TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kisah Fatimah, Perempuan Pejuang Putri Sultan Hasanudin

I Fatimah Daeng Takontu berjuang di Banten, jauh dari rumah

Kolase Berbagai Sumber

Makassar, IDN Times - Ada berapa perempuan terjun langsung ke medan tempur melawan VOC dan pemerintah kolonial Belanda? Sejarah mencatat cukup banyak.

Kamu mungkin pernah mendengarkan kisah Ada Malahayati asal Aceh, Martha Kristina Tiahahu (Maluku), atau Nyi Ageng Serang (Jawa Tengah). Lalu ada Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak Meutia yang bersama-sama mengobar Perang Aceh (1873-1904).

Sulawesi Selatan juga punya sejarah perempuan pejuang. Namanya I Fatimah Daeng Takontu, yang berasal dari lingkar dalam Kesultanan Gowa-Tallo.

Kalau kamu jarang mendengar namanya, itu wajar. Sebab I Fatimah berjuang jauh dari kampung halaman. Bersama Syekh Yusuf, dirinya ikut serta dalam Perang Saudara Banten (1682-1683) antara Sultan Ageng dan Sultan Haji yang dibekingi VOC .

Baca Juga: Biografi Sultan Hasanuddin, Raja Gowa Berjuluk Ayam Jantan dari Timur 

1. Perang Makassar mengiringi masa kanak-kanak Fatimah

Lukisan karya Romeyn de Hooghe tentang suasana sebuah pertempuran Perang Makassar (1666-1699) antara pasukan koalisi VOC-Bone-Buton pimpinan Laksamana Cornelis Speelman dan pasukan Kesultanan Gowa Tallo. (Wikimedia Commons/Koninklijke Bibliotheek)

Dalam terjemahan Lontaraq Bilang, The Makassar Annals (KITLV Press, 2015) yang disusun William Cummings, I Fatimah Daeng Takontu Karaeng Campagaya lahir pada 10 September 1659. Ia adalah putri perempuan Sultan Hasanuddin (I Mallombasi Daeng Mattawang), Raja Gowa ke-XVI, dari pernikahan dengan bangsawan Sanrobone (Takalar) yakni I Daeng Takele.

Menurut riwayat, Daeng Takontu adalah anak tunggal. Namun status perempuan tak menghalanginya mendapat ilmu bertempur. Sang ayah sering membawanya dalam sesi pelatihan prajurit. Tak sampai di situ, Daeng Takontu juga sudah mendapat pelatihan bela diri sejak masih kanak-kanak.

Saat usianya masuk tujuh tahun, Perang Makassar (1666-1669) antara Gowa-Tallo melawan VOC dan sekutunya pecah. Pertempuran sengit sejak pengujung Desember 1666, sempat diselingi dengan Perjanjian Bongaya yang diteken kedua pihak pada 18 November 1667. Namun, lantaran dianggap melucuti supremasi Gowa-Tallo, sebagian pihak tetap mengobar perang sampai tahun 1669.

2. Daeng Takontu ke Jawa setelah sang ayah, Sultan Hasanuddin, wafat

Lukisan wajah Pahlawan Nasional asal Sulawesi Selatan dan Sultan Gowa XVI, Sultan Hasanuddin, dalam prangko Indonesia terbitan tahun 2006. (Wikimedia Commons/WNSStamps.ch)

Menurut buku Profil, Sejarah, Budaya dan Pariwisata Gowa (Pemerintah Daerah Tk. II Gowa dan Yayasan Eksponen 1966, 1995), pro-kontra terjadi di dalam lingkungan istana. Penolakan datang dari putra Sultan Hasanuddin, I Manienrori Karaeng Galesong ke-5. Ia bersikukuh perjuangan melawan Kompeni harus berlanjut, meski dilakukan di tempat lain.

Sikap tersebut diamini oleh I Tanriawa ri Ujung Karaeng Bontomarannu (Tuma'bicara Butta Gowa-Tallo) dan Karaeng Karunrung (penasihat Kerajaan Gowa). Sultan Hasanuddin disebut enggan menghalangi keinginan ketiganya.

Keputusan diambil. Karaeng Galesong dan Karaeng Bontomarannu berangkat ke Jawa pada 1671. Sementara Karaeng Karunrung tetap melawan dengan sisa-sisa kekuatan, sampai Benteng Somba Opu jatuh pada 24 Juni 1669.

I Fatimah Daeng Takontu sempat menyatakan keinginan untuk ikut menyusul kakak dan kakeknya. Namun sang ibu melarang dan memintanya harus menunggu. Pada tahun 1671, di usia 12 tahun atau setahun setelah Sultan Hasanuddin wafat, Daeng Takontu menyusul ke tanah Banten.

Baca Juga: Sejarah Perubahan Nama Makassar ke Ujung Pandang yang Kontroversial

3. Di Perang Saudara Banten, Daeng Takontu membantu Syekh Yusuf melawan kubu VOC

Lukisan Syekh Yusuf Al-Makassari, figur ulama berpengaruh asal Gowa-Tallo dan pemimpin pasukan kubu Sultan Ageng Tirtayasa di Perang Saudara Banten (1682-1683), dalam prangko Afrika Selatan terbitan tahun 2011. (Universal Postal Union)

Daeng Takontu berangkat bersama Laskar Bainea, regu tempur Gowa yang semua prajuritnya adalah perempuan. Tujuan mereka adalah Banten, yang saat itu sedang bersitegang dengan VOC. Namun pada tahun 1675, Karaeng Bontomarannu, plus sejumlah bangsawan lain memilih minggat ke Jawa Timur untuk membantu pemberontakan Trunojoyo melawan Kompeni.

Daeng Takontu memilih tetap di Banten bersama, I Manienrori Karaeng Galesong, dan orang-orang Makassar yang sudah lama tinggal. Terlebih kehadirannya diterima dengan baik oleh Sultan Ageng dan Syekh Yusuf, mufti kelahiran Gowa yang mengabdi untuk Kesultanan Banten.

Singkat cerita, ketegangan Banten dan VOC pecah menjadi perang saudara pada tahun 1682. Syekh Yusuf, Karaeng Galesong dan prajurit Makassar berpihak pada Sultan Ageng. Daeng Takontu, juga turun langsung ke medan tempur memimpin regu Bainea. Di usia 23 tahun, ia memimpin salah satu regu dan ikut memimpin sejumlah misi penyerangan loji VOC.

Baca Juga: Kisah Kamp Tawanan Jepang di Sulsel  pada Perang Dunia II

Berita Terkini Lainnya