Sistem Karantina: 40 Hari, Alkitab dan Upaya Manusia Melawan Wabah

Berasal dari kata quarantena dalam bahasa Venesia

Makassar, IDN Times - Sejak COVID-19 menyebar di seluruh dunia, kita semua sering di mendengar kata karantina dan lockdown. Dua hal tersebut diterapkan demi menekan laju penyebaran wabah sekaligus menurunkan angka warga yang terinfeksi.

Namun, tahukah kamu bahwa lockdown sama sekali berbeda dengan karantina? Lockdown belakangan dipakai sebagai kata pengganti cordon sanitaire, istilah lain atas pembatasan pergerakan orang ke dalam atau ke luar wilayah geografis yang ditentukan seperti komunitas, wilayah (desa, kecamatan, distrik, kabupaten, kota dan provinsi) atau negara.

Di Indonesia sendiri, dikenal istilah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang telah diterapkan oleh Pemprov DKI Jakarta dan bakal diberlakukan pada sejumlah wilayah Provinsi Jawa Barat. Konsepnya sendiri lumayan mirip dengan karantina yang selama ini dikenal luas.

Konsep karantina sendiri terus mengalami perkembangan sejak pertama diterapkan di Italia pada tahun 1347. Berikut ini IDN Times menjabarkan sedikit perkembangannya sepanjang lima abad.

1. Karantina mulai dilakukan pada masa gelombang pertama wabah Maut Hitam di Eropa

Sistem Karantina: 40 Hari, Alkitab dan Upaya Manusia Melawan WabahWikimedia Commons (Pierart dou Tielt, 1340-1360)

Kata karantina (quarantine) mencuat pada abad ke-13 dan 14. Istilah itu berasal dari kata quarantena yang dalam bahasa Venesia berarti "empat puluh hari". Namun Frank M. Snowden, sejarawan dunia medis asal University of Yale, dalam buku Epidemics and Society: From the Black Death to the Present (Yale University Press, 2019) menjelaskan bahwa dipilihnya 40 hari yang acap kali menjadi acuan beberapa peristiwa dalam Alkitab.

Mulai dari empat puluh hari dan empat puluh malam banjir dalam Kitab Kejadian, empat puluh tahun orang Israel berkeliaran di padang belantara serta empat puluh hari jangka waktu sebelum Paskah.

Selanjutnya pada 1377, pemerintah Republik Ragusa (kini bagian selatan Kroasia) menerapkan masa isolasi tiga puluh hari saat wabah Maut Hitam (Black Death) menyapu Eropa. Kebijakan 30 hari itu disebut sebagai trentino.

2. Salah satu lokasi karantina (lazaretto) terkenal berada di Dubrovnik, Kroasia

Sistem Karantina: 40 Hari, Alkitab dan Upaya Manusia Melawan WabahWikimedia Commons

Langkah karantina paling awal menurut catatan sejarah ditempuh oleh pemerintah Venesia saat gelombang pertama Maut Hitam (1347-1351). Dalam buku Common Cold (Birkhäuser, 2009), dijelaskan bahwa sebuah kapal yang hendak merapat di pelabuhan kota kanal tersebut harus menghabiskan waktu 40 hari di atas kapal yang diam tak bergeming di laut lepas. Dan 40 hari pula yang dipercaya sebagai waktu inkubasi kuman Yersinia pestis, biang kerok wabah pes bubo.

Venesia rupanya belajar banyak dari pengalaman kelam selama empat tahun. Pada tahun 1403 mereka mendirikan lazaretto, sebuah bangunan karantina yang wajib ditinggali para pelancong yang baru melakukan perjalanan laut dalam jangka waktu tertentu. Lazaret ini bisa berwujud kapal yang ditambatkan secara permanen di pelabuhan, pulau yang tak jauh dari daratan atau bangunan dengan penjagaan maksimal.

Salah satu lazaret terkenal didirikan oleh pemerintah Republik Ragusa di Dubrovnik, dan baru selesai dibangun pada 1642. Lazaret tersebut pernah menjadi lokasi syuting serial televisi terkenal Game of Thrones.

3. Meski karantina terbukti efektif, wabah Maut Hitam tetap terjadi di sejumlah wilayah Eropa seperti Inggris dan Prancis hingga abad ke-18

Sistem Karantina: 40 Hari, Alkitab dan Upaya Manusia Melawan WabahKeadaan kota Marseille (Prancis) pada masa Maut Hitam (Black Death) tahun 1720. Wikimedia Commons (Michel Serre)

Pemerintah Venesia percaya bahwa langkah tersebut bisa menghilangkan udara kotor yang membawa wabah (teori miasma). Teori tersebut memang telah terpatahkan, namun penerapan quarantena dan pembangunan lazaretto terbukti efektif pada masanya. Jangka waktu empat puluh hari memberi waktu cukup agar tikus pembawa wabah segera mati, termasuk para pelaut yang telah terinfeksi.

Lantas kenapa beberapa gelombang susulan Maut Hitam masih menerjang Eropa hingga abad ke-18? Snowden menjelaskan bahwa upaya pemerintah lokal waktu itu (melakukan karantina dan isolasi) dianggap bertentangan dengan ajaran agama dan tradisi masyarakat. Terlebih keluarga enggan berpisah dengan kerabat mereka yang telah terinfeksi wabah, alhasil mereka memilih menyembunyikan kasus tersebut.

Di sisi lain, pemerintah beberapa kerajaan di Eropa saat itu hanya menaruh sedikit perhatian pada kesehatan dan keselamatan rakyatnya. Ini pula yang menyuburkan rasa tidak percaya di masyarakat pada masa wabah, lalu berujung pada wabah Maut Hitam susulan.

Baca Juga: Menengok Rentetan Wabah pada Masa Kolonial Hindia-Belanda

4. Saat kolera menyebar pada akhir abad ke-19, sejumlah pemerintahan di dunia mulai membahas secara rinci pelaksanaan kebijakan karantina

Sistem Karantina: 40 Hari, Alkitab dan Upaya Manusia Melawan WabahWikimedia Commons

Masuk abad ke-19, muncullah wabah kolera (Vibrio cholerae) yang awalnya hanya menjadi endemi Sungai Gangga di India. Pandemi kolera pertama kali terjadi di Kolkata pada 1817, yang kemudian menyebar ke Thailand, Oman kemudian Zanzibar (kini jadi bagian dari Tanzania). Sama seperti Maut Hitam, kolera menyebar hingga Afrika melalui jalur laut. Gelombang kedua terjadi pada 1829 di India, Rusia, Eropa dan Amerika Serikat.

Sejumlah kebijakan karantina dibahas bersama oleh beberapa kerajaan dan negara Eropa sejak 1852 dalam Konferensi Sanitasi Internasional (ISC). Namun tindakan hanya terbatas pada pencegahan, dengan alasan ada Inggris yang masih ingin aktif melakukan perniagaan internasional (India, tempat asal kolera, adalah wilayah koloni mereka).

Hasil konkret baru dicapai pada pertemuan ketujuh ISC (1892) perihal pembatasan lalu lintas di Terusan Suez (Mesir) demi mencegah penyebaran kolera. Pes bubo baru dibahas pada 1897, dan aturan komprehensif mencegah dua wabah mematikan tersebut akhirnya lahir pada tahun 1903 di Paris. Kelak, ISC menjadi cikal bakal dari lahirnya Organisasi Kesehatan Dunia WHO.

5. Berkat karantina, Samoa Amerika di bawah Gubernur John Martin Poyer berhasil melewati masa pandemi Flu Spanyol tanpa satupun korban jiwa

Sistem Karantina: 40 Hari, Alkitab dan Upaya Manusia Melawan WabahFindAGrave.com

Pada masa pandemi Flu Spanyol (1918-1920), kebijakan karantina diterapkan di seluruh belahan bumi. Namun tak ada yang sesukses Samoa Amerika, teritori milik Amerika Serikat di Samudera Pasifik. Gubernur Samoa Amerika waktu itu, John Martin Poyer (menjabat 1915-1919), mengisolasi seluruh pulau setelah mendengar kabar wabah tersebut di siaran radio.

Kapal-kapal yang tiba di pelabuhan kota utama Pago Pago wajib jalani karantina ketat. Tak hanya kapal besar, Poyer memanfaatkan koneksinya dengan kepala suku asli (matai) untuk memblokade sementara lalu lintas perahu kecil yang melintas batas internasional. Pada satu waktu, Poyer sendirian memakai sebuah perahu kecil untuk memperingati kapal yang hendak bersandar dengan megafon. Banyak yang langsung memutar sauh.

Pada akhirnya, Flu Spanyol tak pernah sampai di Samoa Amerika. Dengan bangga, Poyer mengirim telegram ke Washington melaporkan angka kematian: 0 jiwa. Saat meletakkan jabatan, Poyer dilepas dengan seremoni sebagai tanda jasa dan mendapat penghargaan Navy Cross.

 

Sumber bacaan :

  • Elizabeth Kolbert, "Pandemics and the Shape of Human History", The New Yorker edisi Maret 2020
  • Frank M. Snowden, Epidemics and Society: From the Black Death to the Present, Yale University Press: 2019
  • Ronald Eccles & Olaf Weber, Common Cold, Birkhäuser, 2009
  • Mark A. Rothstein, "From SARS to Ebola: legal and ethical considerations for modern quarantine", Indiana Health Law Review, 2015
  • Peter Oliver Okin, "The Yellow Flag of Quarantine: An Analysis of the Historical and Prospective Impacts of Socio-Legal Controls Over Contagion", University of South Florida, 2012
  • Norman Howard-Jones, "The scientific background of the International Sanitary Conferences, 1851-1938", WHO Chronicle, 1974

Baca Juga: Sejarah Masker Selama Lima Abad: Dari Model Paruh Burung Sampai N95

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya