TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Asal-usul Nama Pelabuhan Paotere di Makassar dari Bahasa Portugis

Hubungan diplomatik erat sempat terjalin dengan Gowa-Tallo

Pelabuhan Paotere, Makassar, Sulsel, Jumat (27/4/2012). (ANTARA FOTO/Sahrul Manda Tikupadang)

Makassar, IDN Times - Pelabuhan Paotere memiliki tempat tersendiri dalam sejarah Kota Makassar. Terletak di bagian utara (tepatnya Kelurahan Gusung, Kecamatan Ujung Tanah), masyarakat mengenalnya sebagai bandar perahu rakyat.

Setiap hari, perahu-perahu merapat membawa berbagai jenis barang. Proses bongkar muat dimulai sejak pagi buta hingga malam menjelang. Selain itu, Paotere juga mahsyur berkat status sebagai pusat belanja tangkapan laut para nelayan. Semua dijajakan dalam kondisi segar.

Nah, daerah sekitar Paotere pun jadi pusat seafood andalan masyarakat Makassar. Rumah-rumah makan dan restoran siap memanjakan lidah pengunjung. Alhasil Paotere masuk dalam daftar kawasan kuliner wajib dikunjungi para turis saat berlibur ke ibu kota Sulawesi Selatan (Sulsel).

1. Menurut catatan sejarah, Pelabuhan Paotere sudah beroperasi sejak abad ke-16

Pemandangan Pelabuhan Paotere di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, antara tahun 1900 hingga 1920. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Seperti yang disebutkan sebelumnya, Paotere mengiringi perkembangan Makassar. Dalam buku Makassar Doeloe, Makassar Kini, Makassar Nanti (Yayasan Losari, 2000), pelabuhan yang berjarak sekitar 5 kilometer dari pusat kota ini sudah beroperasi sejak abad ke-16.

Catatan sejarah menyebut bahwa pelabuhan Paotere dibangun oleh Raja Tallo ke-2, Karaeng Same'ri Liukang (Samarluka) Daeng Marewa, yang memerintah pada abad ke-15. Pelabuhan ini pula yang menjadi titik pemberangkatan 200 kapal perang, sebagai bagian dari ekspedisi militer ke Malaka dan Kesultanan Samudera Pasai, di tahun 1420 (Zainal Abidin, Persepsi Orang Bugis Makassar tentang Hukum dan Dunia Luar, Alumni, 1983).

Paotere turut jadi bukti hubungan antara kerajaan-kerajaan di Sulsel dengan Portugis. Meski sudah disebutkan dalam catatan bendahara Kerajaan Portugis, Tomé Pires, yang berjudul Suma Oriental. Catatan bertarikh dari 1512 dan 1515 itu menyebut Makassar sebagai "pulau kaya rempah dan emas."

Yang menarik, dalam pengetahuan pelaut Portugal atau Portugis saat itu, Makassar adalah sebuah pulau sendiri (Os Macasare) dan terpisah dari Sulawesi (Celebes).

Baca Juga: Gereja Katedral Makassar, Simbol Toleransi Beragama di Tanah Daeng

2. Hubungan diplomatik dijalin oleh Gowa-Tallo dan Kerajaan Portugis sejak tahun 1538

Peta buatan Portugal tahun 1550 yang mencantumkan wilayah Afrika Barat, Asia dan Oseania Timur. (Wikimedia Commons/Câmara)

Dalam buku Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Selatan (Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1985), perwakilan Portugis di Malaka mengirim utusan untuk menghadap Raja Gowa ke-IX, Daeng Matanre Karaeng Tuma'parisi' Kallonna, pada 1538.

Tak perlu waktu lama, hubungan dagang kemudian terjalin dengan Gowa-Tallo. Kapal-kapal dagang Portugis mulai merapat di Pelabuhan Sombaopu. Perwakilan dagang (loji) milik Portugis pun didirikan di sekitar Sombaopu.

Sebagian dari mereka pun menetap dan kawin-mawin dengan warga lokal. Salah satunya yakni Francisco Mendez, anak Sultan Alauddin (Raja Gowa ke-XIV, memerintah 1593-1639) dari pernikahannya dengan wanita Portugis. Kelak Francisco Mendez menjadi sekretaris Raja Gowa ke-XV, Sultan Malikussaid (bertahta 1639-1653), yang tak lain adalah saudara tirinya (Zainuddin Tika, Makassar Tempo Doeloe, Pustaka Taman Ilmu, 2019).

Saat VOC yang berhasil merebut bandar Malaka dari Portugis pada Januari 1641, terjadi pengusiran 20.000 orang Portugis. Gowa-Tallo, melalui titah Sultan Malikussaid, menerima pengungsi sebanyak 3.000 orang.

3. Kue Apang Paranggi jadi salah satu jejak Portugis di Kota Makassar

Salah satu kue tradisional masyarakat Bugis-Makassar, Apang Paranggi. (Instagram.com/mumtazmakassar)

Akulturasi Portugis dan Bugis-Makassar turut terjadi di dalam istilah dan bahasa. Nama "Paotere", menurut sejarawan Nasaruddin Koro (Ayam Jantan Dari Timur, Ajuara, 2006), berasal dari sebutan bahasa Portugis "Porto Entre" yang berarti "Pelabuhan masuk."

Kapal-kapal berukuran besar Portugis bersandar di Pelabuhan Sombaopu. Namun, semua kapal kecil milik mereka ditambatkan ke dermaga "Porto Entre" yang berada di Kerajaan Tallo. Kapal kecil inilah iringi misi mencari rempah-rempah di Kepulauan Maluku dan sekitarnya.

Lama kelamaan, "Porto Entre" di-Makassar-kan menjadi "Potere" kemudian "Paotere", sesuai dengan apa yang penduduk lokal dengar.

Masih banyak kosa kata bahasa Portugis yang diadopsi ke bahasa penduduk lokal. Ada kadera (kursi), bandera (bendera), lantera (lampu), kameja (kemeja), galle (perahu galle), dan masih banyak lagi.

Di bidang kuliner ada pula Apang Paranggi, camilan tradisional yang mirip brownies. Kue dengan bahan dasar tepung dan gula merah ini dipercaya merupakan versi lokal dari penganan asal Portugal.

Baca Juga: Sejarah Perubahan Nama Makassar ke Ujung Pandang yang Kontroversial

Berita Terkini Lainnya