Makassar Biennale, Kisah Para Penulis Buku Ramuan di Segitiga Wallacea

Ada banyak cerita di balik penggalian pengobatan tradisional

Makassar, IDN Times - Diskusi buku "Ramuan di Segitiga Wallacea" jadi penutup rangkaian acara Makassar Biennale (MB) 2021 di Kota Makassar. Bertempat di Artmosphere Studio pada Selasa malam (14/9/2021), acara ini menghadirkan enam penulis buku yang menjadi batu pijakan subtema "Sekapur Sirih" untuk MB edisi keempat.

Digelar dengan format gabungan daring dan luring, para kontributor artikel di enam kota menceritakan suka duka dan tantangan yang mereka hadapi selama menyusun artikel kekayaan fitofarmaka (tumbuhan obat alami) hingga pengobatan tradisional yang jadi fokus MB 2021. Mulai dari Makassar, Parepare, Labuan Bajo hingga Nabire.

Buku setebal 222 halaman yang terbit akhir tahun 2020 tersebut berisi 15 tulisan hasil penelitian-pelatihan pra-acara bertajuk "Menghambur Menyigi Sekapur Sirih" dari 1 September hingga 30 November 2020.

1. Diskusi buku "Ramuan di Segitiga Wallacea" dibuka dengan cerita riset daun tina' di Toraja Utara

Makassar Biennale, Kisah Para Penulis Buku Ramuan di Segitiga WallaceaSampul buku "Ramuan di Segitiga Wallacea" (Makassar Biennale, 2020). (IDN Times/Achmad Hidayat Alsair)

Membuka diskusi ini adalah Reigina Meiciza Sweetly, anggota kolektif Kampung Buku dan Tanahindie. Ia menulis tentang pengobatan tradisional di Desa Pangden, Toraja Utara, yang mengandalkan daun tina' (Sterculia monosperma, kacang kelaci). Tumbuhan tersebut rutin dikonsumsi untuk menangkal sejumlah penyakit seperti maag dan batuk.

Pengalaman melakukan riset di Toraja ia ibaratkan sebagai bermain teka-teki. Sebab ia harus mencari nama baku dari sejumlah tanaman yang ia teliti.

"Ternyata obat-obatan itu ada di sekitar kita. Kita tahu nama daerahnya, lalu kita mencari tahu namanya dalam bahasa Indonesia. Itu sangat menyenangkan," ungkapnya.

Tak cuma itu, pandemik COVID-19 yang berbarengan dengan penyusunan pelatihan ini dianggapnya jadi waktu yang tepat untuk kembali ke keluarga dan menggali lagi pengobatan tradisional kampung halaman.

2. Tim kerja Parepare menjelaskan kesulitan yang dihadapi saat menentukan subyek tulisan

Makassar Biennale, Kisah Para Penulis Buku Ramuan di Segitiga WallaceaSalah satu dokumentasi penelitian pengobatan tradisional dari tim penulis "Sekapur Sirih" Makassar Biennale di Kota Parepare, Sulawesi Selatan. (Instagram.com/makassarbiennale)

Selanjutnya ada Syahrani Said asal Parepare yang mengangkat profil sang ibu, Hj. Nashar, seorang pemijat bayi dengan pengalaman selama puluhan tahun. Tak cuma tentang kebiasaan serta asal-usul kemampuan ibunda, Rani --sapaan akrabnya-- juga membahas eksistensi pengobatan tradisional di kota berjuluk Bandar Madani.

Proses menentukan narasumbernya pun disebutnya tak mudah. Rani menyebut ini lantaran Parepare telah mengalami proses transformasi, sehingga sulit mencari hal-hal yang berhubungan dengan pengobatan alami dari tumbuh-tumbuhan.

"Sama dengan teman yang lain, kita sempat terpaku dengan framing (subtema) Sekapur Sirih itu harus bersifat herbal, natural, atau tradisional dan sebagainya. Di sini kami terlalu lama mencari hal yang sesuai dengan subtema," ujarnya.

"Kami di tim Parepare memutuskan melihat hal yang lebih dekat dengan kami. Mencoba menceritakannya ke banyak orang. Hal ini layak diperdengarkan, tapi kerap luput," imbuh Rani.

3. Dari Pangkep, Daeng Caddi mengapresiasi kerja tim yang membahas aktivitas pengobatannya

Makassar Biennale, Kisah Para Penulis Buku Ramuan di Segitiga WallaceaSalah satu sanro (tabib) di Kabupaten Pangkep, Daeng Caddi, sedang mengurut pasien anak di rumahnya. (Tim Dokumentasi "Menghambur Menyigi Sekapur Sirih" di Pangkep)

Selanjutnya ada F. Daus AR asal Pangkep yang mengisahkan Daeng Caddi, perempuan 56 tahun yang melanjutkan tradisi pengobatan tradisional turun temurun. Ia mengandalkan minyak kayu putih racikannya sebagai perantara kesembuhan. Kepada perserta diskusi, Daus mengaku terkejut lantaran profil Daeng Caddi yang ia kerjakan bersama tim ternyata viral di media sosial.

"Ini semua di luar ekspektasi kami. Selama proses penelitian dan penyusunan, kami sama sekali tidak kepikiran hal itu, dibagikan secara luas di medsos meski oleh orang-orang yang pernah berobat ke beliau," ungkap Daus.

Daeng Caddi sendiri sempat merasa terbebani. Ini lantaran ia sebelumnya memilih praktik pengobatannya cukup disebar dari mulut ke mulut. Tapi belakangan, kepada Daus, ia mengaku sangat terbantu.

