TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kala 200 Tawanan Jepang Kerja Paksa Membangun Bandara Mandai Makassar

Lapangan terbang Mandai cikal bakal Bandara Hasanuddin

Pesawat komersial milik maskapai Skyways International dan KLM di Lapangan Terbang Mandai, Maros, Sulawesi Selatan, pada 30 Desember 1948. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Makassar, IDN Times - Dikenal sebagai salah satu bandar udara dengan fasilitas modern, Bandara Sultan Hasanuddin Makassar ternyata memiliki cerita sarat sejarah. Kisah tersebut membentang dari masa Hindia-Belanda, hingga pendudukan Jepang alias Perang Dunia II.

Sama seperti bandara-bandara lainnya, ada peran pemerintah kolonial dalam cikal bakal Bandara Sultan Hasanuddin. Dibentuk pada 16 Juli 1928, Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM) dibentuk sebagai perusahaan maskapai yang melayani penerbangan ke sejumlah kota di Hindia-Belanda, Singapura, dan Australia.

Sebagai bentuk dukungan untuk angkatan udara dan transportasi sipil, pemerintah Hindia-Belanda mulai membangun sejumlah fasilitas penunjang sepanjang dekade 1930-an. Landasan pacu Bandara Kemayoran, bandara pertama di Hindia-Belanda dan Batavia, selesai pada 1934.

Baca Juga: Proyek Ambisius Berakhir Tragis: Riwayat Kereta Api Makassar-Takalar

1. Pembangunan Lapangan Terbang Mandai tak lepas dari upaya Hindia-Belanda meningkatkan transportasi udara

Peta yang menggambarkan rute seluruh penerbangan maskapai penerbangan Hindia-Belanda, KNILM, pada tahun 1940. (Repro. "KNILM Time-Table No. 7" terbitan 18 November 1940)

Setahun setelah landasan pacu Bandara Kemayoran rampung, pemerintah di Batavia ingin memperluas jangkauan transpotrasi udara. Jawa dan Sumatra sudah lebih dulu menikmatinya sejak tahun 1930. Pilihan pertama dijatuhkan pada Sulawesi. Pertimbangannya, jarak Makassar (kota terbesar) dan Surabaya tak begitu jauh.

Wilayah Mandai (Maros), yang terletak 22 kilometer utara pusat kota ditetapkan sebagai lokasi lapangan terbang. Pembangunan dimulai pada 1935, dan rampung dua tahun kemudian. Lapangan Terbang Kadieng (cikal bakal Bandara Hasanuddin) diresmikan pada 27 September 1937.

Makassar jadi awal dari rute ke wilayah timur Hindia-Belanda. Pada 1940, jangkauan rute KNILM sudah mencakup Palopo, Kolonedale (Morowali Utara, Sulawesi Tengah), Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Manado (KNILM Time-Table No. 7, 18 November 1940).

Sejumlah kota di Maluku dan Papua juga masuk dalam rute. Antara lain Ambon, Banda, Fak-Fak, Babo (Teluk Bintuni, Papua Barat) dan Manokwari.

Baca Juga: Kisah Kamp Tawanan Jepang di Sulsel  pada Perang Dunia II

2. Pada masa pendudukan Jepang, tawanan perang dikerahkan untuk proyek perluasan landasan pacu

Para petinggi militer KNIL-Belanda saat melepas salah satu pimpinannya dalam upacara di Lapangan Terbang Mandai, Maros, Sulawesi Selatan, pada 25 Maret 1946. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Saat Perang Dunia II pecah, Makassar dan seluruh Sulawesi dikuasai Jepang pada Februari 1942. Sejumlah fasilitas penting milik Hindia-Belanda pun jatuh ke tangan Dai Nippon, termasuk Lapangan Terbang Kadieng.

Di masa pendudukan Jepang, namanya diubah menjadi Lapangan Terbang Mandai, sesuai dengan wilayahnya berada. Sadar dengan makna pentingnya, proyek perluasan area dilakukan pada tahun yang sama. Tawanan perang dikerahkan untuk bekerja, tentu saja di bawah todongan senapan.

"Ketika militer Jepang sadar bahwa banyak kerumitan dalam mengangkut 200 tawanan tiap hari, mereka berpikir akan lebih mudah untuk membangun kamp di ujung landasan pacu, dan menahan orang-orang di sana secara permanen," demikian kesaksian Bill Francis, salah satu tawanan perang Jepang asal Inggris, dikutip dari COFEPOW.org.uk.

Menurut Bill, awalnya proyek ini hanya perbaikan jalan akses. Namun kemudian ditujukan untuk menambah panjang landasan pacu untuk pesawat tempur militer Jepang.

Baca Juga: Pesawat Keluar Landasan di Bandara Makassar, Garuda Minta Maaf

Berita Terkini Lainnya