I La Galigo, Epos Asli Bugis dan Karya Sastra Terpanjang di Dunia

Mencapai enam ribu lembar dan tiga ratus ribu baris

Makassar, IDN Times - Peninggalan sejarah suatu peradaban tak melulu berupa artefak atau reruntuhan bangunan dengan fungsi tertentu. Naskah epos, atau syair panjang perihal riwayat perjuangan seorang pahlawan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bisa menjadi tolak ukur, di mana kisah sarat nilai tuntunan tetap terawat hingga generasi selanjutnya.

Selain itu, keping demi keping kearifan masyarakat juga hidup dalam barisan kata-kata sastrawi yang berdiam dalam ratusan lembar kertas atau tutur kata.

Contohlah Gilgamesh, warisan literatur tertua dari peradaban Mesopotamia (2100 SM) atau Beowulf dalam bahasa Inggris Lama yang lahir pada sekitar tahun 700-1000 M. Ada pula Mahabharata --atau Bharatayudha dalam versi Majapahit-- dari India kuno yang bercerita kehidupan para dewa penghuni dunia langit. Epos yang lahir dari bahasa Sansekerta tersebut terdiri dari 200 ribu larik.

Menengok buku sejarah di sekolah, nama Negarakertagama acapkali tertera. Lontar atau kakawin karangan Mpu Prapanca pada tahun 1365 itu ditulis sebagai elegi mengenang Hayam Wuruk yang wafat, sekaligus gambaran rinci masa keemasan Kerajaan Majapahit. Nah, peradaban Bugis juga memiliki epos lain berlabel warisan Nusantara yaitu Sureq I La Galigo.

1. I La Galigo mengisahkan proses penciptaan peradaban Bugis di Sulawesi Selatan

I La Galigo, Epos Asli Bugis dan Karya Sastra Terpanjang di DuniaANTARA FOTO/Yusran Uccang

I La Galigo adalah rangkaian wiracarita perihal terciptanya peradaban Bugis. Meski sarat kisah-kisah ajaib di luar nalar, para sejarawan sepakat epos ini mengandung gambaran perihal kehidupan generasi awal masyarakat Bugis sebelum abad ke-14. Selain itu secara tak langsung, turut tersaji fragmen hubungan Kerajaan/Kedatuan Luwu, kerajaan tertua di Pulau Sulawesi, dengan wilayah sekitarnya.

Epos berbahasa Bugis Kuno tersebut dibuka dengan proses penciptaan dunia. Ditandai dengan turunnya anak sang dewata yakni La Toge' Iangi' --bergelar Batara Guru-- ke muka bumi yang masih kosong, tepatnya di tanah Luwu. Ia memerintah sebagai raja, sebelum mewariskan tahta ke anaknya, La Tiuleng, yang bergelar Batara Lattu'. Kisah kemudian berfokus pada kisah "cinta" anak kembar La Tiuleng yakni Sawerigading dan We Tenriabeng.

Mengetahui We Tenriabeng ternyata masih saudara kandung namun dibesarkan terpisah, Sawerigading pun merasa kecewa. Singkat cerita, ia berlayar hingga ke negeri Cina untuk mempersunting We Cudaiq, wanita yang disebut memiliki paras wajah sangat mirip dengan We Tenriabeng. Dari pernikahan itu lahirlah I La Galigo, lalu beranak-pinak melahirkan para raja Luwu dan bangsawan-bangsawan Sulawesi Selatan.

Baca Juga: 3 Jenis Gender Selain Pria dan Wanita yang Diakui Suku Bugis

2. Naskah ini memiliki banyak keistimewaan di mata sejumlah sejarawan

I La Galigo, Epos Asli Bugis dan Karya Sastra Terpanjang di DuniaLeiden University Libraries - Digital Collections

Menurut buku "Islamisasi Bugis: Kajian Sastra ata La Galigo Versi Bottina I La Dewata Sibawa I We Attaweq" (Yayasan Pustaka Obor: 2018, hal. 3) yang ditulis Andi Muhammad Akhmar, epos I La Galigo memiliki sejumlah keistimewaan. Pertama, isi ceritanya terdiri puluhan episode (tereng) jalan cerita bercabang dengan penulisan mengikuti aturan sastra ketat. Jumlah halamannya mencapai 6.000 lembar dan terdiri atas 300.000 baris, jauh lebih panjang dari Mahabharata.

