TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Datu Museng dan Maipa Deapati, Kisah Cinta Tragis di Tanah Makassar

Cerita cinta dari masa kerajaan Gowa-Tallo

(Ilustrasi) Dok. Djarum Foundation

Makassar, IDN Times -

Datu Museng akkana siagang sakrak tatak: "Iyaji bawang mange ri Makkah siagang Madina, tok? Iyaji bawang angngarungi tamparang siagang jeknek bombang, angnginroi parang tattarak akparang kassi? Teaki bata-batai, manna mange ri tamparang pepeka kulampai tikring anggappai mutiara tallasakku."

Dengan suara pasti Datu Museng berkata: "Hanya ke Mekkah dan Madinah, saja? Cuma mengarungi laut berombakkan air, menjelajah sahara berpadangkan pasir? Tak usah khawatir, ke laut api sekalipun aku akan pergi, demi mendapatkan mutiara hidupku."

Demikian potongan cerita rakyat kisah cinta Datu Museng dan Maipa Deapati. Tradisi bertutur sastra lisan atau sinriliq secara turun temurun turut andil mengabadikan kisah asmara tragis ini ke dalam benak rakyat Makassar.

Lalu seperti apa folklor legendaris ini? Apakah segala kisah cinta tersebut benar-benar terjadi? Berikut saduran singkatnya berdasarkan buku Sastra Sinrilik Makassar yang ditulis oleh Paturungi Parawansa.

1. Kisah berawal dari pelarian Datu Museng dan sang kakek, dua bangsawan Gowa-Tallo, ke Pulau Sumbawa

Pemandangan pusat Kesultanan Gowa-Tallo dan Benteng Somba Opu dari lepas pantai, dalam lukisan Johannes Vingboons yang dibuat tahun 1665. (Wikimedia Commons/Nationaal Archief)

Seratus tahun lewat pascakejatuhan Gowa-Tallo ke tangan VOC, Datu Museng kecil bersama sang kakek yakni Addengareng menyeberangi lautan luas menuju Pulau Sumbawa. Mencari suaka politik, mereka kabur dari ancaman menjadi korban politik adu domba yang dilancarkan Kompeni di lingkar dalam istana.

Singkat cerita, Datu Museng menghabiskan masa kecil hingga dewasa di Sumbawa. Di masa-masa eksilnya, ia berkenalan dan jatuh hati kepada Maipa Deapati. Keduanya disebut menjadi anak murid dalam sebuah pengajian yang sama. Sayang, sang perempuan pujaan sudah ditunangkan dengan pewaris tahta Selaparang bernama Pangeran Mangalasa.

Rasa gundah gulana membuat Datu Museng mencurahkan isi hati pada sang kakek. Addengareng merasa terkejut, ia menganggap status bangsawan eksil membuatnya tak pantas meminang Maipa Deapati. Tak ingin membuat kecil hati, Addengareng menyarankan sang cucu memperdalam ilmu ke Mekkah. Alih-alih terpisah jarak, hubungan batin antara Datu Museng dan Maipa Depati justru kian erat. Cinta semakin bersemi.

Ilmu telah dikantongi, Datu Museng kembali ke Sumbawa. Namun ia terkejut saat mendapati Maipa Deapati terbaring lemah akibat sakit. Menggunakan pengetahuan yang dipelajari, ia berhasil menyembuhkan kekasihnya. Merasa berterima kasih, Sultan Sumbawa merestui hubungan keduanya. Pangeran Mangalasa yang merasa terhina meminta bantuan Kompeni untuk membunuh Datu Museng. Namun, upaya tersebut gagal lantaran kesaktian yang dimiliki oleh si bangsawan Gowa.

2. Kekacauan akibat hubungan Kompeni dan Gowa turut mengakhiri kisah cinta Datu Museng - Maipa Deapati dengan cara pahit

Lukisan karya Romeyn de Hooghe tentang suasana sebuah pertempuran Perang Makassar (1666-1699) antara pasukan koalisi VOC-Bone-Buton pimpinan Laksamana Cornelis Speelman dan pasukan Kesultanan Gowa Tallo. (Wikimedia Commons/Koninklijke Bibliotheek)

Tak lama setelah Datu Museng dan Maipa Deapati menikah, Sultan Sumbawa menerima kabar tentang kekacauan di Gowa. Sang bangsawan eksil dipanggil kembali untuk menyelesaikan perkara gawat. Dengan berat hati, penguasa Sumbawa dan Addengareng mengizinkan sang mempelai baru berangkat ke Makassar.

Tiba di Makassar, Datu Museng justru mendapat tantangan lain. Seorang Kapten Belanda berjuluk Tomalompoa juga jatuh cinta kepada Maipa Deapati. Ia hendak merebutnya melalui teror, tipu muslihat dan kekerasan. Tetapi, cinta Maipa kepada Datu sudah bulat. Ia tak ingin si kapten Kompeni merebutnya dari sang suami.

Suatu saat, pasukan Datu Museng telah dikepung regu pimpinan Tomalompoa. Mereka kalah jumlah, situasinya tak menguntungkan pasukan Gowa. Maipa Deapati, yang selalu berada di dekat sang suami selama misi militer, tak sudi menjadi istri petinggi militer Kompeni yang bengis. Bagi Maipa, seluruh cinta hanya untuk Datu Museng seorang.

Dengan rasa putus asa, Maipa meminta Datu Museng untuk membunuhnya. Awalnya, sang suami keberatan. Namun melihat satu persatu pasukannya tewas terkena pelor, ia terpaksa mengabulkan permintaan istrinya. Setelah keris menikam jantung Maipa, Datu Museng larut dalam kesedihan. Tanpa Maipa, masa depan tak lagi bermakna. Ia kemudian melepas semua ilmu kebal yang ia miliki, dan membiarkan dirinya dibunuh oleh serdadu Kompeni.

Baca Juga: Karaeng Pattingalloang: Poliglot dan Pencinta Sains Asal Gowa-Tallo

3. Sejarawan menyebut legenda Datu Museng berasal dari kisah amuk utusan Raja Sumbawa di Makassar pada tahun 1765

Bagian luar Benteng Fort Rotterdam di Kota Makassar antara tahun 1883 hingga 1889, dalam lukisan litograf karya Josias Cornelis Rappard. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Lantas apa kisah di atas memang benar terjadi? Dalam buku Islamic Narrative and Authority in Southeast Asia (Palgrave, 2007), sejarawan Thomas Gibson menulis tak ada nama Datu Museng di dalam catatan milik VOC. Hanya ada Datu Busing, salah satu dari tiga utusan bangsawan Sumbawa bernama Datu Taliwang yang berada di Makassar pada Desember 1764.

Ketiganya hendak membujuk Gubernur Sinkelaar, yang berkantor di Benteng Fort Fotterdam, untuk mengalihkan dukungan penguasa Sumbawa ke Datu Taliwang. Apalagi berhembus kabar bahwa Sinkelaar justru merestui Datu Jarewe, seteru politik Datu Taliwang. Sayangnya Datu Busing dan kawan-kawan sudah terlambat, Sinkelaar telah menetapkan sikap mendukung Datu Jarewe.

Pada 9 Februari 1765, Gubernur Sinkelaar menandatangani pernyataan bahwa Datu Jarewe resmi menjadi penguasa Sumbawa. Perintah penangkapan ketiga utusan Datu Taliwang terbit, dua di antaranya menyerah tanpa perlawanan. Namun Datu Busing berserta pengikutnya memilih jalan pedang dan melancarkan taktik amuk melawan Kompeni di Makassar selama satu bulan.

Datu Busing dan seluruh anak buahnya terbunuh pada 4 Maret 1765. Namun bagi rakyat Makassar yang hidup di bawah pemerintahan Kompeni, amuk Datu Busing selama berhari-hari membuat mereka kagum. Kisah tersebut kemudian menjadi inspirasi kisah folklor Datu Museng dan Maipa Deapati.

Baca Juga: Cornelis Speelman, Laksamana Kompeni Penakluk Supremasi Gowa-Tallo

Berita Terkini Lainnya