TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

[FOTO] Menengok Eksistensi Kesultanan Gowa di Separuh Awal Abad ke-20

Sekeping cerita dari 700 tahun Kabupaten Gowa

I Mangimangi Karaeng Bontonompo, Raja Gowa ke-35, menyatakan kesetiaan kepada Hindia-Belanda di hadapan Gubernur Sulawesi G.A. Bosselaar pada tahun 1936. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Makassar, IDN Times - Menginjak usia 700 tahun, riwayat Kabupaten Gowa tentu saja tak lepas dari nama kerajaan maritim masyhur yang mereka warisi. Jejak-jejaknya pun masih bisa disaksikan hingga hari ini. Mulai dari Benteng Somba Opu, Istana Balla Lompoa dan Masjid Tua Katangka.

Sebagai cara merawat ingatan, IDN Times mengajak pembaca menengok kembali foto-foto lama Kesultanan Gowa dari dekade 1900-an hingga 1940-an. Ada bangunan sarat sejarah, hingga figur-figur berpengaruh dengan sumbangsih besar bagi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.

1. Pemandangan kompleks makam raja-raja Gowa dan keturunannya, antara tahun 1900 hingga 1920

Pemandangan kompleks pemakaman raja-raja Gowa, Sulawesi Selatan, antara tahun 1900 hingga 1920. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Kompleks persemayaman terakhir para penguasa Gowa dan keturunannya tampak begitu terawat meski tanpa pembatas. Seluruh makam bersejarah di dekat Masjid Tua Katangka tersebut telah beberapa kali dipugar, yang terbaru yakni pada tahun 2015 lalu.

Sementara itu kompleks pemakaman Raja Gowa ke-16, I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape --atau dikenal sebagai Sultan Hasanuddin-- berada sekitar 300 meter ke selatan.

2. Pemandangan Masjid Tua Katangka pada dekade 1920-an

Pemandangan Masjid Tua Katangka di Gowa, Sulawesi Selatan, pada dekade 1920-an. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Tak jauh dari kompleks makam keturunan raja Gowa, berdiri Masjid Tua Al-Hilal Katangka. Cagar sejarah yang didirikan pada tahun 1604 --masa pemerintahan Raja Gowa ke-14, Sultan Alauddin-- ini menjadi saksi bisu penyebaran Islam di Sulawesi Selatan.

Masjid Tua Al-Hilal Katangka masih berdiri hingga sekarang, termasuk bangunan utama yang menjadi tempat ibadah. Namun sejumlah fiturnya kini sudah menghilang. Seperti menara dan selasar tepat di depan gerbang masuk.

3. Pemandangan Istana Balla Lompoa milik Kesultanan Gowa antara tahun 1870 hingga 1892

Pemandangan Istana Balla Lompoa milik Kesultanan Gowa, Sulawesi Selatan, tahun 1937. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Riwayat Istana Balla Lompoa, sebagai kediaman Raja Gowa, baru dimulai pada 1936. Raja Gowa ke-35, I Mangimangi Daeng Mattutu Karaeng Bontonompo --bergelar Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin-- sebagai bentuk "pelanggaran" terhadap salah satu pasal Perjanjian Bongaya yang diteken Gowa dan VOC tahun 1667.

Pasal tersebut adalah larangan kepada Raja Gowa mendirikan bangunan tanpa seizin Kompeni. Kini, Kompleks Istana Balla Lompoa beralih fungsi menjadi museum yang menyimpan peninggalan dan pusaka Kerajaan Gowa.

Baca Juga: Karaeng Pattingalloang: Poliglot dan Pencinta Sains Asal Gowa-Tallo

4. Bangunan tempat Raja Gowa melaksanakan tugas pemerintahan sehari-hari

Salah satu bangunan di kompleks Istana Balla Lompoa, Gowa, Sulawesi Selatan, tahun 1937. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Tak jauh dari Istana Balla Lompoa, berdiri sebuah bangunan bergaya gabungan tradisional dan Eropa. Di gedung tersebut, Raja Gowa menjalankan tugas pemerintahan sehari-hari. Mulai dari urusan kerajaan, menerima tamu hingga berurusan dengan utusan administrasi Hindia-Belanda.

Keberadaannya sudah raib, kemungkinan besar sudah diruntuhkan atau hancur akibat usia.

5. Kediaman dan kantor pejabat sipil utusan Hindia-Belanda di Gowa, antara tahun 1910 hingga 1940

Kediaman pejabat sipil Hindia-Belanda di Sungguminasa, Gowa, Sulawesi Selatan, antara tahun 1910 hingga 1940. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Dalam hierarki pemerintahan Hindia-Belanda, dikenal sebuah jabatan bernama civiel gezaghebber yang kurang lebih setingkat dengan utusan pemerintah pusat. Mereka bertugas sebagai penghubung antara penguasa wilayahnya bekerja dengan administrasi di Batavia.

Mereka pula yang mengawasi penerapan kebijakan sipil di tempatnya bekerja. Menurut buku catatan Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie 1814-1914 (Landdrukkerij, 1914), ada dua civiel gezaghabber yang bertugas di Gowa pada awal 1900-an. Mereka adalah H. van der Wal dan S. van den Brink.

Foto di atas adalah kediaman sekaligus kantor mereka. Meski keterangan foto menyebut bangunan ini ada di Sungguminasa, tidak diketahui lokasi persisnya. Kemungkinan besar telah diruntuhkan.

6. Kapten J. van Hecht Muntingh Napjus (duduk paling tengah) di antara para Kepala Wilayah (Karaeng) dan Dewan Adat Gowa, sekitar tahun 1936

Kapten J. van Hecht Muntingh Napjus (duduk paling tengah) di antara para Kepala Wilayah (Karaeng) dan Dewan Adat Gowa, Sulawesi Selatan, sekitar tahun 1936. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Di sini, terlihat salah satu pejabat Hindia-Belanda yakni Kapten J. van Hecht Muntingh Napjus sedang berpose bersama para Karaeng dan anggota Dewan Adat (Bate Salapang) Kesultanan Gowa saat berkunjung ke Istana Balla Lompoa.

Karaeng adalah salah satu gelar kebangsawanan di Sulawesi Selatan. Jika diikuti dengan nama daerah, seperti Bontonompo (Karaeng Bontonompo) atau Galesong (Karaeng Galesong), maka ia adalah pemimpin atau bangsawan di wilayah tersebut.

Baca Juga: Biografi Sultan Hasanuddin, Raja Gowa Berjuluk Ayam Jantan dari Timur 

7. I Mangimangi Daeng Mattutu Karaeng Bontonompo, Raja Gowa ke-35, menyambut kedatangan Gubernur Sulawesi G.A. Bosselaar pada tahun 1936

I Mangimangi Karaeng Bontonompo, Raja Gowa ke-35, bersama para pengikutnya dan beberapa pejabat, menyambut kedatangan Gubernur Sulawesi yakni G.A Bosselaar pada tahun 1936. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Raja Gowa ke-35, I Mangimangi Daeng Mattutu Karaeng Bontonompo, memerintah dari tahun 1936 hingga 1946. Perintah pendirian Istana Balla Lompoa diterbitkan pada masa pemerintahannya.

Lebih jauh, dia turut mendukung Deklarasi Jongaya 15 Oktober 1945, di mana raja-raja dan bangsawan seluruh Sulsel menyatakan sumpah setia kepada Republik Indonesia, dengan mengutus putranya yakni Andi Idjo Karaeng Lalolang.

Sementara itu, berdiri paling kanan adalah Gubernur Sulawesi dekade 1930-an yakni G.A. Bosselaar. Tak ada riwayat terperinci tentang Bosselaar. Namun sebuah catatan Hndia-Belanda menyebut ia pernah menjadi kontrolir di Sulawesi Utara (1920-1924) serta asisten residen di Flores.

8. I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo menyatakan kesetiaan kepada Hindia-Belanda di acara pelantikannya sebagai Raja Gowa

I Mangimangi Karaeng Bontonompo, Raja Gowa ke-35, menyatakan kesetiaan kepada Hindia-Belanda di hadapan Gubernur Sulawesi G.A. Bosselaar pada tahun 1936. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Jika berdasarkan data yang tersedia, dua foto I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo ini adalah saat ia dilantik sebagai Raja Gowa ke-35, dengan gelar Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin.

Menurut kebiasaan turun temurun, salah satu prosesi pelantikan Raja Gowa adalah yang bersangkutan harus berdiri di atas sebuah batu sakral yang disebut Batu Pallantikang. Batu saksi bisu tersebut berada di Bukit Tamalate, masuk dalam Kompleks Makam Sultan Hasanuddin di Kelurahan Katangka, Kecamatan Somba Opu.

Selain itu, raja yang dilantik harus mengenakan dua benda pusaka kerajaan yakni Mahkota Salokoa dan Pedang Sudanga.

Baca Juga: Asal-Usul Kabupaten Gowa yang Hari Ini berusia 700 Tahun

Berita Terkini Lainnya