Kisah Geliat Pers Sulsel di Awal Kemerdekaan Indonesia
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makassar, IDN Times - Meski tak ada catatan rinci tentang perkembangannya selama masa kolonial Belanda dan pendudukan Jepang, pers di Sulawesi Selatan (Sulsel) menggeliat setelah Sukarno dan Mohammad Hatta mengumumkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Sepanjang tahun-tahun awal republik berdiri, sejumlah surat kabar didirikan oleh para tokoh pemuda. Dalam buku Propinsi Sulawesi (Departemen Penerangan, 1959), koran mingguan Kebenaran di bawah pimpinan I.A. Saleh Daeng Tompo punya status istimewa. Mereka dianggap sebagai pionir dari pers Sulsel pasca-kemerdekaan.
Namun, Kebenaran yang bermarkas di Makassar langsung diberedel administrasi NICA setelah menerbitkan edisi pertama. Ini lantaran mereka memuat pernyataan Arumpone (Raja Bone) Andi Mappanyukki yang menolak bekerja sama dengan Belanda.
1. Tulisan sejumlah media cetak di Makassar membuat NICA geram
Setelah Kebenaran, menyusul pula surat kabar lain seperti Pedoman Wirawan yang dipimpin Suwito, dan Perintis milik Andi Sommeng yang fokus ke isu pendidikan. Mereka diberedel oleh NICA karena konsisten memberitakan operasi militer brutal di sejumlah daerah. Selain itu, haluan "republikein" yang dianut redaksi Kebenaran, Pedoman Wirawan dan Perintis membuat Belanda gerah.
Penangkapan pemimpin redaksi (pimred) media di Sulsel pun kerap terjadi sepanjang masa Revolusi Fisik 1945-1949. Salah satunya menimpa A.N. Hadjarati dari surat kabar mingguan Pedoman Nusantara. Selain itu, Soegardo yang memimpin majalah Minggoean Pedoman juga diusir dari wilayah Negara Indonesia Timur pada pertengahan tahun 1947.
Setelah Soegardo dipaksa angkat kaki dari Makassar, jurnalis Henk Rondonuwu naik pangkat jadi pimred Minggoean Pedoman. Tapi, kritik mereka kepada NICA tetap tajam. Alhasil, giliran Henk yang diringkus Belanda pada Oktober 1948 atas dakwaan menghina Ratu Belanda.
2. Ikut ambil bagian dalam debat pro-kontra Republik Indonesia Serikat
Selama era Revolusi Fisik, pers Makassar memang mendapat banyak tantangan. Tapi nasib berbeda dialami surat kabar di luar kota yang relatif lebih leluasa melontarkan kritik pada segala aksi NICA. Tak cuma itu, mereka juga bisa untung secara finansial.
Sebut saja mingguan Teropong Suasana di Sengkang, atau harian Bergerak dan Djelata di Parepare. Oplah Teropong Suasana pimpinan A.M.T.A.H. Buchari Kasim bahkan mencapai 3.500 eksemplar sekali terbit. Jauh lebih banyak ketimbang surat kabar Makaasar seperti majalah dwimingguan Wanita milik aktivis perempuan Salawati Daud dan majalah bulanan Suara Kita yang rata-rata cuma 1.000 eksemplar.
Masuk era Republik Indonesia Serikat (RIS), seluruh media massa terbagi sikap. Ada yang mantap di haluan federalis, ada pula memilih tetap teguh dalam idealisme republiken. Alhasil, kerap kali tajuk rencana banyak harian, mingguan dan majalah berisi tulisan pandangan para pimred atas pro-kontra RIS. Hal serupa juga terjadi di harian-harian Sulsel saat itu.
Baca Juga: Mengenal Arief Rate, Tokoh yang Diabadikan Jadi Nama Jalan di Makassar
3. Mendapat kebebasan baru sepanjang dekade 1950-an
Pembubaran RIS dan peleburannya ke Republik Indonesia pada 1950 jadi angin segar bagi pers Sulsel. Banyak media yang sempat dibredel kembali hadir, entah dengan nama sama atau berganti. Terdapat empat harian yang berpengaruh di Makassar sepanjang dekade 1950-an.
Mulai dari Nusantara yang didirikan Nuruddin Sjahadat, Pedoman Rakyat pimpinan Henk Rondonuwu, Marhaen yang berhaluan nasioanalis, serta Rakyat Berjuang milik G.A. Kamangi. Dari keempatnya, oplah terbanyak dimiliki harian Nusantara yakni mencapai 4.000 eksemplar setiap harinya.
Selain itu terdapat pula majalah mingguan dengan pembaca cukup banyak. Ada Gelombang yang diinisiasi jurnalis asal Ambon, Lazarus Eduard Manuhua. Kemudian Pegangan dengan J. Mewengkang, Wali Kota Makassar keenam (1951) sebagai Pemimpin Umum.
Baca Juga: Haeruddin Tasning, Tokoh di Balik Nama Jalan Hertasning Makassar