Gereja Katedral Makassar, Simbol Toleransi Beragama di Tanah Daeng

Ada pula kisah persaingan Portugis-Belanda

Makassar, IDN Times - Membahas tentang perayaan Natal di Makassar, keberadaan Gereja Katedral Makassar (nama resmi: Gereja Hati Yesus Yang Mahakudus) tak bisa dipisahkan. Bangunan tersebut menjadi salah satu landmark Kota Daeng lantaran memiliki nilai historis.

Beralamat di Jalan Kajaolalido No.14, Kecamatan Ujung Pandang, letak Gereja Katedral Makassar (GKM) sangat strategis di pusat kota serta tak jauh dari Lapangan Karebosi. GKM pula menjadi saksi bisu perkembangan pesat Makassar, masa pemerintahan kolonial Belanda, penjajahan Jepang hingga revolusi kemerdekaan.

Berikut ini IDN Times menyajian secuplik kisah singkat sejarah GKM, yang tak lepas dari  lika-liku penyebaran Katolik di Sulawesi Selatan.

1. Penyebaran Katolik di Makassar dan Sulawesi Selatan dimulai pada 1525

Gereja Katedral Makassar, Simbol Toleransi Beragama di Tanah DaengRepro Grote Atlas van de Verenigde Oost-Indische Compagnie

Sejarah Gereja Katedral Makassar tak lepas dari riwayat Katolik di Makassar. Dalam buku Sejarah Gereja Katolik Indonesia (G. Vriens, 1972), tibanya tiga pastor dan misionaris asal Portugal yakni Pastor Antonio do Reis, Cosmas de Annunciacio, seorang bruder bernama Bernardinode Marvao, di Pelabuhan Makassar pada 1525 jadi awal penyebaran Katolik di Makassar dan Sulawesi Selatan.

Di Makassar, ketiganya melakukan pelayanan kepada para pelaut dan warga Portugis yang beragama Katolik. Selain itu, mereka turut melayani sejumlah raja dan bangsawan Sulawesi Selatan yang telah dibaptis. Pada 1548, Pastor Vincente Viegas didatangkan dari Malaka ke Makassar sebagai tambahan tenaga.

Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin (1591-1638), Raja Gowa pertama yang memeluk Islam, ia secara resmi memberi izin umat Katolik untuk mendirikan gereja pada 1633. Ini jadi contoh bahwa toleransi sudah berada di Bumi Daeng sejak zaman lampau.

2. Perjanjian Bongaya pada 1667 berimbas pada pengusiran seluruh orang Portugis, termasuk para rohaniawan Katolik

Gereja Katedral Makassar, Simbol Toleransi Beragama di Tanah DaengLukisan karya Romeyn de Hooghe tentang suasana sebuah pertempuran Perang Makassar (1666-1699) antara pasukan koalisi VOC-Bone-Buton pimpinan Laksamana Cornelis Speelman dan pasukan Kesultanan Gowa Tallo. (Wikimedia Commons/Koninklijke Bibliotheek)

Persaingan ketat Belanda-VOC dengan Portugis yang berebut supremasi perdagangan rempah-rempah Nusantara turut berimbas pada aktivitas pastor-misionaris Portugis di Makassar.

VOC yang berhasil merebut bandar Malaka dari Portugis pada Januari 1641 setelah bertempur selama dua bulan. Akibatnya, sebanyak 45 imam dan 20.000 orang Portugis diusir. Makassar, melalui titah Sultan Alauddin, menerima pengungsi sebanyak 3.000 orang

Kebijakan toleransi kemudian diteruskan oleh Sultan Hasanuddin (memerintah 1653-1670). Namun, semua berubah usai Perjanjian Bongaya 1667. VOC mewajibkan pengusiran seluruh orang Portugis dari Makassar, termasuk para rohaniawan.

Mereka dengan berat hati pergi dari kota yang sudah ditinggali selama tiga dekade, persaudaraan pun putus. Bruder Antonio de Torres, yang baru bertolak pada 1668, terpaksa meninggalkan sekolah kecil untuk anak laki-laki setempat yang sudah diasuhnya sangat lama.

Baca Juga: Mengenang Perjanjian Bongaya yang Diteken VOC dan Gowa 352 Tahun Silam

3. Proses pembangunan Gereja Katedral Makassar dilakukan pada tahun 1895 hingga 1900

Gereja Katedral Makassar, Simbol Toleransi Beragama di Tanah DaengPemandangan Gereja Katedral Makassar, pusat aktivitas Kristen Katolik, antara tahun 1900 hingga 1919. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Sejak itu, selama 225 tahun kemudian, tak ada pastor Katolik menetap di Makassar. Jemaat yang masih ada hanya dilayani oleh pastor yang berlayar dari Surabaya atau Larantuka.

Awalnya, Belanda memilih netral untuk masalah agama. Namun perubahan arah politik dalam negeri turut berimbas di negara koloninya. Pada 1892, surat dari Batavia memutuskan Pastor Aselbergs SJ, dipindahkan dari Larantuka ke Makassar.

Pastor Aselbergs ini yang merintis upaya pembangunan gereja. Niatannya baru terwujud tiga tahun berselang, dengan pemberian sebidang tanah dan rumah di Komedistraat (kini Jl. Kajaolalido) pada 1895.

Ahmad Yunani, dalam makalah tentang Gereja Katedral Makassar yang terbit dalam Jurnal Lektor Keagamaan Vol. 15 No 1 pada 2017 silam, menyebut bahwa dana pembelian tanah untuk gereja dan pastoran berasal dari uang pinjaman suster-suster di Semarang. Seorang Tionghoa bernama Thio A Tek dilibatkan sebagai kontraktor pembangunan gereja.

4. Bentuk GKM yang sekarang adalah hasil dari renovasi pada akhir 1930-an

Gereja Katedral Makassar, Simbol Toleransi Beragama di Tanah DaengIlustrasi. ANTARA FOTO/Arnas Padda

Proses pembangunan rupanya sempat tertunda beberapa bulan lantaran kusen jendela dan besi tak kunjung tiba dari Belanda. Tak buang waktu, seluruh pembangunan gedung --termasuk menara tinggi di sebelah selatan, serta 20 menara mini sebagai hiasan pinggiran atap- rampung sebulan setelah kiriman dari Belanda datang. Pada 1900, gereja katedral resmi digunakan.

Selain bangunan utama, tiga buah lonceng pemberian salah satu jemaat pada 1923 turut diletakkan di menara selatan. Menara tersebut sejatinya telah mengalami beberapa perombakan. Gereja Katedral Makassar mengalami renovasi dan perluasan pada 1939, dan selesai pada 1941 dengan bentuk dan rupa yang sama seperti sekarang.

Baca Juga: Karaeng Pattingalloang: Poliglot dan Pecinta Sains Asal Gowa-Tallo

Memperingati HUT ke-75 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, IDN Times meluncurkan kampanye #MenjagaIndonesia. Kampanye ini didasarkan atas pengalamanan unik dan bersejarah bahwa sebagai bangsa, kita merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI dalam situasi pandemik COVID-19, di saat mana kita bersama-sama harus membentengi diri dari serangan virus berbahaya. Di saat yang sama, banyak hal yang perlu kita jaga sebagai warga bangsa, agar tujuan proklamasi kemerdekaan RI, bisa dicapai.

Topik:

  • Irwan Idris
  • Jumawan Syahrudin

Berita Terkini Lainnya