TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Jalloq, Amukan Spontan Pemulih Harga Diri Orang Bugis-Makassar

Jalloq/ajjalloq erat kaitannya dengan pandangan atas siri'

Potret tiga laki-laki Makassar antara tahun 1910 hingga 1930. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Makassar, IDN Times - Dalam dinamika kehidupan masyarakat Bugis-Makassar, terdapat sebuah tindakan yang disebut Jalloq atau Ajjalloq. Artinya berarti "amuk" atau "majalloq" dalam bentuk kata kerja. Jika dibahasakan secara sederhana, jalloq selalu dihubungkan dengan kekerasan. Namun dari pandangan tradisional, sejatinya lebih daripada itu: amukan pemulih harga diri.

"Peristiwa ini (jalloq/ajjalloq) timbul karena siri' dan passe atau harga diri," ujar sejarawan Universitas Negeri Makassar (UNM) Basri pada IDN Times, Selasa (16/2/2021).

Untuk memahaminya, mari membaca salah satu petikan falsafah hidup masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Sulawesi Barat (Sulbar) :

Siri'ji nanimmantang attalasa' ri linoa, punna tenamo siri'nu matemako kaniakkangngami angga'na olo-oloka.

Hanya karena rasa malu kita bisa hidup di dunia ini. Kalau rasa malu itu sudah hilang maka lebih baik mati karena engkau tak berarti lagi sama sekali, bahkan binatang lebih berharga dibanding dirimu.

1. Jalloq /ajjalloq berasal dari persepsi masyarakat Bugis-Makassar dalam menegakkan harga diri

Lukisan tentang kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan pada abad ke-16. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Sejarawan Leonard Y. Andaya dalam buku The Heritage of Arung Palakka (Springer, 1981) turut membahas konsep siri' dan pesse (Bugis) atau pacce (Makassar). Menurutnya, siri' adalah konsep yang mencakup gagasan harga diri dan rasa malu.

"Tidak ada kontradiksi dalam istilah-istilah tersebut, karena rasa malu menyiratkan konsepsi oleh individu tentang harga dirinya sendiri, yang darinya muncul martabatnya," tulis Andaya (hal. 15).

Jika sebuah peristiwa membuat seseorang malu (masiri'), maka ia diharapkan segera mengambil tindakan untuk memulihkan harga diri yang telah tercemar. Stigma yang melekat pada seseorang tanpa siri' begitu besar. Sampai-sampai nyawa pun akan dikorbankan demi menghilangkan rasa malu. Bahkan ada pepatah Bugis - Makassar yang mengatakan lebih baik mati sebab mempertahankan siri' (mate ri siri'na) ketimbang hidup tanpa siri' sama sekali (mate siri').

"Persepsi dan stigma masyarakat Bugis-Makassar sebagai tanggapan secara langsung bagi orang yang dijadikan siri' memaksa individu melakukan tindakan yang bagi orang luar tampak tidak rasional, membabi buta, dan bahkan bunuh diri," lanjut Andaya.

Baca Juga: Mengenal Emmy Saelan, Perawat Paling Revolusioner di Palagan Gerilya

2. Sejarah di Sulawesi Selatan banyak mencatat riwayat amuk karena masalah sepele

instagram.com/ogipusaka

Sejarawan Amrullah Amir dalam tesisnya, "Penguasa Kolonial, Bangsawan dan Orang-orang Makassar: Perubahaan Sosial dan Budaya politik di Gowa 1906-1942", menceritakan ulang pengalaman seorang kontrolir Belanda yang bertugas di Watampone, ibu kota Kerajaan Bone, terkait insiden menyangkut jalloq.

Herman Jan Friedricy (1900-1962), nama si kontrolir, kaget bukan main saat mengunjungi rumah sakit di Watampone pada 22 Juli 1922. Ia melihat seorang pria terbaring lemah dengan balutan perban di sekujur tubuhnya. Selain itu, beberapa orang juga sedang dirawat dalam ruang bangsal.