Kedua, naskahnya terdiri dalam berbagai versi. Serpihannya pun bisa ditemukan di luar Sulawesi Selatan, seperti di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Kelantan, dan bahkan Trengganu yang notabene wilayah Malaysia. Selain itu, teks I La Galigo cukup banyak tersebar di berbagai perpustakaan negara-negara Eropa, yang termahsyur tentu saja koleksi milik Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) Leiden di Belanda. Beberapa bahkan menjadi koleksi pribadi warga masyarakat.

Ketiga, warisan budaya Bugis kuno dalam I La Galigo masih dipertahankan dalam kehidupan sehari-hari, atau dari sisi upacara. Contohnya ritual mappaliliq (upacara turun ke sawah) serta massureq atau maggaligo (membaca sembari melagukan syair I La Galigo) di Pangkajene, Sidenreng Rappang, Wajo, Soppeng, Barru, dan Luwu. Bahkan penganut kepercayaan lama Tolotang di Kabupaten Sidenreng Rappang, memosisikan epos tersebut sebagai kitab suci.

3. Status "Warisan Dunia" dari UNESCO untuk epos I La Galigo membuatnya wajib dilestarikan

I La Galigo, Epos Asli Bugis dan Karya Sastra Terpanjang di DuniaANTARA FOTO/Yusran Uccang

I La Galigo tergolong sastra yang keramat. Sejumlah catatan menulis harus diadakan ritual penyembelihan hewan --kambing atau sapi-- sebelum potongan naskahnya dibacakan. Pembacaannya pun tidak dalam hati, melainkan dinyanyikan oleh seorang passureq pada acara-acara seperti pernikahan, pindah rumah baru, tolak bala, atau sebelum turun ke sawah untuk menanam atau memanen. Cara melagukan Sureq Galigo disebut laoang atau selleang yang terdiri dari beberapa jenis (Sirtjo Koolhof: The "La Galigo"; A Bugis Encyclopedia and its growth, 1999).

Kini, versi aslinya dalam bahasa Bugis Kuno hanya dipahami kurang dari 100 orang. Sebagian besar di antaranya adalah Bissu, kaum pendeta dalam kepercayaan Tolotang yang memiliki sifat wanita dan pria seimbang dalam dirinya. Sharyn Graham, peneliti gender asal Australia dalam buku "Gender Diversity in Indonesia" (2010), menulis bahwa golongan Bissu dianggap sebagai "pakar" mumpuni Sureq Galigo hingga sekarang. Sementara Christian Pelras dalam "The Bugis" (1996) bahkan berpendapat epos tersebut adalah karya Bissu sendiri.

Jumlah penutur bahasa Bugis Kuno yang kian menipis seiring waktu membuat I La Galigo butuh perhatian. Sejumlah usaha penerjemahan ke bahasa Indonesia telah dilakukan sejak dekade 1990-an.

UNESCO telah memasukkannya dalam daftar Warisan Dunia pada 2011 sekaligus menjadi sastra terpanjang di dunia. Pihak KITLV bersama Universitas Leiden bahkan telah melakukan digitalisasi naskah koleksi mereka, NBG-Boeg 188, yang terdiri dari 12 bagian pada tahun 2017. Namun langkah paling fenomenal adalah adaptasi I La Galigo menjadi drama panggung oleh Robert Wilson, sutradara teater kawakan asal Amerika Serikat, pada tahun 2004. Ia mengajak serta Bissu Puang Matoa Saidi sebagai narator.

Baca Juga: Darah Bugis Mengalir pada 10 Artis Tenar Ini, Siapa Favorit Kamu?

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya