Memotret Sunyi Bissu Bugis di Sulawesi Selatan

Rentetan perlakuan diskriminatif dirasakan kelompok bissu

Makassar, IDN Times - “Bissu adalah calabai, tapi tidak semua calabai adalah bissu.”

Begitulah Bissu Eka memulai percakapan dengan kami di sore hari menjelang magrib, Kamis, 22 Juli 2020. Ia adalah satu dari tidak banyak bissu yang masih hidup dan bertahan hingga hari ini. Bissu Eka bermukim di Segeri, Kabupaten Pangkep, sekitar 2 jam dari Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Lewat kalimat pembuka itu, Bissu Eka ingin menegaskan bahwa hal pertama yang perlu
diluruskan dalam pandangan tentang bissu adalah posisinya dalam narasi gender di masyarakat Bugis. Bissu Eka mengisahkan bahwa bissu lahir dari proses panjang yang sakral. “Untuk diangkat menjadi bissu, ada yang namanya makkanre guru (belajar),” katanya.

Proses belajar yang lama ini bahkan tidak menjamin orang yang sudah melaluinya, menjadi pasti akan dinobatkan sebagai bissu. “Bissu itu harus suci. Dari segi perbuatan, perkataan, dan sebagainya,” tegas Bissu Eka.

Makkanre guru akan terus berlangsung, hingga calon bissu mendapat isyarat lewat mimpi bahwa dirinya adalah generasi bissu berikutnya. Tidak hanya itu, bissu-bissu lainnya juga akan mendapat tanda lewat mimpi bahwa akan ada lagi generasi bissu yang akan dinobatkan oleh mereka. Namun sebelum dinobatkan, ada proses panre lise’ yang perlu dilakukan. Panre lise’ dimaknai oleh Bissu Eka sebagai proses transfer ilmu tentang tradisi Bugis kuno pada calon bissu.

Dalam tradisi Bugis kuno, bissu dikonstruksi sebagai gender kelima, penyempurna gender yang ada. Umumnya, gender yang dikenal adalah perempuan (makkunrai), laki-laki (uroane), dan perempuan berpenampilan laki-laki (calalai), serta laki-laki berpenampilan perempuan (calabai). Namun, Bissu Eka membincangkan tentang bissu lebih dari hanya sekadar persoalan gender semata.

Dulunya, bissu adalah orang kepercayaan raja. Para bissu yang tinggal di lingkungan kerajaan adalah orang yang didengar pendapatnya oleh raja, terutama dalam hal pengambilan keputusan. Kisah para bissu juga tertulis di dalam epos I La Galigo, epos terpanjang di dunia yang berasal dari Sulawesi Selatan. Jika melihat dalam kacamata gender, bissu umumnya adalah calabai. Namun, meski jumlahnya sedikit, bissu juga ada yang calalai. Hanya saja, Bissu Eka telah menegaskan sejak awal bahwa bissu lebih dari hanya persoalan gender.

Meski jumlah dan persebarannya semakin berkurang, namun keberadaan Bissu Eka dan bissu lain yang masih tersebar di beberapa daerah tetap penting dibincangkan dalam narasi sejarah kultural dan teologi masyarakat Bugis. Selain Pangkep, para bissu masih tersebar di daerah lain, seperti Soppeng, Bone, dan Wajo.

Di Pangkep, Bissu Eka memang cukup populer di kalangan bissu dan juga masyarakat umum yang ingin datang mencari tahu tentang bissu. Bissu Eka terbuka dengan siapa saja yang datang.

1. Panggilan jiwa Bissu Eka

Memotret Sunyi Bissu Bugis di Sulawesi SelatanBissu Eka di Segeri, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. IDN Times/Indra Abriyanto/bt

Tidak hanya dengan orang dari jauh, Bissu Eka juga sering kali dikunjungi oleh para tetangganya. Pengetahuan dan pengalamannya sebagai seorang bissu memperkaya narasi yang ia bagi pada setiap orang yang datang menemuinya, termasuk kami.

Bissu Eka dinobatkan menjadi bissu di awal tahun 2000an. Namun diakuinya, bahwa panggilan jiwa sebagai tanda-tanda untuk menjadi bissu telah diterimanya jauh sebelum itu. “Tapi kan memang, keluarga-keluargaku banyak yang tidak terima. Karena Saya terlahir sebagai laki-laki tapi kemudian jadi calabai,” tutur Bissu Eka.

Hal lain yang membuat keputusan untuk menjadi bissu tidak diterima oleh keluarga Bissu Eka adalah alasan keyakinan keagamaan yang diyakini oleh keluarganya. Ketidakterimaan keluarga yang membuat Bissu Eka memutuskan untuk merantau, meninggalkan tanah Sulawesi menuju Kalimantan. “Saya bilang, saya tidak akan kembali sebelum sukses,” ingatnya.

“Saya percaya, saya tidak menyalahi kodrat. Justru saya menjalani kodrat,” ungkap Bissu Eka tegas. “Dorongan jiwa itu tidak bisa bohong,” sambungnya.

Saat ini, Bissu Eka telah kembali ke Segeri dan diterima oleh keluarganya. Seandainya tidak sedang pandemik seperti hari ini, Bissu Eka seharusnya sudah berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Namun sayang, niatnya harus tertunda.

Sehari-hari, Bissu Eka menggeluti usaha menyediakan jasa riasan pengantin. Ia pun termasuk sukses. “Saya sudah mempekerjakan banyak orang di sini,” ungkapnya. Baginya, merias pengantin bukan sekadar membubuhkan riasan. Peran bissu sebagai indo’ botting (inang pengantin) tidak bisa direduksi dengan hanya sebagai perias.

Salah satu yang dijaga adalah cenning rara (pemikat) pada calon pengantin yang diriasnya. Cenning rara diyakini sebagai doa dan pengharapan agar siapapun yang melihat sang pengantin dapat terkesima, serta melihatnya dengan kebaikan.

“Saya senang, saya telah diterima oleh masyarakat. Meskipun yang dilihat bukan kebissuan saya. Tapi saya senang dihargai sebagai manusia” tuturnya sambil tersenyum lebar.

Memotret Sunyi Bissu Bugis di Sulawesi SelatanBissu Eka di Segeri, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. IDN Times/Indra Abriyanto/bt

2. Bertemu Puang Matoa Acce

Memotret Sunyi Bissu Bugis di Sulawesi SelatanPuang Matoa Acce di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. IDN Times/Indra Abriyanto/bt

Dari Segeri kami menuju Soppeng. Hujan membasahi tanah Soppeng saat kami datang menemui Puang Matoa Acce, Jumat, 23 Juli 2020. Puang Matoa Acce (Bissu Acce) adalah satu dari sedikit bissu yang masih hidup di Soppeng, daerah yang berjarak sekitar 4 jam dari Kota Makassar.

Dalam balutan baju berwarna kuning, Bissu Acce menyambut kami di bola ridie (rumah
kuning). Di rumah kuning, Bissu Acce tinggal sejak 20 tahun silam. Ia pula yang menjaga benda-benda pusaka peninggalan kerajaan Soppeng yang memang diletakkan di rumah kuning ini.

Benda-benda pusaka ini juga mengisahkan sejarah kehidupan kerajaan Soppeng kala itu.
Olehnya, tidak heran, jika ada banyak orang yang berdatangan ke rumah kuning hanya untuk sekadar “berwisata” sejarah melalui benda pusaka ataupun lewat cerita-cerita hangat Bissu Acce. Namun, pandemik membuat Bissu Acce juga sangat berhati-hati untuk menerima tamu saat ini.

Meski mendiami rumah kuning yang bernilai sejarah, sayangnya tidak begitu banyak bantuan dari pemerintah yang bisa diandalkan oleh Bissu Acce. Ia sering kali hanya berharap bantuan pada orang-orang yang datang padanya untuk sekadar berbincang, ataupun mencari tahu lebih lanjut tentang bissu.

Namun, menemui Bissu Acce, serupa bertemu pengharapan-pengharapan baik. Saat bersama kami, Bissu Acce duduk di hadapan perbekalan yang diberikan oleh para tamu kepadanya. Semua barang yang dibawa oleh tamu akan diletakkan di dalam bakul yang kemudian didoakan oleh Bissu Acce.

“Saya juga berdoa semoga yang datang ke rumah ini berhasil. Kemudian dia kembali lagi ke sini,” harapnya.

Sayangnya di tahun 2017, Soppeng, tempatnya bermukim, meninggalkan ingatan pahit untuk para bissu, termasuk Bissu Acce. Saat itu, Bissu Acce menyaksikan kegiatan Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) Waria dan Bissu dibubarkan oleh kelompok intoleran.

Tiga tahun berselang, bagi Bissu Acce, peristiwa pembubaran itu tidaklah mengurangi eksistensi kebissuannya. Menurutnya, tuduhan-tuduhan, seperti musyrik yang seringkali dialamatkan pada bissu itu tidaklah benar. “Tidak ada istilah mappa’dua (menduakan). Tidak ada yang kami sembah selain Allah,” tegasnya.

Memotret Sunyi Bissu Bugis di Sulawesi SelatanPuang Matoa Acce di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. IDN Times/Indra Abriyanto/bt

Baca Juga: 3 Jenis Gender Selain Pria dan Wanita yang Diakui Suku Bugis

3. Tantangan bissu hari ini

Memotret Sunyi Bissu Bugis di Sulawesi SelatanDr. Halilintar Latief, peneliti Bissu di Sulawesi Selatan. IDN Times/Irwan Idris

Perlakuan yang diterima dan disaksikan Bissu Eka dan Bissu Acce hanya sedikit dari beragam tindakan diskriminatif, bahkan represif terhadap bissu di berbagai daerah. Penyebabnya karena bissu dipandang tidak lebih dari seorang waria (calabai), hal yang telah diluruskan oleh Bissu Eka sejak pertama kami berbincang.

Budayawan Dr. Halilintar Latief, yang juga akademisi Universitas Negeri Makassar,
mengonfirmasi bahwa tindakan intoleran masyarakat terhadap bissu hari ini semakin menambah panjang rentetan sejarah represi yang dialami oleh mereka sejak dulu kala.

Di Sulawesi Selatan, ada beberapa operasi militer yang berpengaruh pada eksistensi kelompok masyarakat tertentu di era awal kemerdekaan, seperti masyarakat adat, penganut agama lokal, begitupun dengan bissu. Operasi militer ini di antaranya adalah Operasi Toba’ (taubat) dan Operasi Mappakainge.

Operasi Toba’ yang digencarkan oleh pasukan DI/TII kala itu benar-benar memburu dan bahkan tidak ragu untuk membunuh para waria, juga para bissu. Tidak hanya itu, gerakan mereka pun meluas menyasar orang-orang yang cara pandang dan tindakannya dianggap berseberangan dengan Islam. Sedangkan, Operasi Mappakainge itu sendiri memang tidak terjadi secara luas di Sulawesi Selatan, melainkan lebih banyak memburu penganut agama lokal, seperti Towani Tolotang.

Selain mengalami represi dalam beberapa fase operasi militer, bissu juga sangat terdampak atas berbagai kebijakan pertanahan di masa Soekarno. Dalam paket UU Landreform misalnya, memaksa tanah-tanah kerajaan dialihkan menjadi hak milik negara. Hal ini juga adalah tindak lanjut dari diserahkannya kedaulatan kerajaan ke pangkuan NKRI.

Persoalannya, tanah merupakan bagian penting dalam kosmologi para bissu. Tanah tidak hanya dijadikan sebagai tempat tinggal, juga lahan perekonomian, melainkan juga sebagai medium penting dalam pelestarian praktik kebudayaan yang diyakini bissu.

Imbas dari regulasi pertanahan di era Soekarno adalah galung arrajang (sawah pusaka) yang merupakan tempat bissu beraktivitas pun banyak yang diambil oleh negara. Akhirnya, mengambil tanah dari bissu, juga berarti mengambil entitas penting dalam eksistensi bissu.

Namun meski bissu terbiasa mengalami represi, Halilintar yang telah mulai mendalami bissu sejak tahun 70an, menekankan bahwa eksistensi bissu hari ini tidak pula lepas dari pertolongan masyarakat kala itu. “Bissu masih ada sampai sekarang, karena pada saat dia dibunuh dan dilarang, masih ada orang Bugis yang menyembunyikan, yang merawat dan mengundang mereka secara diam-diam untuk upacara. Tapi memang tidak terekspos,” ungkapnya.

Sayangnya, saat krisis toleransi terjadi seperti hari ini, Halilintar tidak menaruh banyak harapan pada pemerintah. Menurutnya, upaya pemerintah dalam menyikapi keberadaan bissu hari ini tidak dilandasi dengan prinsip keberlanjutan bissu secara substansial. Pemerintah dinilai hanya berfokus pada pengembangan ekonomi dan pariwisata.

Hasilnya, hari ini bissu sering kali direduksi hanya sebagai objek kebudayaan dan bukan sebagai subjek dengan entitas yang utuh. Perilaku semacam ini, sedikit banyak memengaruhi cara bissu menempatkan dirinya dalam mengekspresikan produk pengetahuan kebudayaan yang ia yakini di hadapan publik.

 

*) Penerima Fellowship Peliputan dari Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK), dengan tema: Meliput Isu Kebebasan Beragama dan Berekspresi di Sulteng.

Baca Juga: Manis Getir Hidup Bissu, Garda Terdepan Penjaga Budaya Bugis Kuno

Topik:

  • Irwan Idris
  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya