno berdiri sejak sebelum abad ke-14. Tanah magis yang menjadi denyut kisah epos I La Galigo.

Mereka berkesimpulan bahwa tak perlu mengajarkan nilai-nilai ketuhanan yang esa menurut Islam dengan cara yang ketat. Mereka enggan menepikan faktor budaya, sesuatu yang sudah hidup di masyarakat Luwu secara turun temurun. Kemiripan konsep kepercayaan dengan Islam membuat mereka sepakat hanya melakukan penyesuaian. Ini adalah bukti bahwa Datuk Tellue mampu berkompromi dengan keadaan.

Baca Juga: Kiprah Tiga Datuk Minang Penyebar Islam di Sulawesi Selatan

3. Kepercayaan monoteistik milik masyarakat Bugis lama mempermudah Datuk ri Pattimang mengajarkan Islam

Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures

"Perpindahan agama Raja Luwu sebagian besar berasal dari kemampuan Datuk ri Pattimang untuk mentransmisikan ajaran teologis dogma Islam, berdasarkan pengalamannya mengenal tradisi satu Tuhan (Dewata SeuwaE) milik Bugis," tulis mendiang sejarawan asal Prancis, Christian Pelras, dalam bukunya yang mahsyur yakni The Bugis (hal. 136).

Pelras menyebut bahwa Datuk ri Pattimang memadukan ajaran Islam dengan mitos-mitos yang selama ini berkembang di masyarakat Luwu kuno. Ia mungkin saja membawa ide milik ulama Hamzah Fansuri, di mana doktrin Tauhid atau keesaan Tuhan dalam Islam dan kepercayaan kuno monoteis adalah dua jalan yang berbeda namun pada dasarnya memiliki satu tujuan yang sama.

4. Sinkretisme mempermudah Islam diterima oleh kalangan bangsawan dan keluarga Kerajaan Luwu

Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures

Pelras kemudian menjelaskan bahwa penyesuaian konsep Islam dengan Tolotang turut menyasar beberapa hal lain, salah satunya yakni perihal manusia pertama di muka bumi. Saat Islam mengenal Nabi Adam dan Hawa, Tolotang mengenal kaum Tomanurung yang diutus oleh Dewata SeuwaE untuk turun dari kahyangan ke Sulawesi untuk beranak pinak dan menciptakan peradaban di pulau tersebut.

Jalur sinkretisme, atau berpadunya dua agama/kepercayaan, yang dipilih oleh Datuk ri Pattimang rupanya ampuh. Inilah cara satu-satunya yang paling memungkinkan agar para bangsawan dan keluarga kerajaan untuk menerima Islam.

"Setelah penguasa Luwu masuk Islam, Datuk Tellue hanya butuh hitungan bulan untuk melakukan hal yang sama kepada bangsawan Gowa-Tallo. Tetapi perjuangan menyebarkan Islam akan berlangsung lebih lama dari yang diharapkan. Dan meskipun berjalan konsisten, beberapa wilayah di pedalaman masih menganut sistem kepercayaan lama," jelas Pelras.

Baca Juga: Saat Kerajaan Luwu Menerima Islam yang Dibawa Datuk Pattimang

Berita Terkini Lainnya