Musisi Jazz yang Diburu Intel : Kisah WR Supratman di Makassar

Beberapa teka-teki hidupnya terjawab baru-baru ini

Makassar, IDN Times - Beberapa hal simpang siur tentang hidup komposer Wage Rudolf Supratman akhirnya terjawab. Melalui konferensi pers yang digelar oleh para keluarga pada Rabu lalu (14/8/2024) di Jakarta, mereka meluruskan beberapa hal.

Sosok yang mendapat gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1971 itu dipastikan lahir pada 9 Maret 1903 di Jatinegara, Jakarta. Ini tentu membantah beberapa biografi yang menyebut bahwa sang komposer tersebut lahir pada 19 Maret 1903 di Purworejo, Jawa Tengah.

Namun, satu hal yang pasti, pencipta lagu Indonesia Raya tersebut pernah menghabiskan sebagian masa hidupnya di Kota Makassar. Tak cuma sebagai pelajar, tapi juga memulai karier di jalan bermusik.

Baca Juga: Kisah 11 Pahlawan Nasional Asal Sulsel, dari Hasanuddin ke Pong Tiku

1. Minatnya pada dunia musik dipicu oleh suami sang kakak, WM van Eldik

Musisi Jazz yang Diburu Intel : Kisah WR Supratman di MakassarKomposer dan pencipta lagu Indonesia Raya, Wage Rudolf Soepratman, bersama dua adik perempuannya pada awal dekade 1920-an. (Wikimedia Commons)

Pada usia 11 tahun, Supratman pindah ke Makassar bersama kakak sulungnya, Roekijem Soepratijah, yang menikah dengan seorang bintara militer Hindia-Belanda bernama WM van Eldik. Pada tahun 1914, Supratman mulai bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus untuk anak-anak Eropa dan bangsawan pribumi.

Menurut penulis buku biografi sang komposer yang terbit pada tahun 2001, Anthony C. Hutabarat, pada saat itu Supratman mendapat tambahan nama "Rudolf" agar mendapatkan hak yang sama dengan murid lain. Tapi, setelah diketahui bahwa ia tidak memiliki garis keturunan Eropa atau bangsawan, ia dikeluarkan dari ELS dan melanjutkan pendidikan di sekolah berbahasa Melayu.

Selama masa-masa sekolah, van Eldik memperkenalkan Supratman pada dunia musik, mengajarkannya cara bermain gitar dan biola. Perlahan tapi pasti ketertarikan Supratman terhadap musik semakin tumbuh. Pada ulang tahunnya yang ke-17 pada tahun 1920, ia menerima hadiah biola dari sang ipar.

2. Jadi personel grup musik Black and White Jazz Band dan rutin tampil di Societeit de Harmonie

Musisi Jazz yang Diburu Intel : Kisah WR Supratman di MakassarPara personel Black and White Jazz Band yang tenar di Kota Makassar pada awal dekade 1920-an. (Repro. Wage Rudolf Supratman : Sang Pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya (2016))

Pada usia 17 tahun, Supratman bergabung dengan grup musik yang dibentuk oleh van Eldik bernama Black and White Jazz Band, di mana ia menjadi pemain biola. Keikutsertaannya dalam grup ini dimaksudkan untuk mengembangkan potensinya, terutama setelah Supratman lulus sekolah pada tahun 1917.

Penulis-peneliti Anwar Jimpe Rachman dalam bukunya "Rock In Celebes dan 100 Tahun Musik Populer Makassar" (Tanahindie Press, 2021) mencatat bahwa meski grup ini dianggap amatir, mereka sering tampil di berbagai acara resmi. "Mereka kerap diundang memainkan di Balaikota, di rumah pejabat dan Societeit de Harmonie (kini Gedung Kesenian Sulsel, red.)," tulisnya.

Meskipun berstatus amatir, kualitas musik mereka bawakan yakni Western langgam dan jazz membuat Black and White Jazz Band tak bisa dipandang sebelah mata. Ini membuat mereka menerima bayaran yang signifikan untuk penampilan di berbagai acara, sebut saja ulang tahun dan pernikahan.

3. Butuh waktu sekitar empat tahun sebelum lagu Indonesia Raya diperdengarkan ke umum

Musisi Jazz yang Diburu Intel : Kisah WR Supratman di MakassarPotret komposer dan Pahlawan Nasional, Wage Rudolf Soepratman, pada tahun 1937. (Repro. Brosur Lagu Kebangsaan Indonesia Raya (Depdikbud, 1972))

Karier bermusik Supratman hanya berlangsung selama empat tahun. Pada tahun 1924, ia memutuskan meninggalkan Makassar karena merasa aktivitasnya semakin dibatasi dan terpaksa meninggalkan posisinya sebagai pegawai di perusahaan dagang. Menurut Bambang Sularto dalam buku Sejarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya (Balai Pustaka, 1982), Supratman kembali ke Jawa karena diawasi oleh intelijen yang mencurigai keterlibatannya dalam rapat organisasi pergerakan.

Setelah kembali ke Jawa, Supratman menetap di Bandung dan beralih profesi menjadi jurnalis untuk surat kabar Kaoem Moeda dan Kaoem Kita. Tak lama setelah tiba di Kota Kembang, ia membaca artikel di majalah Timbul berisi tantangan membuat lagu kebangsaan. Supratman mengerjakan lagu tersebut secara diam-diam selama sekitar empat tahun sebelum akhirnya siap untuk diperdengarkan ke khalayak umum.

Lagu Indonesia Raya akhirnya berkumandang untuk pertama kali pada Kongres Pemuda II di Batavia pada 28 Oktober 1928. Lagu ini kemudian menjadi bagian penting dari sejarah perjuangan Indonesia dalam berbagai bidang seperti ekonomi, politik dan olahraga. Tapi, Supratman tidak sempat menyaksikan kemerdekaan Indonesia. Ia meninggal dan dimakmkan secara Islam di Surabaya pada 17 Agustus 1938 di usia 35 tahun akibat penyakit urat saraf yang dideritanya.

Baca Juga: KH Ambo Dalle Pendiri Pesantren DDI Diajukan Jadi Pahlawan Nasional

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya