Kisah Pertemuan James Brooke Raja Sarawak dengan Penguasa Bone
James Brooke mengunjungi Sulawesi pada 1839 hingga 1840
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makassar, IDN Times - James Brooke punya tempat istimewa dalam sejarah Malaysia, khususnya daerah Serawak. Lahir pada 29 April 1803 di Bandel, Bengal barat (kini wilayah India), dari pasangan Thomas Brooke dan Anna Maria. Sang ayah berprofesi sebagai jaksa pengadilan banding di India, yamg dulu jadi koloni Kerajaan Inggris. Sementara ibunya merupakan keturunan bangsawan Skotlandia.
Menurut James Lawrence dalam buku The Rise and Fall of the British Empire (St. Martin's Griffin, 1997), mayoritas hidup James Brooke dihabiskan di tanah Asia. Mulai dari masa mengabdi untuk ketentaraan daerah Bengal, mencoba peruntungan sebagai pedagang di China dan Jepang, sebelum akhirnya membantu upaya Sultan Brunei ke-23 yakni Omar Ali Saifuddin II (1799-1852) menumpas bajak laut di wilayah kekuasaannya di tahun 1838.
Atas jasanya menjinakkan lanun, Brooke diberi daerah Sarawak untuk ia diperintah pada 24 September 1841. Lahirlah Kerajaan Sarawak, dengan Brooke diberi gelar "Raja Putih" (White Rajah) sesuai warna kulitnya.
Di tengah-tengan kecamuk konflik sekitar Brunei, ia rupanya pernah menyempatkan diri bertamu ke Kerajaan Bone. Diterima oleh Sultan Adam Najamuddin yang bernama asli La Mappaseling, Brooke berbincang tentang politik Eropa dengan Arumpone (Penguasa Bone) ke-26 itu.
1. Sebelum menjadi penguasa Sarawak, James Brooke sempat mengunjungi beberapa kerajaan di Sulawesi
Pada 20 November 1839, di tengah kesibukan memberantas bajak laut, Brooke bersama kapal Royalist yang dipimpinnya berlayar menuju Sulawesi. Sejak lama ia penasaran dengan pulau tersebut, lantaran membaca catatan dan kabar dari sesama pelaut tentang lanskap pesisirnya yang indah bukan main, termasuk lewat catatan Sir Thomas Stamford Raffles (penguasa Hindia-Belansa tahun 1811-1816). Berlayar dari Singapura, Brooke akhirnya melihat lepas pantai Bantaeng pada pertengahan Desember 1839, setelah tiga pekan berada di laut.
Sempat singgah di Bantaeng, ia menyusuri pesisir selatan menuju Bulukumba. Brooke dan rombongan, serta penerjemahnya yaknu Daeng Matara, mencapai Teluk Bone pada 6 Januari 1840. Korespondensi dengan La Mappaseling pun dibangun. Ia berniat bertamu, coba bertukar kata dengan sang penguasa.
Sembari menunggu jawaban dari Arumpone, Brooke banyak menggali informasi tentang sistem pemerintahan Kerajaan Bone. Ia memujinya dengan kata "progresif", sebab menaruh wewenang pada Dewan Adat (Ade' Pitue) yang memilih pemimpin negeri.
"Saya tertarik dengan perkembangan nan samar masyarakat Timur atas suara mereka, sebab mereka memilih monarkinya (raja, red.) sendiri, membatasi kewenangan pihak luar negeri, dan menaruh amanah pemerintahan kepada dewan berjumlah tujuh orang, sama seperti Venezia (sebuah negara kota di Eropa abad ke-19)," tulis Brooke dalam buku catatannya, seperti dikutip dari buku Narrative Of Events In Borneo And Celebes, Down To The Occupation Of Labuan (John Murray, 1848).
Baca Juga: Kisah Tragis Berakhirnya Kekuasaan Dua Raja Zalim di Tanah Bugis
Baca Juga: Tradisi Tarung Sarung, Cara Ekstrem Bugis Makassar Pulihkan Harga Diri