Pisang Ijo yang Meluruhkan Ego

Pisang ijo tak hanya menghilangkan dahaga saat puasa

Ramadan 1445 Hijriah tahun 2024 menjadi momentum pembelajaran kedewasaan dan keikhlasan. Bulan puasa tahun ini, sederet pertemuan dengan sahabat lama maupun kawan baru telah memberi makna spritual pada level yang berbeda.

Ramadan bukan hanya menjadi waktu ibadah bagi umat Islam, tetapi juga menjadi momen yang memperkuat ikatan persahabatan, juga meluruhkan ego atas sikap yang teramat keras. Ibadah puasa mengajarkan saya untuk melihat dunia dari jendela-jendela keislaman yang meneduhkan.

Relasi pertemanan yang dingin karena badai perbedaan sikap dan sudut pandang, kini kembali menghangat. Kenikmatan menyantap sepiring pisang ijo dan segelas sirop dingin kala berbuka puasa bareng, telah menghapus rasa lapar dan dahaga, sekaligus merekatkan kembali ikatan persaudaraan.

Saya belajar bahwa perbedaan dalam bersikap tidak seharusnya menjadi jurang terjal yang menghalangi silaturahmi dengan sahabat. Seperti kata Ali bin Abi Thalib, "Lunakkan sikapmu terhadap saudaramu yang bersikap kasar. Yang demikian itu pasti akan memperlunak sikapnya terhadapmu.”

Di Ramadan kali ini, begitu terasa tetesan-tetesan embun keteduhan membasahi kerak-kerak yang mengotori dinding hati saya. Kerak itu pula yang sering kali menutup pintu kompromi terhadap prinsip yang sejatinya masih mengawang.

Ramadan dengan suasananya yang syahdu, membawa angin keimanan yang menyejukkan. Puasa telah membawa jiwa saya kian terbuka untuk memahami situasi orang lain. 

Belajar Ikhlas

Berbagai hal terjadi dalam hidup saya selama setahun ini. Banyak senangnya, meski sedihnya juga tidak kurang. Ramadan 2024, saya merenungkan perjalanan setahun terakhir. Puji syukur atas setiap hal baik yang datang, lalu bersedih secukupnya pada hal-hal menyakitkan. Saya semakin belajar menerima keadaan yang berada di luar kendali diri. Sebab saya yakin, Allah SWT sedang menguji dengan nikmat bahagia maupun susah. Lalu, saya kembali teringat kata-kata Ali bin Abi Thalib, "Angin tidak berembus untuk menggoyangkan pepohonan, melainkan menguji kekuatan akarnya."

Benar. Tak ada kehidupan yang bermakna jika dijalani tanpa ujian-ujian yang sejatinya akan menguatkan.

Baca Juga: Nuansa Tradisi Syiah dalam Kebudayaan di Sulawesi Selatan

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya