TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Arnold Mononutu di Mata Para Nasionalis: Republikan Tulen yang Mandiri

Membahas Pahlawan Nasional yang acapkali luput dari sejarah

Potret Pahlawan Nasional asal Sulawesi Utara, Arnold Mononutu, dan salah satu pertemuan petinggi Negara Indonesia Timur dengan utusan NICA-Belanda pada Desember 1947. (Kolase Berbagai Sumber)

Makassar, IDN Times - Tepat di Hari Pahlawan pada Selasa, 10 November 2020, Presiden Joko "Jokowi" Widodo menetapkan Arnold Mononutu sebagai Pahlawan Nasional. Pemberian gelar ini berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 117/TK/Tahun 2020 yang ditetapkan 6 November 2020.

Sosok kelahiran Manado, 4 Desember 1896, tersebut dikenal sebagai salah satu tokoh pergerakan nasional. Ia pernah ambil bagian dalam organisasi Indische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia), Partai Nasional Indonesia (PNI), menjadi Ketua Parlemen Negara Indonesia Timur (NIT) serta menjabat Menteri Penerangan di tiga kabinet berbeda.

Catatannya tak berhenti di situ. Mononutu diangkat sebagai Duta Besar Indonesia pertama untuk Tiongkok pada 1953. Kembali dari luar negeri, jabatan sebagai Rektor Universitas Hasanuddin diembannya dari 1960 hingga 1965.

1. Mohammad Natsir memuji pendekatan Mononutu atas sila Ketuhanan Yang Maha Esa

Potret Perdana Menteri kelima Indonesia, Mohammad Natsir, yang menjabat pada 6 September 1950 - 21 Maret 1951. (Repro. "Pekan Buku Indonesia 1954" (Gunung Agung: 1954))

Namanya memang jarang terdengar, tenggelam dalam bisu buku-buku teks sejarah sekolah yang mementingkan nama tokoh, peristiwa dan tanggal tanpa membangun intimasi. Namun, Arnold Mononutu di mata para tokoh nasionalis adalah sosok yang setia kepada Merah Putih meski sempat berseberangan pendapat dan berbeda latar belakang.

Bagi Mohammad Natsir, politikus Masyumi, Arnold adalah tokoh yang memperkuat sila pertama Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Atau menurut bahasa Natsir sendiri, Arnold adalah seorang nasionalis Kristen. Ini ia katakan dalam sebuah sesi Sidang Konstituante dekade 1950-an.

"Ketuhanan Yang Maha Esa adalah bagi kami pokok dan sumber dari lain-lain sila. Tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa, Pancasila akan menjadi filsafat materialistis belaka," ungkap Mononutu seperti dikutip dari buku Biografi Mohammad Natsir: Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan.

Baca Juga: 6 Tokoh Bakal Jadi Pahlawan Nasional, Ini Daftarnya

2. Meski berseberangan kubu, Arnold Mononutu tetap menjalin pertemanan dengan tokoh pers nasional Rosihan Anwar

Potret tokoh pers nasional, Rosihan Anwar, yang juga salah satu figur pergerakan nasional. (Repro. "Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I" (Gunung Agung: 1953))

Natsir, yang dikenal sebagai Islamis sejati, merespons pidato Mononutu dengan hangat. "Dalam saya mengikuti pidato beliau dengan perasaan terharu, saya memahamkan pada permulaan pidatonya ada usaha sungguh-sungguh dari Saudara Arnold Mononutu untuk mendesekulerisasikan Pancasila," responsnya.

Selama puluhan sidang Konstituante, memang terjadi pembahasan sulit apakah dasar Ketuhanan warisan UUD 1945 harus dilepas. Meski golongan sekuler dan agamis sudah saling melempar usulan dan tanggapan, toh Presiden Sukarno menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengembalikan UUD 1945 dan membubarkan Konstituante.

Di mata tokoh pers nasional Rosihan Anwar, Arnold Mononutu adalah sosok yang tetap menaruh perhatian pada persatuan kendati duduk di parlemen NIT. Bagi kaum unitaris, NIT adalah upaya Belanda memecah belah Indonesia yang baru merdeka. Posisinya memang berseberangan, tapi hati Mononutu menginginkan persatuan.

3. Mononutu turut prihatin saat penguasa membredel sejumlah surat kabar yang cukup vokal dalam mengeritik

Halaman depan Indonesia Raya, harian yang dibredel oleh pemerintahan Orde Baru pada 21 Januari 1974. (Dok. Istimewa)

"Arnold Mononutu, anggota parlemen NIT, tapi bersikap pro Republik seringkali ke Jakarta dan dia menjadi sahabat kami di Siasat," kenang Anwar dalam buku Belahan Jiwa: Memoar Kasih Sayang Percintaan Rosihan Anwar dan Zuraida Sanawi. Siasat adalah nama surat kabar yang ia pimpin pada tahun 1947 sampai 1957.

Mononutu bahkan turut prihatin saat pemerintah Orde Lama dan Orde Baru menutup sejumlah surat kabar yang rutin mengkritik pemerintah secara pedas. Rosihan Anwar dan rekan sejawatnya, Mochtar Lubis, kompak mengalaminya meski berbeda waktu pembredelan.

"Di negeri-negeri lain seperti India, surat kabar mencapai usia hidup seratus tahun. Tapi di Indonesia, koran-koran yang didirikan di zaman revolusi malah dimatikan, dibredel, seperti Pedoman, Indonesia Raya dan Abadi. Ya, kita ini tak punya sense of history," kata Mononutu kepada Anwar dalam satu kesempatan.

Baca Juga: Arnold Mononutu, Rektor Unhas Ketiga, Diberi Gelar Pahlawan Nasional

Berita Terkini Lainnya