TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kisah Sultan Alauddin Membawa Gowa Melawan Monopoli VOC

Bandar Somba Opu saat itu bebas diakses siapa saja

Pemandangan Istana Balla Lompoa milik Kesultanan Gowa, Sulawesi Selatan, tahun 1937. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Makassar, IDN Times - Penguasa Kerajaan Gowa ke-14, I Mangerangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin (1593-1639), memiliki tempat istimewa dalam sejarah Sulawesi Selatan. Ia adalah Raja Gowa pertama yang mengucap dua kalimat syahadat, sekaligus salah satu figur toleransi. Tapi, sejarah mencatat bahwa Sultan Alauddin menjunjung tinggi pasar yang bebas tanpa monopoli.

Menurur Syahrir Kila dalam artikel "Perjuangan Sultan Alauddin Raja Gowa ke-12 (1593-1639)" (Jurnal Walasuji Vol. 7 No. 1), Sultan Alauddin adalah putra dari Raja Gowa ke-12 Karaeng Tunijalloq. Setelah sang ayah mangkat, ia diangkat menjadi raja pada usia masih 14 tahun.

Karena masih sangat muda, Raja Tallo Karaeng Matoaya ditugasi sebagai Tuma'bicara Butta, jabatan setingkat Perdana Menteri yang bertugas menjalankan roda pemerintahan Gowa-Tallo.

Baca Juga: Kisah Sultan Hasanuddin Usai Perjanjian Bongaya: Menolak Takluk ke VOC

1. VOC rupanya tak suka kebijakan Sultan Alauddin membuka bebas Pelabuhan Makassar

Plakat milik serikat dagang VOC dari abad ke-17 yang berada di Kota Hoorn, Belanda. (Wikimedia.org/Stephencdickson)

Perdagangan dunia mulai menggeliat di abad ke-17. Ribuan kapal-kapal dari Eropa bolak-balik ke Asia untuk mengangkut komoditas rempah-rempah. Sultan Alauddin kemudian menyulap Pelabuhan Somba Opu sebagai salah satu pusat perniagaan yang ramai dan pangkalan para pedagang. Ini tak lepas dari kebijakannya mengizinkan seluruh pedagang Eropa, tak peduli asal kerajaan dan warna bendera, untuk singgah.

Meski tanpa rempah-rempah, Gowa masih punya daya tarik yakni beras. Sejarawan Merle Calvin Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (Serambi, 2008) menjelaskan bahwa ratusan petak sawah yang mengelilingi ibu kota saat itu jadi salah satu sumber pemasukan kerajaan, sebab disewakan pada pedagang luar dengan sistem bagi hasil.

Status Somba Opu sebagai bandar yang bebas membuat Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) asal Belanda meradang. Di masa kekuasaan Sultan Alauddin, mereka sudah mulai memancang bendera di Maluku dan Jawa. Sehingga masuknya beberapa kompetitor, seperti East Indies Company (EIC) asal Inggris plus para pedagang asal Portugis dan Denmark, membuat rencana Kompeni terancam.

2. Sultan Alauddin menjunjung tinggi ekonomi tanpa monopoli

Pemandangan pusat Kesultanan Gowa-Tallo dan Benteng Somba Opu dari lepas pantai, dalam lukisan Johannes Vingboons yang dibuat tahun 1665. (Wikimedia Commons/Nationaal Archief)

Taktik mulai dijalankan VOC. Armada perang berbendera Belanda menyerang dan mengusir kapal dagang asal Gowa-Tallo yang sedang berlabuh di Ambon. Kompeni turut mengirim tuntutan ke Sultan Alauddin agar berhenti menjual beras ke Portugis di Malaka. Ia secara tegas menolak.

"Negeri saya terbuka untuk semua bangsa, dan tidak ada yang saya bedakan, baik untuk tuan maupun untuk bangsa Portugis," ujarnya, seperti dikutip dari buku Sejarah Gowa (Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1968) yang disusun Abdul Razak Daeng Patunru.

Tak puas, VOC kembali lakukan provokasi. Dalam buku Sejarah Gowa Pasca Perjanjian Bongaya (Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar, 2004), beberapa bangsawan Gowa diundang ke geladak kapal Enkhuyzen pada 1615. Tapi senjata mereka dilucuti. Terjadi perlawanan, dua bangsawan tewas dan yang lainnya jadi tawanan lalu dibawa ke Banten. Ini adalah balasan atas penolakan Sultan Alauddin memutus hubungan dagang dengan Portugis.

"Tuhan Yang Maha Kuasa telah menciptakan bumi dan lautan untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh manusia. Tidak pernah terdengar bahwa seseorang dilarang berlayar di laut dan jika Belanda melakukan larangan itu, itu berarti Belanda telah mengambil makanan di mulut orang lain," katanya saat menerima perwakilan VOC di Istana Somba Opu, setahun usai insiden di kapal Enkhuyzen.

Baca Juga: Kisah Harmonis Hubungan Gowa dan Portugis Selama 129 Tahun

Berita Terkini Lainnya