TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kisah Tragis Berakhirnya Kekuasaan Dua Raja Zalim di Tanah Bugis

Rakyat melawan sebab mereka gemar lakukan pelecehan seksual

(Ilustrasi) Dok. Djarum Foundation

Makassar, IDN Times - Sejarah adalah dua sisi mata koin yang berbeda. Kita akan disajikan cerita-cerita sifat kepahlawanan dan kebiadaban dalam satu kesempatan. Sejarah mengajarkan bahwa ada hitam dan putih saling berkecamuk, memberi ruang dalam relung ingatan.

Hal tersebut juga terjadi di Sulawesi Selatan. Catatan hitam perihal pemerintahan raja zalim tertulis abadi dalam lontara, sebagai bahan informasi dan pelajaran untuk anak cucu kelak.

Dalam bab pembuka buku Assikalabineng: Kitab Persetubuhan Bugis yang ditulis oleh Muhlis Hadrawi (Ininnawa, 2017), lontara menjelaskan bahwa beberapa raja di tanah Bugis telah memerintah sewenang-wenang. Salah satunya adalah memanfaatkan status elite untuk melakukan kejahatan seksual.

1. Kisah dua raja zalim jadi pembuka buku Assikalaibineng: Kitab Persetubuhan Bugis (Ininnawa: 2017)

IDN Times/Achmad Hidayat Alsair

Salah satunya yakni Raja Bone (Arumpone) VIII, La Inca Matinroe ri Addenenna (1584-1595). Raja La Inca disebut sebagai penguasa zalim lantaran memerkosa perempuan, bahkan yang telah bersuami.

A. Rahman Rahim dalam buku Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis (Penerbit Ombak, 2011) menuturkan bahwa Raja La Inca suatu waktu tertangkap basah sedang melakukan kejahatan seksual terhadap seorang perempuan bersuami. Saat diberi peringatan, ia malah hendak membunuh suami dari perempuan tersebut.

Raja La Inca hanya memerintah selama satu tahun (1564-1565). Dewan Adat Bone melucuti gelarnya sebagai Arumpone lantaran tindakan semena-mena yang semakin tak terkendali. Namun cerita tak berhenti sampai dengan pemakzulan.

Baca Juga: I La Galigo, Epos Asli Bugis dan Karya Sastra Terpanjang di Dunia

2. Rakyat Bone langsung menghukum La Inca Matinroe ri Addenenna yang sudah kelewat batas

Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures

Beberapa riwayat menyebut bahwa ia masih melakukan tindakan keji tersebut setelah tak lagi menjadi Raja Bone. Rakyat naik pitam, sementara kalangan bangsawan merasa La Inca sudah kelewat batas. Semua sepakat bahwa tak ada lagi ampun.

Bersama rakyat, dua bangsawan yakni Lalebbata dan Arung Majang menyeret La Inca ke tangga istana Bone. La Inca kemudian dibunuh dengan cara ditumbuk beramai-ramai, kemungkinan besar menggunakan alu.

Sementara itu di buku Sejarah Bone (Muhammad Sikki, Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1989), La Inca menemui ajal di tangan kakeknya sendiri yakni Arung Mattajang. Melihat La Inca duduk bersandar di tangga istana, setelah kelelahan mengamuk atas alasan sepele, Arung Mattajang menghunus badik ke tubuh cucunya. Sang kakek sadar bahwa La Inca banyak memberi penderitaan kepada rakyat, dan itu harus diakhiri.

Agaknya inilah alasan La Inca kemudian mendapat gelar Matinroe ri Addenenna, -yang mangkat di tangga istana-.

3. Kisah raja zalim juga terjadi di Belawa Timur, yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Wajo

Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures

Sementara itu, cerita yang sama juga terjadi di Wajo. Seorang raja Belawa Timur bernama La Maloroseng diberi gelar Puwatta Masuwangnge (tuan yang buas). Muhlis Hadrawi menerjemahkan langsung kisah zalimnya La Maloroseng dari Lontara Belawa koleksi Arsip Nasional.

Dalam lontara tersebut, La Maloroseng diceritakan meminta para bawahannya untuk mendirikan sebuah rumah di perbatasan kampung. Jika hari pasar tiba, ia akan mencegat perempuan-perempuan yang hendak berbelanja. Mereka dipaksa naik ke rumahnya dan melakukan hubungan seksual. Rumah jahanam tersebut dinamainya La Mate' (Si Gatal).

Orang Belawa pun mengadukan perbuatan La Maloroseng ke Raja Belawa Barat. Permintaan dari Raja Belawa Barat agar La Mate' segera dipindahkan akhirnya terkabul. Kendati demikian, La Maloroseng tak berhenti melakukan perbuatan kejinya.

Baca Juga: Silariang di Bugis-Makassar: Pilihan Nekat Pasangan Terbentur Restu

Berita Terkini Lainnya