"Setelah publikasi, ia mendapat banyak pasien. Tak cuma dari Pangkep, ada juga dari kota-kota lain yang datang," lanjut penggagas media warga Saraung.com.

4. Tim Bulukumba mendapat inspirasi dari pengalaman pribadi salah satu anggota

Makassar Biennale, Kisah Para Penulis Buku Ramuan di Segitiga WallaceaSalah satu dokumentasi penelitian pengobatan tradisional dari tim penulis "Sekapur Sirih" Makassar Biennale di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. (Instagram.com/makassarbiennale)

Muhammad Harisah, salah satu anggota tim Bulukumba, berbicara tentang kebiasaan warga Desa Kahayya dan Kelurahan Borongrappoa mengatasi masalah sesak napas. Tentu saja bermodal tumbuh-tumbuhan yang muda diperoleh, dan diracik oleh tangan para tetua yakni Pung Manto dan Haji Ampe.

Pengalaman pernah mengidap sesak napas, atau poso dalam bahasa Bugis, jadi ide dasar Harisah mengangkat topik ini. Lokasi penelitiannya sendiri saling bertetangga dan sama-sama berada di wilayah perbukitan, tapi kebudayaannya berbeda satu sama lain.

"Borongrappoa itu condong ke Bantaeng, sementara Kahayya itu ke Sinjai-Borong," jelasnya.

Lebih jauh, ia sempat terhalang dengan fakta bahwa hanya sedikit orang yang mengaku dirinya sebagai dukun. Ini lantaran stigma bahwa dukun identik dengan hal-hal berbau mistis dan klenik.

"Proses menemukan informan ini tak sengaja. Pung Manto di Kahayya berawal dari obrolan biasa. Sementara Haji Ampe di Borongrappoa dimulai dengan obrolan santai dengan anak beliau," jelasnya.

5. Berawal dari tari Caci, tim Labuan Bajo bisa memperoleh info tentang pengobatan lokal

Makassar Biennale, Kisah Para Penulis Buku Ramuan di Segitiga WallaceaSalah satu dokumentasi penelitian pengobatan tradisional dari tim penulis "Sekapur Sirih" Makassar Biennale di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. (Instagram.com/makassarbiennale)

Dari Labuan Bajo, Nusa Tenggara Barat, ada Aden Firman yang menulis daun rempapake sebagai obat alami andalan penduduk kampung kelahirannya. Oleh warga Kabupaten Manggarai, air rebusan rempapake diminum untuk mengatasi luka luar penyakit dalam seperti gangguan ginjal, susah BAB hingga nyeri pasca-melahirkan.

Proses pencarian diakui Aden berjalan lama karena berkutat pada penentuan subjek yang harus diamati. Tapi ide pun muncul dari rasa penasarannya atas proses memulihkan luka para penari Caci, seni tari perang khas Flores di mana mereka saling cambuk menggunakan kulit sapi kering.

"Kita coba telusuri, sampai kami ketemu tetangga saya yakni Pak Nikolaus Niku, penari caci dan punya pengetahun tentang pengobatan setempat. Dia juga biasa terapi tetangga dan keluarganya yang sakit," ujar Aden.

"Setelah intens melakukan cerita, akhirnya kami mendapat tentang daun rempapake ini. Dari sini kami mendokumentasi terapi dia, dengan alat-alat yang terapi yang ia bikin sendiri, dengan inspirasi bacaan yang ia temui semasa kuliah," sambungnya.

Baca Juga: Sentil Isu Reklamasi, Makassar Biennale Gelar Lomba Foto Sunset

6. Selama pelatihan dan menyusun tulisan, tim Nabire mengaku banyak mendapat pelajaran

Makassar Biennale, Kisah Para Penulis Buku Ramuan di Segitiga WallaceaProses pengumpulan data dan observasi tim penulis "Sekapur Sirih" Makassar Biennale di Nabire, Papua, untuk melengkapi artikel tentang daun akadapi boo atau urang-aring. (Tim Dokumentasi "Menyigi Menghambur Sekapur Sirih" Nabire)

Terakhir dari tim Nabire, Papua, yakni Manfred Kudiai yang berbicara seluk-beluk penelitian obat tradisional daun akadapi boo atau urang-aring (Eclipta prostrata) untuk mengatasi batuk kering. Ini menarik lantaran tumbuhan tersebut lebih dikenal sebagai ekstrak nutrisi rambut dalam sampo.

Manfred juga menjabarkan fakta bahwa ada perawat Puskesmas di wilayahnya juga menggunakan akadapi boo untuk mengobati keluarganya, alih-alih obat-obatan modern. Kepada peserta diskusi, ia mengaku memetik banyak pelajaran selama menyusun tulisan untuk "Ramuan di Segitiga Wallacea."

"Setelah meneliti obat, kita jadi belajar cara menulis. Lalu mendapat pelajaran bahwa hal-hal yang selama ini kita pandang remeh di sekitar kita, ternyata punya manfaat. Dari situ kita mendapat banyak informasi," ujarnya.

"Salah satu hal unik menurut saya, kita kalau ketemu narasumber itu tidak menyiapkan pertanyaan. Kita tidak banyak tanya, jadinya semacam diskusi agar narasumber tidak merasa tertekan," imbuh Manfred.

Baca Juga: Makassar Biennale 2021: Mengenal Khasiat Seni Meracik Teh

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya