Dari Beddu ke Maudu' Lompoa: Jejak Akulturasi Islam dan Budaya Sulsel
Berasal dari metode sinkretisme yang ditempuh Datuk Tellue
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makassar, IDN Times - Saat masuk ke Sulawesi Selatan pada abad 16, Islam terlebih dulu melalui proses akulturasi sama seperti wilayah lain di Nusantara. Terjadi penyesuaian dengan budaya dan kepercayaan lama yang sudah lebih dulu hidup di tengah-tengah masyarakat.
"Tradisi Arab tidak utuh diterima, namun disesuaikan dengan ritual dalam tradisi Bugis-Makassar. Tradisi yang dianggap tidak bertentangan dengan Islam tetap dipertahankan secara turun temurun," ungkap sejarawan Universitas Negeri Makassar (UNM) Bahri kepada IDN Times, Minggu (25/4/2021).
"Kebudayaan Islam tidak menafsirkan budaya lokal sebagai sesuatu yang salah, justru melahirkan penyatuan budaya yang baru bagi masyarakat Bugis-Makassar," sambungnya.
1. Datuk Tellue memilih menyesuaikan ajaran Islam dengan kondisi sosial dan budaya saat itu
Menurut Bahri, penentu lancarnya proses akulturasi ini adalah konsep kepercayaan pada Dewata SeuwaE yang dianut masyarakat Bugis-Makassar saat itu. Selain itu, agama kuno Tolotang bersifat monoteis alias hanya mengenal satu Tuhan.
Nama Dewata SeuwaE sendiri lebih dikaitkan dengan sifat ketuhanan, yakni tak berbentuk dan bertubuh seperti makhluk biasa. Sedang "SeuwaE" menyatakan sifat esa, tunggal atau tak terbilang.
Saat tiba di Sulsel pada dekade 1590-an akhir, Datuk Tellue lebih dulu mengamati sifat dan kondisi masyarakat. Kesimpulan diambil, mereka tak akan mengajarkan tauhid secara ketat. Miripnya konsep Dewata SeuwaE dengan ketuhanan dalam Islam membuat Datuk Pattimang, Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro sepakat menempuh penyesuaian (sinkretisme).
"Perpindahan agama Raja Luwu (jadi pemeluk Islam) sebagian besar berasal dari kemampuan Datuk Pattimang untuk mentransmisikan ajaran teologis dogma Islam, berdasarkan pengalamannya mengenal tradisi satu Tuhan (Dewata SeuwaE) milik Bugis," tulis mendiang etnolog asal Prancis, Christian Pelras, dalam buku "The Bugis" yang mahsyur (hal. 136).
Baca Juga: Masjid Tua Tosora, Saksi Bisu Perkembangan Islam di Tanah Wajo
Baca Juga: Masjid Tua Katangka, Tonggak Sejarah Islam di Sulawesi Selatan