Terheran-heran, Friedricy bertanya apa penyebab dari hal ini. Salah satu keluarga pasien menjawab ini adalah hasil amukan seorang pria yang buang angin di acara pesta pernikahan dan tak kuasa menahan malu. Ia sontak tercengang.

Dalam catatannya, Friedricy menulis bahwa kejadian jalloq ini terjadi di kampung Ujung Lamuru. Sebuah pesta pernikahan yang digelar pada malam hari telah usai dan para tamu sedang bersiap-siap untuk pulang. Tiba-tiba seorang tamu buang angin dengan suara yang keras. Para tamu kemudian tertawa mendengar suaranya.

Namun, sang tamu yang kentut merasa malu. Dalam keadaan minim penerangan, ia melakukan amuk secara membabi-buta dengan badik. Delapan orang meninggal dunia, ada juga yang luka berat.

Baca Juga: Memotret Sunyi Bissu Bugis di Sulawesi Selatan

3. Seperti namanya, jalloq /ajjalloq membuat seseorang gelap mata dan membabi buta

Ilustrasi pertarungan, perkelahian. (Unsplash.com/Clay Banks)

Jalloq juga jadi salah satu topik dalam publikasi seminar "Masalah Siri' di Sulawesi Selatan" yang diadakan pada 13 Juli 1977 oleh tim peneliti Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Beberapa bulan sebelum seminar, tim peneliti mendengar sebuah kejadian di Soppeng. Sama seperti kejadian sebelumnya, seorang lelaki tak sengaja buang angin di tengah kerumunan. Lantaran rasa malu, ia mengeluarkan keris dan langsung menghunusnya. Ini adalah gestur kemarahan.

Tak ada yang berani menatap si pria penghunus keris, meski mungkin banyak dari mereka yang tak mendengar suara buang angin. Tiba di rumah, rasa malunya belum hilang. Alhasil ia meminta sang istri mengoleskan lada di duburnya sebanyak mungkin.

Seperti yang diterangkan Andaya sebelumnya, amuk/jalloq seolah jadi satu-satunya cara untuk masalah sosial dan adat jika menyangkut harga diri. Nyawa diri sendiri dan orang lain bisa melayang karena ini.

4. Salah satu dari ekspresi jalloq/ajjalloq adalah tarung dalam sarung (sigajang laleng lipa)

Ilustrasi pertarungan tradisional Bugis-Makassar bernama Sigajang Laleng Lipa'/Sitobo' Lalang Lipa'atau tarung dalam sarung. (Dok. Istimewa - Facebook.com/Renaldhy)

Namun, jalloq sebagai ekspresi pemulihan harga diri juga tak melulu tentang amukan membabi buta pada orang sekitar. Masyarakat Bugis-Makassar punya cara lain yang lebih privat.

"Di zaman klasik atau feodal, bentuk dari ajjallo karena siri' adalah sigajang ri laleng lipa alias saling tikam dalam satu sarung yang sama," lanjut Bahri. Biasanya cara tersebut di tempuh jika masalah terjadi antara dua orang namun belum mencapai titik temu, meski sudah berusaha didamaikan. 

Bahri menjelaskan bahwa ajjallo' juga terjadi karena silariang atau kedua calon mempelai yang tak mendapat restu sepakat kabur bersama-sama. Saudara ataupun orangtua dari si pengantin pun mengamuk kemudian menganiaya si calon pengantin hingga meninggal dunia.

Mendiang Mattulada dalam buku Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan (Hasanuddin University Press, 1998) menyebut orang Bugis-Makassar hidup dalam sistem norma dan aturan adatnya yang dianggap luhur dan keramat. Sistem tersebut dinamakan "pangngadereng".

Baca Juga: Mantra Cenning Rara, Ilmu Pemikat Hati Warisan Leluhur Bugis Makassar

Berita Terkini Lainnya