Tradisi Tarung Sarung, Cara Ekstrem Bugis Makassar Pulihkan Harga Diri

Tak lepas dari falsafah "Siri' na pacce" yang dipegang teguh

Makassar, IDN Times - Dalam khazanah budaya Bugis-Makassar, menjunjung tinggi kehormatan dan menjaga harga diri adalah hal yang mutlak dilakukan. Ini sudah masuk dalam falsafah "Siri' na pacce", sebuah slogan yang kerap didengungkan.

Leonard Y. Andaya dalam buku The Heritage of Arung Palakka (Springer, 1981) juga menyelipkan pembahasan panjang perihal konsep siri' (berarti "rasa malu") dan pesse (Bugis) atau pacce (Makassar), untuk mengajak pembaca memahami lebih dalam kultur dua kerajaan yang terlibat dalam Perang Makassar. Andaya menulis bahwa rasa malu dan harga diri bak satu paket yang tak terpisahkan.

Jika seseorang mendapat rasa malu (masiri') dari sebuah kejadian, ia diharap segera bertindak untuk memulihkan harga diri. Stigma masyarakat pada seseorang yang sudah tenggelam dalam siri' memang begitu besar. Bahkan, nyawa pun akan dikorbankan demi menghapus coreng-moreng pada martabat.

1. Tarung dalam sarung adalah opsi terakhir setelah musyawarah tak kunjung berhasil

Tradisi Tarung Sarung, Cara Ekstrem Bugis Makassar Pulihkan Harga DiriIlustrasi badik, senjata tradisional Bugis-Makassar. (Instagram.com/ogipusaka)

Selain jalloq (amuk), tradisi sigajang laleng lipa/sitobo lalang lipa' kerap ditempuh sebagai pemulih harga diri. Dua pria masuk ke sehelai sarung, dengan membawa sebilah badik yang siap terhunus. Mereka akan bertarung di dalam sarung tersebut dengan dua kemungkinan: sama-sama mati, atau sama-sama hidup. Sangat jarang ada salah satunya yang keluar dari sarung tanpa luka tusuk atau selamat setelah duel.

Ini sesuai dengan pepatah Bugis lama yakni :

"Narekko sirikku molejja-lejja, coppo'na mi kawalie ma'bicara."

(Terjemahan : Kalau rasa malu saya kau injak-injak, ujung badikku lah yang akan bertindak.)

"Pertarungan ini (pada umumnya bertujuan) mempertahankan dan mempertaruhkan harga diri serta kehormatan keluarga," ungkap budayawan Asmin Amin saat dihubungi IDN Times, hari Minggu lalu (26/9/2021).

Seperti diungkapkan Amin, masalah keluarga yang sudah kadung larut tak berujung membuat para lelaki perwakilan dua kubu harus menyelesaikan perkara ini untuk selamanya. Dikutip dari buku Mempertahankan Tradisi di Tengah Krisis Moralitas (IAIN Parepare Nusantara Press, 2020), saling tikam ini jadi cara terakhir yang ditempuh jika proses musyawarah mencari jalan tengah untuk masalah tidak kunjung didapat.

"Memilih mati berkalang tanah daripada hidup menanggung siri'. Bertarung adalah pilihan terakhir," lanjut Amin.

2. Tradisi yang tumbuh subur dalam masyarakat Bugis-Makassar demi mempertahankan harga diri

Tradisi Tarung Sarung, Cara Ekstrem Bugis Makassar Pulihkan Harga DiriIlustrasi pertarungan tradisional Bugis-Makassar bernama sigajang laleng lipa'/sitobo' lalang lipa' atau tarung dalam sarung. (Instagram.com/musa_rcm)

Meski banyak yang menyebut sigajang laleng lipa' sebagai tradisi yang tumbuh di masyarakat, ternyata tak ada catatan pasti perihal apakah kebiasaan ini juga tumbuh di kalangan pembesar kerajaan. Ini dikatakan langsung oleh sejarawan Universitas Negeri Makassar, Bahri.

"Saya belum menemukan (bukti tertulis di naskah lontaraq) apakah pernah terjadi sigajang laleng lipa' di sebuah kerajaan dalam menyelesaikan masalah," ungkapnya saat dihubungi pada Selasa kemarin (28/9/2021).

"Namun pada dasarnya, tradisi ini disinyalir ada di berbagai kerajaan Bugis dan Makassar. Karena hal ini bersumber dari siri' dan pacce," imbuhnya.

Kesepakatan sebelum kedua lelaki ini masuk sarung, pihak yang menghunus badiknya ke tubuh lawan takkan dikenai sanksi. Masalah mereka juga dinyatakan berakhir, apapun hasil dari duel tersebut.

Bagi Leonard Y. Andaya, persepsi masyarakat Bugis-Makassar untuk perkara mempertahankan siri' memaksa seseorang menempuh tindakan yang bagi orang selain Bugis-Makassar terlihat "tidak rasional, membabi buta, dan bahkan bunuh diri."

Baca Juga: 7 Kalimat untuk Menyatakan Cintamu  dalam Bahasa Bugis

3. Meski terdengar berbahaya, tetap ada nilai persaudaraan dan berserah diri pada Tuhan dalam tradisi ini

Tradisi Tarung Sarung, Cara Ekstrem Bugis Makassar Pulihkan Harga DiriSalah satu adegan dalam film "Tarung Sarung" (2020) karya sutradara Archie Hekagery. (Netflix.com)

Lantas kenapa harus berduel dalam sarung (lipa')? "Bagi masyarakat Bugis-Makassar, sarung adalah simbol persatuan dan kebersamaan," kata Bahri. Bahkan di situasi yang terdengar brutal pun, ada nilai-nilai persaudaraan yang tetap dijunjung tinggi.

Di sisi lain, Asmin Amin menyebut sigajang laleng lipa (Bugis) atau sitobo lalang lipa (Makassa) juga dipandang sebagai bentuk berserah diri pada Yang Maha Kuasa.

"Hidup mati itu ketentuan Tuhan. (Maka dalam) pertarungan itu, mereka memohon pada Allah agar menentukan segera tentang siapakah yang Allah pilih untuk mati atau tetap hidup," jelasnya.

Namun, seiring meresapnya nilai-nilai Islam di masyarakat sejak abad ke-17, praktik sigajang laleng lipa' ikut berkurang. Khair Khalis Syurkati, dalam makalah berjudul Memahami Konsep "Siri' Na Pesse" sebagai Identitas Orang Bugis Makassar menulis bahwa ajaran agama Islam membuat penebusan siri' dalam cara ekstrem mulai dipandang melampaui batas.

Kini, sigajang laleng lipa' lebih banyak dipentaskan dalam bentuk seni ketimbang duel berdarah. Salah satu bentuk ejawantahnya di budaya populer dilakukan sutradara Archie Hekagery, lewat film "Tarung Sarung" yang rilis akhir 2020 lalu.

Baca Juga: Jalloq, Amukan Spontan Pemulih Harga Diri Orang Bugis-Makassar

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya