TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengenal Arief Rate, Tokoh yang Diabadikan Jadi Nama Jalan di Makassar

Perjuangan Arief Rate di Sulawesi Selatan berakhir pahit

(Ilustrasi) Repro. Buku "30 Tahun Indonesia Merdeka" (Deppen)/Harian Umum

Makassar, IDN Times - Bagi sebagian orang, Arief Rate mungkin hanya sebuah nama jalan strategis yang membentang di Kelurahan Mangkura, Kecamatan Ujung Pandang. Namun, sang pemilik nama tersebut bukan sosok sembarangan.

Dia adalah salah satu tokoh pemuda yang disegani dalam perjuangan rakyat Sulawesi Selatan pada masa revolusi kemerdekaan 1940-an. Sukar melepas namanya dengan sederetan nama lain seperti Ranggong Daeng Romo, Andi Sose, Andi Mattalatta, Andi Abdullah Bau Massepe, Emmy Saelan dan masih banyak lagi.

1. Arief Rate adalah salah satu tokoh pemuda pejuang pada masa revolusi kemerdekaan

Collectie Tropenmuseum/C.J. Taillie

Dalam buku Tokoh di Balik Nama Jalan di Kota Makassar yang disusun Ahyar Anwar dan Aslan Abidin (2008), Arief Rate turut serta dalam perencanaan penyerangan tangsi-tangsi militer Belanda yang terletak di beberapa sudut Kota Makassar pada Sabtu 1 Januari 1949.

Penyerangan tersebut adalah aksi pembalasan setelah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap oleh Belanda di Gedung Agung pada Agresi Militer II tanggal 18 Desember 1948.

Upaya gerilyawan tersebut juga mendapat bantuan dari Azis Taba, pemuda lokal yang bekerja di bidang pengangkutan Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL, Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Azis diminta membujuk anggota KNIL lainnya untuk bergabung dalam barisan perlawanan.

2. Salah satu langkah awal balasan pada 1 Januari 1949 adalah membebaskan Wolter Monginsidi dari penjara

WIkicommons

Awalnya, rencana berjalan mulus. Wolter Monginsidi, pejuang sekaligus tokoh berpengaruh di Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS), berhasil dibebaskan dari penjara yang terletak di Hoogepad (kini menjadi Jalan Ahmad Yani).

Akan tetapi, Belanda mengendus gelagat tak beres. Pembebasan Monginsidi bukanlah peristiwa biasa. Mereka langsung mengerahkan pasukan untuk memadamkan perlawanan pemuda di sekitaran Makassar. Terjadi kontak tembak di beberapa tempat, memecah keheningan akhir pekan.

Monginsidi tertangkap di Maricayya, hanya 12 jam setelah dibebaskan oleh para pejuang. Perlawanan juga berhasil dipadamkan. Beberapa pejuang, termasuk Arief, juga dipenjara. Ia berhasil melarikan diri setelah menjadi orang kurungan selama beberapa pekan. Namun, Monginsidi tetap mendekam dan dijatuhi vonis hukuman mati.

Baca Juga: 12 Potret Ruas Jalan di Makassar Tempo Dulu, Kamu Bisa Tebak di Mana?

3. Masalah muncul di kalangan pejuang setelah kedaulatan Republik Indonesia akhirnya diakui oleh Kerajaan Belanda

Nationaal Archief

Arief kemudian bergabung dengan kesatuan gerilya pro-Republik pimpinan Letnan Kolonel Kahar Mudzakkar. Kesatuan gerilya tersebut kemudian berubah nama menjadi Mobile Brigade Ratulangi (MBR) berkekuatan lima batalion. Arief didapuk sebagai Komandan Batalion III yang bergerak di sekitar wilayah Bantaeng di selatan.

Keadaan berubah pada 27 Desember 1949. Kerajaan Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Republik Indonesia, negara yang sudah mereka coba duduki selama empat tahun terakhir, melalui Konferensi Meja Bundar di Den Haag. 

Keadaan memang mereda, namun riak konfrontasi di unsur militer malah menguat. Mayjen Soeharto meminta para gerilyawan pro-Republik untuk masuk ke dalam APRIS, militer resmi yang diakui negara. Akan tetapi, unit pimpinan Arief menolak. Mereka ingin tetap menjadi unit militer independen yang bergerak di luar rantai komando. Soeharto tak suka dengan sikap tersebut, namun enggan memperpanjang masalah.

4. Anggota KNIL di Makassar menolak kehadiran APRIS-TNI dalam wilayah Negara Indonesia Timur

Collectie Tropenmuseum/C.J. Taillie

Masalah lainnya juga mencuat. Muncul kecemburuan akibat kebijakan tersebut. Sejarawan Anhar Gonggong dalam Abdul Qohhar Mudzakar: Dari Patriot Hingga Pemberontak (1992) menulis bahwa banyak pejuang KGSS yang dinyatakan tidak layak masuk APRIS alias memenuhi persyaratan.

Sementara anggota KNIL, yang berjuang di sisi Belanda, bisa dengan mudahnya diterima sebagai prajurit APRIS. Problem kian pelik pada Januari 1950. Eks KNIL di Makassar menolak mentah-mentah rencana pemerintah pusat mengirim personil APRIS ke Kota Daeng.

Mereka beralasan masih sanggup mengamankan Makassar dan Negara Indonesia Timur, nama negara bagian yang mencakup Sulawesi-Maluku-Nusa Tenggara sebagai implementasi KMB. Namun ada pula anggapan penolakan eks KNIL didasari niat menancapkan pengaruh sebagai garda militer terdepan di Sulawesi Selatan.

Baca Juga: Sering Kamu Lalui, Ini 5 Tokoh di Balik Nama Jalan di Makassar

Berita Terkini Lainnya